Berita Postingan BH tentang tokoh fiktif Puri ini membuat kita sejenak terhenyak. