"Tak usah berpikir tentang perhiasan dan alat ibadah",bisikku sambil merapihkan rambut. "Mayday di Gedung Sate hanya membutuhkan bendera dan toa...," tambahku.
Mayday di Gedung Sate... dia mencoba menerka apa yang kumaksud dengan "Mayday di Gedung Sate hanya membutuhkan bendera dan toa".
Aku mengangguk-anggukkan kepala. "...ya, hal itu, bisa menjadi rangkaian sakral kita," ucapku lirih karena aku menangkap tanda tanya darinya.
Dia menatapku. Mematikan api rokoknya. Mencium keningku. Setelah itu pelan-pelan dia membisikku. "Tadinya maharnya memang direncanakan hanya selembar bendera merah tak bergambar,sebatang bambu 1,5 meter, satu buah toa kecil, dan spanduk sepanjang 3x1 meter, tidak lupa sebuah baligo anti imperialis dengan meminta bantuan seorang seniman merah. Tetapi rupanya keinginan berkembang untuk merayakannya dengan diskusi publik tentang pernikahan dan antikapitalisme global."
"Setelah diskusi tersebut, kuingin kau menyanyikan lagu Internasionale sebagai penutup acara sakral kita," kataku sembari hendak mencubit lengannya.
25 Juli 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H