Pertama kali mendengar kata ‘Softbank’, terbersit sesuatu yang bernada futuristik di pikiran kala itu. “Wah seru nih, udah lahir virtual bank”, pikirku begitu. Waktu searching di internet akhirnya menemukan istilah ini. Bayangan waktu itu ialah bank yang cara operasinya mirip Paypal, institusi jasa keuangan dan intermediasi transaksi online. Tak tahunya softbank ialah sebuah perusahaan telekomunikasi dan media di Jepang. Meskipun salah satu korporasinya bergerak di bidang jasa keuangan, namun sejauh pengetahuan penulis jasa keuangannya memiliki operasi pada sektor investasi, diantaranya memposisikan diri sebagai venture capital. Nah, kalaupun ada bank yang bersifat virtual seperti bayangan penulis di awal bagaimana jadinya ya?
Mungkin kita bisa melihat posisinya seperti ini. Bank virtual akan tumbuh bila sistem keuangan virtual berjalan. Layaknya sistem keuangan di dunia nyata, uang merupakan nadi bagi sistem ini juga untuk berputar. Bila telah disepakati munculnya uang virtual, maka bank yang bersifat virtual tak pelak lagi akan bermunculan. Sekarang ini sudah bertebaran toko-toko virtual, pembeli virtualnya pun kita-kita juga, lembaga pembayaran atau payment gateway pun sudah ada, tinggal perbankan virtualnya yang belum ada sebab uang virtual yang disepakati belum ada.
Apa payment gateway seperti Paypal, MoneyBrooker, dan institusi lainnya tidak bisa berperan seperti layaknya bank, memberikan pinjaman bagi debitor dan memberikan imbalan atas dana deposan yang ditanamkan? Bisa saja, asal model pembiayaan yang akan diterapkan memang merupakan peluang yang laik.
Bayangkan, selama ini kita (terpaksa) menyimpan sejumlah nilai tertentu dalam akun Paypal misalnya, karena beberapa alasan. Paling banyak adalah ada batas minimum nominal pencairan menurut ketentuan Paypal. Akibatnya terdapat sejumlah nominal tertentu, tetap tersimpan dalam Paypal, tidak bisa dicairkan. Meski Paypal tidak memungut biaya terhadap nominal yang tersisa ini, akan tetapi bagi kita nominal tersebut masuk kategori sebagai dead assets – paling tidak sampai bisa kita cairkan, sebab tidak bisa kita manfaatkan untuk konsumsi – beli-beli barang maksudnya – ataupun diputar menjadi modal. Kalau diakumulasi untuk seluruh account Paypal yang memiliki dead asset tersebut, tentu nominal jumlahnya tidak sedikit.
Akan tetapi ada pertanyaan awal yang terlintas, model pembiayaan virtual seperti apa yang sesuai untuk bank virtual? Awalnya penulis terpikir, pembiayaannya bisa diarahkan kredit pembelian barang-barang lewat payment gateway yang sama juga. Berbeda dengan lazimnya pembiayaan konvesional, pihak pemberi pembiayaan virtual merupakan gabungan pemilik akun yang hanya boleh memberikan pembiayaan dengan batas maksimum tertentu. Misalnya, ada kebutuhan pembelian barang yang memerlukan pembiayaan sebesar $100. Pembiayaan itu mensyaratkan bahwa tiap account yang akan ikut hanya dibolehkan berpartisipasi sebesar $1. Jadi dibutuhkan sebanyak 100 akun agar pembiayaan tersebut bisa cair. Kalau belum mencapai angka tersebut, maka pembiayaannya belum bisa cair (digunakan).
Syarat tersebut diberlakukan untuk meminimalkan resiko jikalau pembiayaan tersebut gagal balik dengan menebar resiko secara gabungan. Sekaligus ada rasa tanggung jawab pengembalian modal terhadap komunitas yang memberikan pembiayaan. Syarat lain, barang yang dikreditkan hanya bisa dibeli di merchant tertentu. Tentunya merchant yang mempunyai kerjasama dengan pihak payment gateway.
Ini mungkin usul yang terlalu menyederhanakan, namun model bisnis seperti ini yang dirincikan lebih lanjut bisa jadi menjadi kenyataan model pembiayaan virtual masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H