Mohon tunggu...
indra putra
indra putra Mohon Tunggu... -

Orang kebanyakan yang mencari alasan dan tujuan dirinya diciptakan, yang haus akan ilmu pengetahuan, yang ingin belajar dari orang lain, karena menganggap alam semesta dan isi di dalamnya adalah kitab suci yang wajib untuk dipahami..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bisakah Account Kompasiana Diwariskan?

23 November 2010   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12901709702052730222

[caption id="attachment_75850" align="alignnone" width="300" caption="Gambar dari cartoonstock.com dan diedit oleh penulis"][/caption] ‘Gajah mati meningggalkan gading, harimau mati meninggalkan  belang , manusia mati meninggalkan blognya’ Begitulah kira-kira pepatah lama  yang bermetamorfosis di mata seorang sahabat dekat saya yang juga kompasianer. Berawal dari obrolan ringan  di kopdar kompasiana,  saya sempat dibuat tercengang saat diskusi kami sampai pada titik membahas apa ‘modus’ kami menulis di kompasiana. Menurutnya,   mewariskan account kompasiananya kepada anak-cucu adalah tujuan utama Reina, begitu ia biasa disapa. Ia berharap agar  keturunannya kelak (entah sampai yang keturunan yang keberapa) dapat mengenal moyangnya dan belajar dari apa yang ia ungkapkan lewat tulisan-tulisannya. Percaya  atau tidak, alasannya cukup sederhana, “Saya  hanyalah orang  ‘kebanyakan’, proletarian, kaum  marginal, bukan seorang presiden yang perjalanan hidupnya  akan tercatat di buku sejarah dan dilafalkan oleh banyak anak-anak sekolah, bukan juga  seorang diva  multitalented  yang bisa dikenang   lintas generasi,  just an ordinary people in ordinary word lah”  celotehnya. “Saya yakin dengan mewariskan account ini, anak cucu saya dapat menapak-tilasi perjalanan hidup orang tuanya, bagaimana dahulu  kakek-neneknya bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia lain, bagaimana moyangnya secara bijak atau mungkin  ‘tidak’ bijak menceritakan dan menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi di kala itu. Yang terpenting, semua itu akan terekam secara detil,  anak dari perkawinan pemikiran dan emosi  saya yang tertuang dalam susunan kata maupun kalimat, merangkai sebuah cerita, opini, reportase, tanggapan, sangkalan, gelak tawa bahkan teriakan kemarahan”  demikian Reina  terus ‘nyerocos’  dengan penuh semangat. Sampai disini ia berhenti untuk menarik nafas, memeberikan saya sedikit kesempatan untuk mencerna kata-katanya, selintas teringat dialog Erica Albright  dalam film " The social network"  saat  Mark Zuckerberg ingin meminta maaf akibat tulisan yang menghina sang pacar di  blog pribadinya. "..The internet’s not written in pencil Mark, it’s written in ink..." Apa yang dikatakan Erica mungkin ada benarnya, saat mempublikasikan tulisan di  media online maka secara otomatis ia akan  menjadi konsumsi publik, terlepas apakah  kita akan menghapusnya setelahnya, toh siapapun yang pernah membacanya dapat mengingatnya, “yang jadi masalah kita tak pernah bisa membatasi ingatan seseorang, kan?” “Lalu mengapa harus kompasiana? mengapa tidak membuat blog pribadi saja bukankah malah lebih asyik, lebih customized, lebih  ‘gue banget’,  kenapa harus di blog keroyokan seperti ini ?”  bantahku. “Secara tidak sadar Kompasiana adalah cerminan dari  perjalanan realita dunia kita dra. Sebuah mikrokosmos  di jagat belantara dunia maya yang merepresentasikan makro kosmosnya alam nyata. Kompasiana ibarat sebuah miniatur negara tanpa tapal batas yang mempunyai aturan-aturan hukum dan di dalamnya ada peristiwa-peristiwa  yang benar-benar terjadi di semesta realita namun nisbi ini ” jawabnya. “Kompasiana dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang status sosial yang menyebar di antero belahan dunia,  mulai dari anggota dewan yang ‘terhormat’,  sampai dengan member warnet yang ‘tidak dihormati’,  mulai dari profesor dan dokter dengan gelar ‘sepanjang kereta’, sampai ‘anak kemarin sore’  di bangku sekolah dasar  ” “Ada juga deretan penguasa yang mempunyai hak prerogative untuk memvonis hidup mati account rakyatnya dan berkuasa penuh untuk menentukan ‘kasta’ apakah kamu akan masuk dalam golongan ksatria atau hanya  rakyat jelata,  warga kelas bawah yang kadang berebut untuk menginjakkan kakinya di halaman depan ‘istana’  bernama Headline,  sebagai   achievement of recognition atau  hanya sekedar mengejar  sebuah prestige” tuturnya sambil tersenyum. “Populasi yang juga banyak ditemui  di kompasiana adalah manusia-manusia  ‘bertopeng’ yang ingin menyamarkan dirinya, yah.. mungkin mereka  ingin mengungkapkan sisi lain dari kepribadiannya atau hanya lelah dan ingin  beristirahat sejenak, keluar dari rutinitas norma dan moralitas yang selama ini mereka yakini” “Serunya lagi, dalam  ‘negara’ kompasiana sarat dengan polemik, kontroversi, pro-kontra bahkan  beberapa kebohongan publik, mulai dari ide perubahan bentuk NKRI,  sampai dengan dengan maraknya plagiarisme dan pembuatan account fiktif yang sempat mengharu-birukan sebagian besar warganya.  Sesekali muncul mahluk oportunis yang   ingin merogoh  popularitas  dengan keuntungan publikasi sesaat” tambahnya. Tiba tiba mimiknya berubah serius namun tetap santai. “Terlepas dari itu kompasiana menyimpan mutiara-mutiara hikmah, harta yang sangat berharga bagiku dan penerus keturunanku, kebenaran, petuah-petuah bijak, ilmu yang bermanfaat, persahabatan, cinta dan empati sesama manusia  dan  saya  berani bertaruh,  banyak hal yang  mungkin sebelumnya tidak pernah kita dengar saat mengenyam pendidikan formal, bahkan dari orang tua yang membesarkan kita. Guru-guru di kompasiana adalah manusia yang bersentuhan langsung  dengan dunianya, pelaku lapangan  yang benar-benar berjuang di bidangnya. Nara sumber yang membagi ilmunya tanpa ada iming-iming imbalan” “Bukankah ini adalah miniatur yang sempurna dra, sesuatu yang sangat luar biasa, bagaikan memutar balik  sebuah rekaman film kehidupan! Dan jika pada akhinya kamu bertanya apakah account kompasiana saya cukup berharga  untuk saya wariskan ke anak cucu saya, bisa saya jawab : yup!, indeed” demikian  Reina menutup diskusi kami siang itu. Indra putra kompasianer yang menjadi tertarik untuk mewariskan account kompasianya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun