Mohon tunggu...
Indra Yadi
Indra Yadi Mohon Tunggu... Penulis - PNS Kementerian yang bisa nulis

“Belajar,berdoa, dan bersyukur”

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pungutan Liar, Tuntutan Apa Kebutuhan?

20 Desember 2015   10:43 Diperbarui: 20 Desember 2015   11:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai pendidikan di negeri ini, seolah tidak ada habisnya. Dari mulai sekolah rusak, kesejahteraan pendidik tidak memadai, polemik honorer, pungutan liar, hingga kontroversi sertifikasi guru. Bukan rahasia lagi, jika pendidik zaman sekarang tidak hanya berasal dari institusi keguruan, tempat mengajar tidak harus di sekolah, dan kesejahteraan mencukupi. 

Terlepas dari fakta-fakta diatas, masih ada beberapa pendidik yang mengaku kekurangan, sehingga melakukan pungutan kepada para siswa. padahal, ia berstatus PNS, menduduki jabatan struktural nan strategis di sekolah, gelar keilmuannya sudah master, dan setiap tiga tahun sekali nyicil kendaraan baru. Kebetulan sekali, kemarin ada pembagian rapor di SD-SMA tetapi ada beberapa orangtua siswa mengeluh karena diminta sumbangan oleh guru kelas. Menariknya, ada dua jenis sumbangan. Yakni, sumbangan sukarela dan administrasi. 

Sumbangan administrasi memiliki tarif minimal, alasannya untuk operasional kelas, sedangkan sumbangan sukarela ya, berapapun namun harus dibayarkan! Adapun pungutan jenis lain, yang dikenakan siswa sebagai hukuman di pelajaran tertentu. Biasanya, pelajaran olahraga dan agama.  

Gejala ini sebetulnya sudah lama terjadi, bahkan sejak dekade 1990-an! Hanya saja, saat itu dibalut dengan pemberian hadiah dari orangtua siswa, pembelian buku paket, LKS, dan peralatan sekolah. Ada beberapa pendidik yang terang-terangan minta gelang, kalung, bahkan emas batangan saat pembagian rapor. Ya, orangtua siswa memaklumi dengan alasan kesejahteraan. Namun, sekarang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Para orangtua harus peka terhadap fenomena ini. Pemerintah sudah menyediakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) di semua tingkatan, tunjangan daerah setiap guru, dan sebagainya. 

Perhatikan artikel berikut : http://www.kompasiana.com/samuelhenry/pungli-di-sekolah-kreatifitas-terselubung_55c4780b03b0bde8065b5439

Nyata betul, bahwa perilaku pendidik saat ini membuat miris hati. Berbeda dengan pendidik zaman dulu, ia rela menjadi pengojek usai tugas mengajar, membuka les tambahan bagi anak didiknya, bahkan ada yang jadi pemulung! Teringat, dulu medio 2005 seorang almarhum guru Bahasa Indonesia SMP. Usianya 63 Tahun, Sudah pensiun PNS, namun diperbantukan mengajar. Cara mengajarnya seperti ceramah, namun runtut. Sehingga, dipahami betul setiap materinya. Adapun tokoh imajiner, yakni pak guru Topaz. Ia mengajar pelajaran Pendidikan Moral Pancasila di sebuah yayasan pendidikan, sikapnya tegas dan penuh kasih sehingga dihormati sekaligus ditakuti oleh anak didiknya. Demi menutupi kebutuhan dapur, ia membuka les privat. Tidak sengaja, ia memiliki siswa privat yang berasal dari keluarga kaya. Alhasil, setiap mengajar selalu disuguhi kudapan mewah, tak jarang pula diajak makan siang bersama. 

Suatu hari, pak guru Topaz ditawari mengelola perusahaan oleh sang orangtua murid, asalkan berhenti mengajar. Ia bersedia namun, tidak menuntut fasilitas tertentu, dalam perjalanannya. Ia bertemu dengan berbagai macam karakter orang, menandatangani sejumlah proyek, keliling Jakarta memakai mobil, dan diberi fasilitas rumah. Ternyata, ada pemeriksaan dari bank mengenai perusahaan yang dikelola pak guru Topaz dan ia diduga sebagai pemiliknya. Di kemudian hari, perusahaan itu dinyatakan fiktif! Pak guru Topaz langsung bersaksi dan tak lama kemudian berhasil meringkus orangtua siswanya yang notabene pemilik perusahaan fiktif tersebut. Melihat realita seperti itu, pak guru tidak gusar ataupun cemas. 

Justru bersyukur! Sebab ia, bisa mengajar kembali seperti sediakala. Karakter seperti ini, harusnya ditiru oleh pendidik era sekarang, apalagi nanti pemerintah menetapkan gaji honorer disetarakan UMP sesuai daerah. Kembali pada soal pungutan liar. Sebenarnya tata kelola BOS tiap sekolah dilaporkan ke pihak dinas atau tidak? lalu, pemberian hadiah dari orangtua siswa saat terima rapor, termasuk gratifikasi? Pada akhirnya, alasan kesejahteraan tidak cukup, sehingga pendidik meminta pungutan. Masihkah relevan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun