Saya paling sebel melihat acara di tv yg menawarkan investasi keuangan dengan mengadang-gadang robot sebagai pengambil keputusan. Masalahnya si penjual produk menjual berapi-api bicaranya-sorot mata yang seolah-olah yakin barang yg dijualnya bisa bikin kaya, tanpa pernah bicara risikonya. Bukan teknologinya yg kita takutkan tapi tanggung jawab dan insting kerakusan plus harapan semu bisa segera kaya dengan cepat.Â
Mimpi ini yg sering jadi virus membuat nasabah, investor, ibu dan istri kita terjerembab pada masalah investasi. Katanya sudah ada korban di Surabaya yg mengaku tertarik berinvestasi karena dibantu robot, namun belakangan bukan untung yg didapat tapi buntung.
Era digital tak dapat ditolak, begitu juga dengan makin berkembangnya program komputer yg melahirkan kecerdasan buatan (AI). Isu hukum tentang peran robot dan AI bergerak antara etika dan hukum. Bagaimana suatu kecerdasan buatan dalam mengambil suatu keputusan yang etis dan yang tidak.Â
Misalnya kapan si robot harus mengeksekusi suatu tindakan yang dianggap profit? 10%, 20%, etiskah 10% kalau hari itu bisa lebih dari 20% kenapa tidak. Atau sebaliknya kalau rugi, kenapa harus menunggu rugi 20%, ketika hit 10% harusnya bisa disetop, apalagi menguapnya begitu banyak.
Persoalan hukum akan lebih ruwet lagi, soal "responsibility", atas pengambilan keputusan oleh program algoritma tersebut. Kesalahan dan kelalaian siapa bilamana robot menjual mimpi investasi menurut logika mesin yg konon bisa makin pinter karena data yg makin bertambah.Selain soal locus delicti yg boleh jadi operator dan main frame-nya ada di negara antah berantah yg secara hukum sulit terjangkau.Â
Kebayangkan.......tipe investor yg bagaimana cocok untuk terjun dalam lingkungan teknologi yang bergerak diluar kendali manusia ini. Apa lagi yg jualan bukan pemilik teknologi yang dapat langsung dimintakan kerugian secara hukum.
Prinsip knowing your customer, prinsip klasik yang penting untuk mengetahui tipe investor yg cocok dengan jenis dan tipe pasar yg akan dimasuki. Tidak mudah untuk menerapkan KYC kalau budaya risiko tidak kuat melekat di suatu perusahaan.Â
Butuh governance yg kuat, sering perusahaan pemburu nasabah ini dimiliki individu yg izinnya terkadang cuma buat kursus. Kalau targetnya menjaring nasabah sebanyak mungkin tidak peduli paus atau teri-nenek atau politisi......sikaaaat dulu yg penting komisi menggunung, tunggulah gelembung semu akan meledak dan menghancurkan reputasi.
Celakanya....bercermin dari kontroversi pasar saat ini mulai dari kasus korupsi, gagal bayar, profesi yg tak punya lisensi, koperasi ingkar janji, polis asuransi yg terkunci dan soal robot ini hanya akan tinggal menunggu waktu meledaknya kalau tidak segera ditangani. Salah satu keunggulan produk investasi yang memanfaatkan AI akan ditransaksi masif dan dalam frekuensi yang lebih banyak.Â
Perlu pengawasan pasar yg setara dengan karakteristik AI itu sendiri, adakah kemampuan bursa efek atau bursa berjangka komoditi untuk mengantisipasi model transaksi atau investasi dengan AI dengan market inteligent yang mumpuni. Jangan-jangan mereka sedang sibuk mengurusi problem klasik investasi yg bergelombang datang akibat covid ini.
Masalah pengawasan pasar negeri ini sifatnya baru di level "reaktif", menunggu jatuhnya korban atau menunggu laporan. Baru satgas bergerak dan menghentikan kegiatan sambil meminta pejelasan sana dan sini.Â