Namun, masyarakat telah terbiasa dengan klasifikasi seni normalitas. Seni yang indah, atau bernilai seni, telah ada ukuran atau standar-standarnya.  Dan perdebatan di kalangan akademisi seni pun belum berakhir tentang kehadiran seni yang tidak mainstream ini.
Bagi penyandang kebutuhan khusus dan gangguan mental -apakah melukis sebagai tujuan terapi, atau sebagai pelepasan erangan jiwa, atau memang sebuah capaian estetik-- hasil karya mereka bukanlah hal yang menjadi soal untuk diperdebatkan.Â
Karya-karya penyandang keterbatasan itu disebut sebagai karya seni Artbrut, Outsider Art, Raw Art, atau Marginal Art, Â maknanya karya seni yang dibuat oleh pegiat yang bukan berlatar seni dan/atau tidak mengacu pada konsep seni akademik pada umumnya.Â
Karya Artburt dahulu antara lain diperoleh dari pasien rumah sakit jiwa, Â orang terpasung yang telah terbebaskan, Â dari pusat-pusat rehabilitasi mental, hingga para seniman kriminal yang stres tertekan di penjara.
Masih dipertanyakan: layakkah karya seni hasil terapi psikologis masuk kategori seni? Soalnya, isinya kan sebagai pelampiasan mimpi dan obsesi lantaran keterbatasan  mental sahaja. Mereka bekerja dalam keterisolasian atau kesendirian, melukis otodidak tanpa melalui proses kreatif sebagaimana proses kreatifitas dalam pembentukan budaya pada umumnya.
Menurut Jean Couteau, kurator pameran "Pasung Kapal Lepas-Outsider Artpreneur 2019" ini,  sejak akhir Perang Dunia II jagat seni dunia Barat telah menghargai karya-karya seniman yang gandrung ke pendekatan  artbrut atau outsider art. Â
Disebutkan nama seniman bergaya surealis atau abstrak kelas dunia seperti Andre Masson, Joan Miro, seniman bergangguan mental Adolf Wolfli, dan yang amat terkenal Salvador Dali, yang juga melukis sebagai penjelajahan psikologis jauh di bawah alam kesadaran.Â