Mohon tunggu...
Indra Setia Bakti
Indra Setia Bakti Mohon Tunggu... -

....No Smoking Area....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

'Uang Jalan', Etiskah?

29 Juni 2012   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:25 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13409819402046606758

Tulisan ini terinspirasi dari celotehan seorang anggota masyarakat, sebut saja si A, yang merasa terbebani dalam proses pengurusan rekom sertifikat hak milik tanah. Suatu ketika beliau berencana meminjam uang ke sebuah bank untuk modal usaha. Tanah beserta bangunan rumah miliknya akan dijadikan sebagai agunan. Saat ini tanah tersebut sedang dalam proses pengurusan sertifikat hak milik melalui pensertifikatan tanah secara masal atau lebih akrabnya dikenal dengan istilah PRONA. Sampai saat ini, prosesnya sudah berjalan selama dua bulan. Tanahnya pun sudah diukur namun sertifikatnya belum selesai.

Singkat cerita Si A pun mengajukan permohonan ke kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten X agar mengeluarkan surat rekomendasi untuk dijadikan sebagai pegangan bank, sementara boroh masih dalam proses pengurusan. Namun alangkah kagetnya beliau, sebab disebutkan biaya untuk mengeluarkan surat rekom saja mencapai Rp.800.000,-.Ketika dicari kepastian untuk apa uang sebesar itu, oknum pejabat tersebut menjelaskan untuk ini dan itu, dengan terang-terangan menyebutkan masuk ke kantong raja-raja kecil, sebagian untuk ‘uang jalan’ (padahal tanahnya sudah diukur). Setelah sedikit bersitegang dengan oknum pejabat tersebut, pada akhirnya niat untuk mengeluarkan surat rekom urung dilakukan Si A.

Lalu di luar kantor Si A pun berceloteh, “Kalau mengukur tanah saja, yang sudah merupakan bagian dari tugas mereka, harus pakai uang jalan segala, lantas gaji yang mereka makan selama ini mereka anggap untuk apa ya?”. Memang benar juga apa yang dikatakan oleh Si A. Bukankah seorang pegawai negeri sudah memperoleh uang minyak beserta kendaraan dinas yang dibiayai dari uang rakyat? Mengapa tega sekali menyalahgunakan kewenangan dan mengkhianati kepercayaan publik dengan perilaku ekstra legal tersebut? Bukankah ada slogan yang dipajang di depan kantor “Hidup Tenteram Tanpa Korupsi”?

Salah satu tujuan penarikan beban pajak dari rakyat adalah dalam rangka menyediakan dana untuk dapur pegawai negeri. Sungguh naïf ketika ada oknum pegawai negeri yang meminta atau menerima uang de-el-el yang jelas-jelas tidak legal secara hukum. Bagaikan air susu dibalas dengan air tuba. Bukan lagi pelayanan cepat, mudah, dan nyaman yang diterima rakyat, melainkan pelayanan lama, ribet, dan mahal. Pantas saja survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional menempatkan Indonesia dalam jajaran lima besar negara terkorup di dunia.

Sejenak kita perlu melihat ke belakang, ke sejarah kehidupan kita. Ketika pertama kali kita mendengar kabar diterima menjadi PNS, mungkin sebagian besar diantara kita melakukan sujud sukur. Kita sama-sama tahu, betapa sulit memperoleh pekerjaan tersebut dewasa ini, mengingat serunya persaingan dan ngerinya dunia sogok menyogok. Namun semuanya menjadi percuma, bila yang terjadi setelah itu, amanah dan nikmat yang sudah dikaruniakan Allah melalui pekerjaan tidak benar-benar kita jaga dan sukuri.

Menerima ‘uang jalan’ dari masyarakat adalah sebuah perilaku yang kurang etis, walaupun si pemberi merasa ikhlas. Secara aturan hukum hal itu tidak dibenarkan. Sayangnya perilaku tersebut sudah tampak membudaya di daerah ini. Perilaku yang mungkin awalnya dipelopori oleh satu dua oknum tertentu, lalu menarik minat yang lain. Akhirnya dilakukan secara berjamaah dan berulang. Lalu menjadi watak yang tidak hanya meracuni oknum pegawai, tetapi juga masyarakat umum, karena kini menganggap semuanya sebagai sebuah kewajaran.

Tampaknya kita perlu merenungkan kembali petuah kakek dan nenek kita, yang namanya ‘uang panas’, biasanya akan disalurkan ke hal-hal yang kurang baik. Kalau diberikan untuk nafkah keluarga, maka ia akan mendarah-daging dalam tubuh anak dan istri kita. Maka wajar saja kalau pada akhirnya banyak anak-anak bandel bertebaran di muka bumi. Sebab perilaku seseorang bisa jadi bersumber dari apa yang ia makan.

Pada akhirnya, Tuhan tetaplah Sang Pemberi Keadilan. Dengan sekejap saja, Dia mampu menghanguskan ‘uang panas’ yang sudah kita investasikan ke dalam suatu benda. Dan kalau hal ini benar-benar direnungkan, para koruptor tak akan pernah tenang hatinya. Percayalah.

...

*Penulis adalah warga Kota Takengon, Kab. Aceh Tengah

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun