[caption id="attachment_75850" align="alignnone" width="300" caption="Gambar dari cartoonstock.com dan diedit oleh penulis"][/caption] ‘Gajah mati meningggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang , manusia mati meninggalkan blognya’ Begitulah kira-kira pepatah lama yang bermetamorfosis di mata seorang sahabat dekat saya yang juga kompasianer. Berawal dari obrolan ringan di kopdar kompasiana, saya sempat dibuat tercengang saat diskusi kami sampai pada titik membahas apa ‘modus’ kami menulis di kompasiana. Menurutnya, mewariskan account kompasiananya kepada anak-cucu adalah tujuan utama Reina, begitu ia biasa disapa. Ia berharap agar keturunannya kelak (entah sampai yang keturunan yang keberapa) dapat mengenal moyangnya dan belajar dari apa yang ia ungkapkan lewat tulisan-tulisannya. Percaya atau tidak, alasannya cukup sederhana, “Saya hanyalah orang ‘kebanyakan’, proletarian, kaum marginal, bukan seorang presiden yang perjalanan hidupnya akan tercatat di buku sejarah dan dilafalkan oleh banyak anak-anak sekolah, bukan juga seorang diva multitalented yang bisa dikenang lintas generasi, just an ordinary people in ordinary word lah” celotehnya. “Saya yakin dengan mewariskan account ini, anak cucu saya dapat menapak-tilasi perjalanan hidup orang tuanya, bagaimana dahulu kakek-neneknya bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia lain, bagaimana moyangnya secara bijak atau mungkin ‘tidak’ bijak menceritakan dan menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi di kala itu. Yang terpenting, semua itu akan terekam secara detil, anak dari perkawinan pemikiran dan emosi saya yang tertuang dalam susunan kata maupun kalimat, merangkai sebuah cerita, opini, reportase, tanggapan, sangkalan, gelak tawa bahkan teriakan kemarahan” demikian Reina terus ‘nyerocos’ dengan penuh semangat. Sampai disini ia berhenti untuk menarik nafas, memeberikan saya sedikit kesempatan untuk mencerna kata-katanya, selintas teringat dialog Erica Albright dalam film " The social network" saat Mark Zuckerberg ingin meminta maaf akibat tulisan yang menghina sang pacar di blog pribadinya. "..The internet’s not written in pencil Mark, it’s written in ink..." Apa yang dikatakan Erica mungkin ada benarnya, saat mempublikasikan tulisan di media online maka secara otomatis ia akan menjadi konsumsi publik, terlepas apakah kita akan menghapusnya setelahnya, toh siapapun yang pernah membacanya dapat mengingatnya, “yang jadi masalah kita tak pernah bisa membatasi ingatan seseorang, kan?” “Lalu mengapa harus kompasiana? mengapa tidak membuat blog pribadi saja bukankah malah lebih asyik, lebih customized, lebih ‘gue banget’, kenapa harus di blog keroyokan seperti ini ?” bantahku. “Secara tidak sadar Kompasiana adalah cerminan dari perjalanan realita dunia kita dra. Sebuah mikrokosmos di jagat belantara dunia maya yang merepresentasikan makro kosmosnya alam nyata. Kompasiana ibarat sebuah miniatur negara tanpa tapal batas yang mempunyai aturan-aturan hukum dan di dalamnya ada peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi di semesta realita namun nisbi ini ” jawabnya. “Kompasiana dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang status sosial yang menyebar di antero belahan dunia, mulai dari anggota dewan yang ‘terhormat’, sampai dengan member warnet yang ‘tidak dihormati’, mulai dari profesor dan dokter dengan gelar ‘sepanjang kereta’, sampai ‘anak kemarin sore’ di bangku sekolah dasar ” “Ada juga deretan penguasa yang mempunyai hak prerogative untuk memvonis hidup mati account rakyatnya dan berkuasa penuh untuk menentukan ‘kasta’ apakah kamu akan masuk dalam golongan ksatria atau hanya rakyat jelata, warga kelas bawah yang kadang berebut untuk menginjakkan kakinya di halaman depan ‘istana’ bernama Headline, sebagai achievement of recognition atau hanya sekedar mengejar sebuah prestige” tuturnya sambil tersenyum. “Populasi yang juga banyak ditemui di kompasiana adalah manusia-manusia ‘bertopeng’ yang ingin menyamarkan dirinya, yah.. mungkin mereka ingin mengungkapkan sisi lain dari kepribadiannya atau hanya lelah dan ingin beristirahat sejenak, keluar dari rutinitas norma dan moralitas yang selama ini mereka yakini” “Serunya lagi, dalam ‘negara’ kompasiana sarat dengan polemik, kontroversi, pro-kontra bahkan beberapa kebohongan publik, mulai dari ide perubahan bentuk NKRI, sampai dengan dengan maraknya plagiarisme dan pembuatan account fiktif yang sempat mengharu-birukan sebagian besar warganya. Sesekali muncul mahluk oportunis yang ingin merogoh popularitas dengan keuntungan publikasi sesaat” tambahnya. Tiba tiba mimiknya berubah serius namun tetap santai. “Terlepas dari itu kompasiana menyimpan mutiara-mutiara hikmah, harta yang sangat berharga bagiku dan penerus keturunanku, kebenaran, petuah-petuah bijak, ilmu yang bermanfaat, persahabatan, cinta dan empati sesama manusia dan saya berani bertaruh, banyak hal yang mungkin sebelumnya tidak pernah kita dengar saat mengenyam pendidikan formal, bahkan dari orang tua yang membesarkan kita. Guru-guru di kompasiana adalah manusia yang bersentuhan langsung dengan dunianya, pelaku lapangan yang benar-benar berjuang di bidangnya. Nara sumber yang membagi ilmunya tanpa ada iming-iming imbalan” “Bukankah ini adalah miniatur yang sempurna dra, sesuatu yang sangat luar biasa, bagaikan memutar balik sebuah rekaman film kehidupan! Dan jika pada akhinya kamu bertanya apakah account kompasiana saya cukup berharga untuk saya wariskan ke anak cucu saya, bisa saya jawab : yup!, indeed” demikian Reina menutup diskusi kami siang itu. Indra putra kompasianer yang menjadi tertarik untuk mewariskan account kompasianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H