Mungkin ada diantara kita beranggapan bahwa judul tulisan ini terkesan mengada-ada. Sebagian dari kita mungkin menganggapnya tidak penting, mengingat hak asasi manusia saja belum sepenuhnya terealisasi. Jadi untuk apa membahas isu hak asasi binatang, yang tidak jelas ke mana arah mimpinya.
Isu ini memang belum santer dibahas di Indonesia, baik di dunia akademik maupun jurnalistik. Paling tidak temanya kurang hot dibandingkan dengan tema perebutan kekuasaan, korupsi, dan kapitalisme. Hampir seluruhnya bersentuhan dengan kepentingan manusia di bumi ini. Padahal sejujurnya populasi binatang jauh lebih besar, namun mereka selalu terabaikan.
Sedikit bertolakbelakang dengan kita, di negara maju pesan-pesan kecintaan terhadap binatang sudah lama menggema, baik melalui media tulisan maupun audio visual. Film Hachiko adalah salah satu contohnya. Terlepas dari apa pun motif produsernya, film Hachiko seharusnya dapat menjadi bahan permenungan, bukan sekedar hiburan. Film inspiratif dan menyentuh yang berangkat dari kisah nyata di Negeri Sakura. Sebuah kisah yang sarat makna dan pesan luhur, betapa sesungguhnya manusia dan binatang dapat menjalin sebuah persahabatan, tanpa ada pamrih dan pengkhianatan.
Persahabatan binatang dan manusia sudah lama terjadi, walau tak begitu banyak tercatat dalam sejarah. Mereka telah mengisi tawa manusia dengan keluguannya, serta memberi rasa cemas dan kehilangan, karena selalu ada ruang perpisahan dalam setiap pertemuan. Namun mereka adalah sahabat lama manusia, yang sedikit terlupakan hak dan kepentingannya dalam prioritas kebijakan pemerintahan manusia.
Binatang tidak punya kepastian hukum. Apalagi di Indonesia, belum ada produk hukum yang secara khusus menjunjung tinggi hak asasi binatang. Harus diakui, kita masih sedikit tertinggal dari ‘negeri bule’ dalam hal ini. Konon katanya menendang seekor anjing saja di sana bisa dihukum penjara. Mungkin ini sebuah bentuk kebijakan yang mengada-ada, ataukah mungkin sebuah kemajuan dari pemikiran hukum?
Meski lama tertindas, binatang tidak memiliki serikat organisasi yang mampu menghimpun kekuatan. Binatang tidak akan pernah mungkin menyelenggarakan konferensi tingkat dunia agar hak asasi mereka terpenuhi. Tidak seperti manusia yang mampu memperjuangkan hak asasinya ketika dilanggar, binatang hanya mampu mengharap belas kasihan manusia agar hak-hak asasinya terpenuhi. Mereka bukannya tidak bersuara, namun kenyataannya tidak banyak khalifah di muka bumi ini yang mendengarkan.
Bagi manusia dengan tingkat sensitivitas yang tinggi, mata seekor binatang sesungguhnya sudah dapat memberinya gambaran betapa menderitanya binatang tersebut. Seperti mata manusia, mata binatang juga tidak pernah berbohong. Mata tersebut dapat memberi cerminan suasana hati mereka, dalam suka dan duka.
Kita perlu memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anak di negeri ini tentang bagaimana memperlakukan binatang di sekitarnya. Selama ini, beberapa dari mereka seolah tak merasa bersalah ketika melempar anjing dengan batu, menarik ekor kucing, menyabung ayam, atau menembak burung-burung di pepohonan. Sungguh perilaku yang kurang terpuji ketika hal tersebut dijadikan sebagai bagian dari hobi atau kesenangan. Mereka adalah generasi penerus yang akan mewarnai bumi, jangan sampai nantinya menjadi manusia perusak tatanan ekosistem.
Manusia masa depan haruslah penyayang binatang. Kalaupun tidak memandangnya sederajat, minimal harus memperlakukan binatang dengan penuh rasa hormat. Sebab tinggi rendahnya derajat manusia sesungguhnya dapat diukur dari bagaimana mereka memperlakukan mahluk yang lebih rendah. Seperti kata Mahatma Gandhi : “The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated” (kebesaran beserta kemajuan moral suatu bangsa ditentukan dari bagaimana hewan-hewan yang hidup di sana diperlakukan). Binatang juga mahluk Tuhan. Memperlakukan binatang secara baik berarti menghormati Tuhan yang menciptakannya.
Suatu ketika Rasulullah berkisah kepada para sahabat tentang seorang wanita tuna susila yang dijanjikan Allah masuk ke dalam surga. Wanita tersebut dijanjikan surga hanya karena rasa kasih sayang yang ditunjukkannya saat menyuguhkan seteguk air kepada seekor anjing yang sedang sekarat. Dan begitulah Tuhan mewujudkan keadilan-Nya..
Sudah saatnya kita mencegah perilaku biadab yang tidak ber-perikebinatangan. Mewujudkan dunia tanpa diskriminasi dan kebencian, serta hak yang terabaikan. “You may say I am a dreamer, but I am not the only one”.
...
*Penulis adalah warga Kota Takengon, Kab.Aceh Tengah
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H