Aspal Buton adalah aspal alam yang terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Aspal alam ini merupakan kekayaan sumber daya alam yang sangat langka di dunia. Aspal alam ini hanya terdapat di beberapa tempat tertentu saja di dunia, antara lain di Pulau Buton. Di Pulau Buton jumlah depositnya diperkirakan merupakan yang terbesar di dunia. Dan ironisnya, kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah ini masih belum mampu dikelola oleh Pemerintah secara optimal. Sampai saat ini manfaatnya masih belum dapat dinikmati oleh masyarakat di sekitarnya. Aspal Buton masih harus terus menerus berjuang keras untuk menunjukkan jati dirinya sebagai aspal alam terbaik di dunia. Tetapi harapan itu tinggal harapan. Dan kelihatannya harapan itu pun kian hari kian semakin pudar. Karena sudah hampir 1 abad lamanya sejak aspal Buton pertama kali ditemukan pada tahun 1924, dan sampai sekarang ini masih belum ada tanda-tanda yang membesarkan hati. Mengapa kita memerlukan waktu hampir 1 abad lamanya untuk mengolah aspal Buton ? Karena permasalahan aspal Buton begitu rumitnya, sehingga kita memerlukan pemikiran dan upaya yang “out of the box”; yaitu pemikiran yang tidak biasa, atau pemikiran yang mengandung inovasi.
Sebenarnya aspal Buton sudah diolah sejak lama dalam berbagai bentuk dan jenis seperti Aspal Buton butir; yaitu mulai dari Asbuton Konventional, Asbuton Mikro dan Mikro Plus, Teknoburas, Superlasbutak, Butonite Mastic Asphalt (BMA), Buton Granular Asphalt (BGA), Buton Rock Asphalt (BRA), dan Lawele Granular Asphalt (LGA). Asbuton Semi Ekstraksi; seperti Retona Blend (Refined Buton Asphalt Blend). Dan Bitumen Asbuton Murni (BAM); seperti aspal biasa yang umum kita gunakan di jalan-jalan. Bitumen Asbuton Murni (BAM) ini merupakan hasil ekstraksi penuh aspal Buton sehingga spesifikasi tehnisnya sesuai dengan spesifikasi tehnis aspal minyak yang selama ini kita gunakan. Dengan perkataan lain, Bitumen Asbuton Murni (BAM) adalah setara dengan aspal minyak, sehingga dengan demikian Bitumen Asbuton Murni (BAM) ini dapat digunakan untuk menggantikan aspal minyak impor. Kalau begitu, mengapa kita tidak memproduksi Bitumen Asbuton Murni (BAM) saja untuk menggantikan aspal minyak impor ? Benar. Memang inilah yang sekarang sedang kita perjuangkan dan upayakan selama hampir 1 abad ini. Kita wajib memproduksi Bitumen Asbuton Murni (BAM) untuk menggantikan aspal minyak impor. Dan ini adalah harga mati.
Memproduksi Bitumen Asbuton Murni (BAM) untuk menggantikan aspal minyak impor mudah diucapkan, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Mengapa ? Karena Teknologi ekstraksi bitumen satu-satunya di dunia yang sudah terbukti kehandalannya adalah Teknologi “Ekstraksi Air Panas”. Dan Teknologi ini sekarang sudah digunakan di Kanada. Tetapi Teknologi ini mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan hidup. Alternatif lain adalah Teknologi “Ekstraksi Pelarut” yang ramah lingkungan. Tetapi sangat disayangkan bahwa Teknologi ini baru sampai tahap “Pilot Project”. Dan belum sampai masuk kedalam tahap pembangunan “Commercial Plant”. Oleh karena itu pihak Investor masih enggan dan ragu-ragu untuk mau berinvestasi di bidang ekstraksi aspal Buton ini karena masih banyak resiko-resiko tak terduga yang harus diperhitungkan dengan seksama. Resiko-resiko yang harus diperhitungkan itu adalah selain resiko-resiko tehnis, juga resiko-resiko non-tehnis; seperti fluktuasi harga aspal minyak, fluktuasi kurs US Dollar terhadap Rupiah, kurang tersedianya infrastruktur untuk industri aspal Buton, nilai ekonomisnya dari Proyek, peraturan-peraturan yang belum jelas, dll. Sehingga dengan demikian sampai sekarang ini masih belum ada satupun Investor yang berani dan mau menanggung resiko-resiko tersebut. Mungkin karena menurut pandangan mereka resiko-resiko tersebut masih terlalu besar apabila dibandingkan dengan potensi keuntungan yang akan diperolehnya. Dalam hal ini masalah tehnis dan bisnis masih merupakan kendala utama mengapa belum ada pihak Investor yang berani dan mau menjadi perintis di bidang produksi Bitumen Asbuton Murni (BAM). Memang sudah ada beberapa Perusahaan yang lebih dahulu bergerak di bidang produksi Bitumen Asbuton Murni (BAM), tetapi apakah Perusahaan tersebut sudah berhasil dan mampu menggantikan aspal minyak impor secara ekonomis masih belum terdengar lagi ada beritanya lebih lanjut.
