Bersama Malam
Dengan pakaian sederhana, sendal jepit butut, dan tongkat paralon kau berlalu diantara keramaian jalan Dipatiukur yang penuh muda-mudi. Kupikir kau seorang peminta ternyata salah, kau adalah pejalan kaki tua diantara keramaian jalan Dipatiukur yang penuh muda-mudi.
Aku memandangnya. Kemudian terdiam. Ada percik kenangan dalam ingatan. Dia nan renta berjalan tak hirau. Aku menelusuri langkahnya hingga ke pertigaan jalan. Berharap menemukan sekeping warna wajah datukku.
Kau pejalan tua yang tak meradai, tak menadahkan tangan, dan tak memelas. Kau larut dengan perjalananmu. Otakku menelusuri ada mata yang kurang awas, telinga pekak, dan muka bergaris. Aku mengutuk diri karena hanya menikmati rasa iba hati. Ragaku bereaksi, aku menemukan rasa lapar pada warna wajahmu. Lari. Berlari dengan kresek ditangan.
"Pejalan tua, hanya ini yang bisa ku bagi. Kresek serta isinya untuk menemani perjalananmu. Apakah kau lelah? Rehatlah sejenak, Aku telah meminta malam untuk memberimu tempat yang hangat."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H