"Prabowo dan Kebijakan Luar Negeri: Diplomasi atau Perjudian Kedaulatan Indonesia?"
Oleh Indra Wardhana SE, MSc-HSEaud
(observer of geopolitical and political studies analysis)
11/11/2024
Pasca dilantik sebagai Presiden, Prabowo Subianto segera bergerak untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Langkah ini ditandai dengan intensitas kunjungannya ke negara-negara besar, mulai dari KTT APEC di Peru, G20 di Brasil, hingga kunjungan kehormatan ke Amerika Serikat, China, dan Inggris. Dalam rapat kabinet pada 6 November 2024, Prabowo menguraikan agenda diplomatiknya yang dianggap penting untuk "kelangsungan ekonomi Indonesia." Namun, di tengah sambutan dan harapan, muncul kritik tajam bahwa manuver ini bisa saja mengarah pada bentuk ketergantungan baru yang mengancam prinsip non-blok dan kedaulatan Indonesia.
*1. Keseimbangan atau Ketergantungan: Apakah Prabowo Mempertaruhkan Independensi Indonesia? *
Dalam teori hubungan internasional, dikenal istilah bandwagoning, yakni kecenderungan suatu negara untuk mendekati negara besar agar mendapatkan perlindungan atau keuntungan ekonomi. Strategi ini sering dianggap berisiko tinggi, terutama bagi negara dengan aspirasi kemandirian seperti Indonesia. Sikap Prabowo yang "melayani" berbagai undangan negara besar, mulai dari AS hingga China, mengundang pertanyaan: apakah langkah ini hanya sekadar upaya untuk menjaga keseimbangan hubungan, atau justru sebuah langkah yang berpotensi mengikat Indonesia pada kepentingan kekuatan besar?
Indonesia selama ini berhasil mempertahankan kebijakan luar negeri bebas-aktif, menjunjung tinggi prinsip non-blok, dan berusaha netral dalam isu-isu global. Dengan intensitas diplomasi yang dilakukan Prabowo, apakah prinsip bebas-aktif ini akan tetap terjaga? Atau, dengan semakin seringnya Indonesia merespons agenda negara-negara besar, Indonesia justru akan terjerumus dalam ketergantungan yang berisiko mengancam kedaulatannya?
*2. Diplomasi Berbasis Pribadi: Batas Antara Kepemimpinan dan Otoritarianisme*
Prabowo dikenal dengan pendekatannya yang kuat, berani, dan cenderung personal dalam menghadapi isu politik. Namun, dalam konteks diplomasi, pendekatan berbasis personal dapat berdampak negatif karena cenderung tidak konsisten dan rentan terhadap perubahan arah kebijakan yang mendadak. Teori kepemimpinan menunjukkan bahwa pendekatan personal dalam diplomasi sering kali mengabaikan proses konsultasi lembaga dan pemeriksaan konstitusional. Hal ini tidak hanya berbahaya bagi stabilitas kebijakan luar negeri Indonesia, tetapi juga berpotensi mengikis peran institusi yang berfungsi sebagai pengawasan.
Sebagai contoh, dalam rapat kabinet, Prabowo berbicara tentang perlunya "menggali potensi" dari blok-blok ekonomi besar tanpa merinci bagaimana pendekatan tersebut akan dijaga agar tetap netral. Pendekatan personal yang dilakukan tanpa mekanisme check and balance bisa membuka jalan bagi kebijakan yang tidak transparan dan berisiko. Jika lembaga-lembaga diplomatik seperti Kementerian Luar Negeri hanya berperan sebagai pengikut, maka Indonesia akan kehilangan konsistensinya dalam kebijakan luar negeri, dan arah diplomasi nasional akan lebih bergantung pada preferensi pribadi seorang presiden, bukan pada kebutuhan negara.
*3. Tantangan Terhadap Prinsip Non-Blok: Netral atau Kena Jebakan Blok Ekonomi? *
Indonesia telah lama menjadi pemimpin di ASEAN dan berperan sebagai mediator netral di kawasan. Posisi ini adalah hasil dari kebijakan non-blok yang menghormati independensi politik dan ekonomi. Namun, dengan rencana Prabowo untuk menghadiri serangkaian pertemuan dengan negara-negara besar, apakah Indonesia dapat menjaga posisi netralnya?
Dalam konteks geopolitik, pertemuan dengan AS dan China memang penting, namun, menurut teori ketergantungan (dependency theory), semakin sering suatu negara berinteraksi dalam rangkaian pertemuan besar seperti ini tanpa strategi jelas untuk mempertahankan independensi, semakin besar pula risiko ketergantungan ekonomi dan politik terhadap kekuatan besar. Dengan mempertaruhkan hubungan ke satu blok, Indonesia bisa terjebak dalam dinamika politik dan ekonomi yang tidak sehat. Misalnya, ketergantungan pada investasi dari negara tertentu bisa mengurangi kebebasan Indonesia untuk mengambil keputusan sesuai kepentingan nasional.
*4. Diplomasi atau Perjudian Kedaulatan? *
Diplomasi adalah seni mempertahankan kepentingan negara melalui strategi negosiasi dan hubungan yang saling menguntungkan, namun jika diplomasi beralih menjadi upaya untuk "memihak" guna mendapatkan keuntungan jangka pendek, maka hal tersebut dapat menjadi perjudian terhadap kedaulatan.
Berdasarkan teori game theory dalam hubungan internasional, setiap tindakan diplomatik seharusnya memiliki kalkulasi risiko dan keuntungan yang tepat. Kunjungan diplomatik ke berbagai negara memang menjanjikan manfaat ekonomi dan potensi kerja sama baru, tetapi tanpa strategi jelas untuk menjaga independensi, manuver ini justru berpotensi merusak posisi strategis Indonesia dalam hubungan global. Prabowo harus memastikan bahwa kunjungan dan interaksi diplomatik yang ia lakukan bukan hanya sekadar langkah mencari perhatian atau keuntungan instan, melainkan bagian dari rencana yang kokoh untuk melindungi dan memajukan kepentingan jangka panjang bangsa.
*5. Peran Kabinet sebagai Penyeimbang dalam Diplomasi Prabowo*
Dalam diplomasi internasional, kebijakan luar negeri yang berkelanjutan membutuhkan peran aktif lembaga negara yang dapat mengimbangi dan mengarahkan kebijakan sesuai kepentingan nasional. Prabowo harus memberi ruang lebih pada kabinet dan lembaga diplomatik untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan besar ini dilandasi analisis mendalam, bukan semata-mata keinginan atau aspirasi pribadi. Apalagi, dalam teori administrasi publik, dikenal konsep institutional autonomy, di mana lembaga-lembaga pemerintahan memiliki kewenangan yang independen untuk mencegah dominasi kepemimpinan individu. Jika Prabowo memberikan kebebasan berlebih pada kehendak pribadinya, maka kita bisa melihat dampak negatif pada kebijakan luar negeri Indonesia.
*6. Kesimpulan: Jalan Prabowo Antara Diplomasi Kuat dan Ancaman Ketergantungan*
Diplomasi agresif Prabowo mungkin memberi harapan bagi sebagian rakyat Indonesia bahwa negara ini dapat kembali memiliki pengaruh di panggung global. Namun, manuver yang terburu-buru dan terlalu terfokus pada kekuatan besar justru berisiko mengubah Indonesia dari negara yang independen menjadi negara yang bergantung pada agenda internasional negara-negara adidaya.
Prinsip-prinsip bebas-aktif yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa seharusnya tetap menjadi pedoman dalam setiap langkah yang diambil oleh Prabowo. Dengan menjaga keseimbangan yang hati-hati antara kepentingan nasional dan hubungan internasional, Indonesia bisa mempertahankan posisinya sebagai negara yang berdaulat dan bebas dari pengaruh dominasi kekuatan besar. Peran kabinet dan lembaga diplomatik harus ditegakkan untuk menjaga arah kebijakan luar negeri yang konsisten dan pro-kepentingan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H