Pemerintah menyadari dan memahami dengan baik bahwa untuk mengembangkan Industri Aspal Buton dibutuhkan banyak sekali dana dan investasi. Untuk itu diperlukan Investor untuk membangun pabrik ekstraksi, Investor untuk penambangan bahan baku, Investor untuk pembangunan infrastruktur-infrastruktur, dan sarana pendukung operasi dan produksi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua itu, Pemerintah harus memulainya dari mana dahulu ? Apakah dengan membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menarik para Investor terlebih dahulu ? atau membangun pabrik ekstraksi aspal Buton dahulu ? Dengan dibangunnya pabrik ekstraksi aspal Buton, maka para Investor akan dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa secara tehnis dan bisnis sebenarnya resiko-resiko tersebut ternyata tidak sebesar yang dikuatirkan, sehingga dengan demikian mereka akan tertarik untuk mau berinvestasi di bidang industri aspal Buton. Prinsip seorang Investor sejati adalah: “High Risk –> High Gain”. Tetapi kebanyakan calon Investor lebih cenderung untuk bersikap: “Low Risk –> High Gain” alias ingin untung besar dengan modal kecil. Akibatnya peristiwa seperti ini dapat dikiaskan sebagai: “Mana yang lebih dulu ada antara ayam dan telur ?”. Mana yang harus dibangun terlebih dahulu, apakah pabrik Ekstraksi Aspal Buton atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menarik para Investor ?. Ini memang keputusan yang sangat sulit.
Industri Aspal Buton adalah unik, karena hanya terdapat satu-satunya di Pulau Buton. Permasalahan Aspal Buton sekarang ini akan semakin kompleks dengan adanya wacana pengembangan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) dengan mengandalkan industri aspal Buton. Dalam waktu dekat diharapkan akan ada instruksi Bapak Presiden Joko Widodo yang akan memberikan pengarahan solusi jitu terhadap permasalahan aspal Buton. Memang keputusan ini tidaklah mudah, dan tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Apa lagi sekarang ini sedang dalam situasi merebaknya wabah Covid 19 yang sedang menghantui seluruh rakyat Indonesia, turunnya harga minyak bumi yang sangat rendah, tingginya kurs US Dollar terhadap Rupiah, dan potensi krisis ekonomi yang cukup parah di masa depan. Tentunya hal-hal ini akan menjadi pertimbangan khusus bagi Bapak Presiden Joko Widodo untuk menentukan prioritas utama mana masalah Negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dan hal-hal mana yang masih bisa ditunda,
Solusi jitu aspal Buton harus menjadi tanggung jawab Negara itu memang sudah sangat tepat. Pemerintah sudah mempunyai BPPT, LIPI, LEMIGAS, PUSJATAN, LITBANG ESDM, LITBANG PUPR, ITB, ITS, dll. Sementara menunggu badai wabah Covid 19 mereda, bagaimana kalau sekarang ini kita duduk bersama-sama untuk melakukan pengkajian dan asesmen terhadap Teknologi “Ekstraksi Pelarut” untuk mengekstraksi aspal Buton secara ramah lingkungan ?. Hasil dari pengkajian dan asesmen ini akan dipresentasikan di hadapan para Investor. Dengan demikian permasalahan aspal Buton akan maju selangkah. Mudah-mudahan setelah para ahli terbaik Indonesia selesai melakukan pengkajian dan asesmen terhadap Teknologi “Ekstraksi Pelarut”, prinsip Investor dari “High Risk –> High Gain” akan bergeser menjadi “Low Risk -> High Gain”. Dan apabila skenario ini ternyata memang benar, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan banyak Investor yang akan mulai tertarik untuk berinvestasi di bidang industri aspal Buton dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sekarang pertanyaannya adalah siapa yang mau bergerak cepat untuk menindak lanjuti pemikiran “out of the box” ini ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H