Mohon tunggu...
Indrawadi Mantari
Indrawadi Mantari Mohon Tunggu... -

Citijen Journalism/Pegiat Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Laut Kapan Kita Jaya?

1 Februari 2010   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kita sudah mengetahui bahwa sebagian besar wilayah Indonesia merupakan lautan, dan bahkan garis pantai Indonesia merupakan yang terpanjang didunia. Namun hingga kini masih banyak anggapan bahwa laut daerah yang berbahaya. Salah persepsi tersebut harus diubah, laut tidak lah daerah yang membahayakan, tetapi laut dapat membahagiakan, sebab dengan laut kita dapat menikmati pemandangan yang indah, hawa laut yang sehat dan segar dapat membuat kita berolah raga yang mengasyikkan dan memberikan harapan . Lautan jugalah yang menjadikan sebagai stabilisator temperatur agar tidak panas atau terlalu dingin. Disamping itu, lautan juga merupakan sumber pangan yang menyimpan segala macam sumberdaya hayati dan non hayati. Sedangkan bagi para ilmuwan dan akademisi, laut merupakan tantangan besar untuk mengungkapkan istilah "laut penuh dengan sejuta misteri".

Dr. Rokmin Dahuri di masa kabinet GUS DUR yang menahkodai Departemen Kelautan dan Perikanan yang sebelumnya adalah Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan mengatakan, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,8% pertahun, pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 267 juta jiwa. Artinya, kebutuhan akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin meningkat, sementara ketersediaannya di (darat) tidak lagi mencukupi. Oleh karena itu sudah saatnya kita (Indonesia) lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam kelautan sebagai sumber pertumbuhan baru bagi kesinambungan pembangunan nasional. Dengan demikian pada saatnya kelautan dapat memperkokoh fundamental ekonomi nasional yang menjadi syarat utama menjadi bangsa Indonesia yang maju, mandiri serta masyarakat adil makmur.

Dalam sebuah seminar kelautan, mantan direktur PKSPL-IPB itu juga mengatakan, bahwa kebijakan pemerintah dimasa lalu ( orde baru dan orde lama) telah menganak tirikan sumberdaya hayati laut tidak semata-mata pertimbangan rasionalitas ekonomi, mengingat besarnya potensi sumberdaya alam dan peluangnya yang begitu besar. Bila dicermati secara jeli, kebijakan tersebut lebih berkaitan dengan persoalan politik. Maksudnya kebijakan perikanan merupakan resultan dari lemahnya posisi politik nelayan (pelaku usaha kecil di bidang perikanan). Dimata pemerintah yang selalu terpinggirkan, sehingga aspirasi dan kepentingan komonitas nelayan tidak terakomodasi dalam kebijakan publik. Karena itu upaya rekontruksi kebijakan perikanan perlu diperjuangkan di dua arena sekaligus, yakni arena ekonomi dan arena politik. Dimasa lalu nelayan dan petani ikan hanya jadi korban mobilisasi politik terutama menjelang pemilu.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mendorong pembangunan perikanan nasional dalam rangka memanfaatkan peluang dan mengeliminasi ancaman dari perubahan-perubahan yang tengah berlangsung. Ini tentu menuntut perubahan dalam arah dan strategi pembangunan kelautan dan perikanan yang berbeda dengan apa yang telah dilakukan selama ini.

Secara umum dapat digambarkan salah satu dari sumberdaya tersebut adalah kehidupan terumbu karang Indonesia, dilaporkan saat ini kondisinya memang telah cidera berat, lebih dari 71% dari 65.000 km persegi habitat terumbu karang Indonesia dalam kondisi rusak berat, Bahkan di Sumatera Barat sendiri berdasarkan laporan Puslitbang Perikanan Universitas Bung Hatta, kerusakannya hampir mencapai 90 % lebih. Padahal dari 1km persegi habitat terumbu karang yang baik dapat menghasilkan ikan 15 – 30 ton pertahunnya. Berdasarkan perhitungan Bank Dunia, Indonesia kehilangan potensi laut Rp. 6,5 triliun pertahunnya gara-gara kehancuran habitat penghuni dasar laut ini.. Terjadinya hal tersebut akibat para nelayan tidak lagi mengindahkan hukum dan lingkungan, semuanya karena lemahya penegakan hukum, penyadaran dan pemberdayaan.

Satu catatan lagi adalah permasalahan sumberdaya manusia, berapa jumlah fakultas perikanan dan kelautan di Indonesia, berapa persen sarjana perikanan dan kelautan kita yang mau susah-susah jadi nelayan atau bergerak di bisnis kelautan dan perikanan ?, lebih banyak dari mereka Cuma jadi juru tulis di belakang meja departemen dan lembaga penelitian atau konsultan. Jadi kapan dilaut kita jaya ?

Indrawadi,S.Pi
Univ. Bung Hatta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun