Presiden Jokowi dan PDIP:Â
Hasto : Bongkar Kriminalisasi Politik Jokowi terhadap Anies
Konflik "Kue Kekuasaan" ?
Â
Indra Wardhana
Kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin menguat, terutama setelah pernyataan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang membuka skenario politik Jokowi untuk menghambat tokoh oposisi dalam Pilpres 2024. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tajam: apakah kritik ini merupakan bentuk kekecewaan PDIP karena tidak mendapatkan "kue kekuasaan" sesuai ekspektasi, atau ada faktor lain yang lebih mendasar?
Dari sisi lain, kebijakan dan langkah politik Jokowi selama menjabat kerap dianggap sebagai implementasi pragmatisme ala Niccol Machiavelli, di mana dengan  tujuan---yakni mempertahankan kekuasaan dan stabilitas---dengan membenarkan cara apa pun, bahkan jika cara itu dianggap tidak demokratis.
Kekecewaan PDIP: Tidak Mendapatkan "Kue Kekuasaan" yang Layak?
Sebagai partai pengusung utama, PDIP memiliki ekspektasi wajar bahwa mereka akan mendapatkan akses lebih besar terhadap kekuasaan. Namun, selama dua periode pemerintahan Jokowi, berbagai sinyal menunjukkan adanya friksi yang membuat partai merasa dirugikan.
1. Koalisi yang Membesar, Dominasi PDIP Tergerus
- Distribusi Kekuasaan: Meski PDIP menguasai beberapa kementerian strategis, kehadiran partai lain seperti Golkar, Gerindra, dan bahkan tokoh independen dalam kabinet dinilai mengurangi dominasi partai pengusung utama.
- Minimnya "Hadiah Politik": Jokowi sering dianggap lebih loyal kepada lingkaran pribadi atau kelompok non-partai daripada partai yang mengusungnya, sehingga PDIP merasa kehilangan kendali terhadap kebijakan pemerintah.
2. Sinyal Retaknya Hubungan Menjelang 2024
Hasto Kristiyanto secara terbuka menyebut skenario Jokowi untuk menghambat calon tertentu. Jika benar Jokowi tidak sepenuhnya mendukung Ganjar Pranowo---yang diusung PDIP---ini dapat menjadi alasan kuat kekecewaan partai.
- Dukungan Jokowi pada Calon Lain: Spekulasi bahwa Jokowi mendukung kandidat non-PDIP menjadi pukulan bagi partai yang telah mengorbankan banyak sumber daya untuk mengusungnya sejak 2014.
3. Politik Kekuasaan yang Bersifat Transaksional
Dalam politik Indonesia, ekspektasi atas "imbalan politik" merupakan norma. Dukungan partai biasanya diikuti oleh posisi strategis di kabinet atau akses terhadap kebijakan. Ketika Jokowi dianggap tidak memberikan imbalan yang cukup, PDIP mungkin merasa peran mereka dalam mendukung dua periode Jokowi tidak dihargai.