Dari balik jendela, kutatap hamparan biru membentang laksana permadani agung penghulu lautan kepulauan. Namun siapa sangka, di balik kemilau riak metafora keselamatan itu terkandung bara konflik yang menggelora? Di Laut Cina Selatan inilah, teritorialitas wilayah Indonesia tengah diuji oleh rezim Sembilan Segmen Garis yang mengelilingi Natuna ibarat klengsengan ikan buntal.
Bukti arogan Tiongkok nyata ketika mereka mengusir kapal pengawas kita seperti memuakkan tuan rumah sendiri pada tahun 2020 silam. Lalu, bagaimana dengan kapal-kapal bajak laut asing yang terus mencaplok kekayaan bahari dari tenggelam di pantai Natuna hingga Lautan Sulawesi? Ratusan kapal ilegal membajak ribuan ton ikan kita bak perompak abad maritim. Malahan, kerap kali kejahatan ini luput dari sorot publik hingga berderak seperti halilintar di laut biru tak berpenghuni!
Selain itu, ancaman lain berupa gangguan terhadap jalur pelayaran dan pelayaran maritim Indonesia. Bagaimana jika esok hari Selat Malaka terkepung perang bak kisah heroik Hang Tuah melepas sauh? Konflik pukul rata akan mencederai urat nadi perekonomian negeri yang menghidupi sebagian lebih rakyat Indonesia. Tidak terkecuali proyek-proyek strategis gagak hitam seperti pendirian ibu kota negara di Kalimantan akan dilanda badai.
Pentingnya kita menggembleng kebijakan maritim dalam menghadapi bencana bahari di Laut Cina Selatan. Negeri ini harus bangkit sebagai Sang Pamungkas yang memimpin kawasan diplomasi dalam bingkai hukum internasional. Sudah terlalu banyak pengabaian terhadap wilayah kedaulatan maritim, sehingga menyebabkan batang hidung sendiri menjadi bangsa bahari.
Selain diplomasi yang berwawasan keamanan, modernisasi kekuatan laut Indonesia adalah suatu keharusan! Tak sekadar membeli alutsista baru, tapi juga mengukuhkan pengamanan laut dengan teknologi satelit, drone, dan intelijen maritim yang tak berpamrih. Kebijakan menenggelamkan kapal pencuri pun harus dipraktikkan secara maskulin, membuktikan kejantanan kita menjaga wilayahnya sendiri.
Namun, jika seluruh komponen bangsa terkulai, pastilah malapetaka akan terjadi di Nusantara. Pendidikan keamanan maritim dan kaderisasi maritim harus diperkokoh sejak dini ke segenap jalur. Kebijakan infrastruktur harus menitikberatkan pembangunan industri maritim dari hulu ke hilir, sehingga tercipta kemandirian maritim yang benar-benar merdeka.
Lebih dari itu, kesadaran kolektif seluruh rakyat Indonesia akan pelestarian maritim harus terus digaungkan. Melalui jalur pendidikan formal dan informal, semangat bahari dan cita-cita maritim sejati harus ditanamkan. Bangsa pelaut pada hakikatnya adalah bangsa yang memiliki ketangguhan menghadapi tantangan samudera lepas. Jiwa unggul itu pulalah yang dibutuhkan dalam mempertahankan kedaulatan maritim dari kepungan ancaman.
Untuk itu, sudah saatnya negeri ini memegang kemudi laut dengan tangan baja. Tidak lagi dalam menekan arus internasional semata, melainkan dengan bergerak sebagai pelaku utama sesuai kepentingan nasional yang tidak bisa dididik. Turun tangan langsung dalam pengelolaan sumber daya laut harus menjadi prioritas bukan sekadar proyek avante garde yang menyedot kekayaan untuk kesejahteraan bangsa lain.
Lepas dari seremoni diplomasi dan jargon cinta laut, eksistensi kemaritiman Indonesia harus nyata dalam tindakan yang menunjukkan rasa memiliki sejati atas Nusantara. Jangan biarkan marwah kepulauan kita terinjak-injak di hadapan penonton forum dunia tanpa perlawanan.
Sudah terlalu lama genderang menghormati pelestarian ekosistem Sabang hingga Merauke. Di balik kepungan batas-batas maritim yang memaksa kemerdekaan terpasung rantai labirin monarki Tirai Bambu, kita bahkan kesulitan membedakan mana wilayah sendiri dan mana ranah bangsa lain. Sudah terlalu lama Jalur Sutra Maritim asing menancap ke tubuh wilayah kita bak garis kenistaan yang merembet ke segala penjuru.
Oleh karena itu, hari ini dan seterusnya Indonesia harus bangkit kembali merenggut kembali lambang-lambang kemartiriannya. Bergerak tak ubahnya Barakuda di torrent gelombang kedaulatan maritim yang tak terbelenggu! Laut Cina Selatan adalah penghulu masa depan maritim kita, bukan masa silam euforia peninggalan peninggalan. Garis Merah Putih harus ditarik kembali bak penguasa maritim sejati, sehingga sepak terjangnya sama menggeloranya dengan deburan ombak di bahari. Jika bukan Indonesia yang membuktikan kedaulatan maritimnya sendiri, lalu siapa lagi?
Sekian tulisan ini, semoga inspiratif dan dapat menjadi obor pelita dalam menggembleng kedaulatan maritim Indonesia di Laut Cina Selatan. Ingat, jalan laut sudah mengalir sejak selaksa abad, mengantarkan Sang Nusantara menjadi muara peradaban dunia!