Dan yang paling pahit, adalah dominasi dinas pendidikan daerah terutama pada administratif dan anggaran, belum pada urusan mutu sekolah.Â
Pelayanan dan dukungan kependidikan terhadap lembaga sekolah dan guru, lebih banyak dibingkai dengan tujuan pencapaian prestasi atau kejuaraan. Sepertinya aspek prestasi yang membuat bangga wilayah, itulah yang lebih utama.Â
Pemeriksaan kualitas pengajaran di sekolah, lebih kepada standar-standar adiminstratif dan pelaporan anggaran. Bagaimana proses guru berdiri di kelas mengajari siswa, dan mencapai mutu pengajaran di kelas, sesuatu yang kurang diperbincangkan. Â Penunjukan pejabat dinas pendidikan, yang jika kurang pas, berakibat kebijakan pendidikan tak berdampak perubahan apa-apa.Â
TANPA PEMERDEKAAN PENDIDIKAN, YANG TERJADI Â PEMBODOHANÂ
Kalimat itu memang terdengar sarkastik dan menyakitkan.Â
Kenyataannya begitu. Dengan model-model pembelajaran satu arah seperti yang masih lazim berlaku sekarang ini, tentu proses berfikir anak-anak kita hanya sampai sebagai penghapal materi saja.Â
Yang hasilnya adalah pembodohan. Tidak tumbuh sikap kritis dan ingin belajar. Bersekolah menjadi tugas atau beban. Mata pelajaran, seperti matematika, sains, ataupun bahasa, menjadi momok yang selalu harus dihindari. Sekolah memberi tekanan psikologis bagi siswa.Â
PR-PR yang begitu banyak, hanya membuat lelah. Alih-alih anak-anak kita mengembangkan diri di sekolah, malahan hanya menjadi robot penerima informasi yang dijejalkan terus setiap hari. Makin banyak tugas, makin hilang senyuman anak.Â
Pendidikan yang memerdekakan akan menumbuhkan sikap kritis pada guru dan siswa.Â
Guru terus bersemangat mencari cara terbaik untuk menumbuhkan kecerdasan siswa sekaligus menanamkan karakter budi pekerti yang baik.Â
Siswa pun bersemangat untuk menggali terus apa saja yang disukainya, tanpa batas. Pikirannya terbentuk makin kritis, ia gemar mempersoalkan berbagai informasi yang menarik baginya, dan mencari jawabannya dari literatur maupun lewat diskusi bersama para guru. Â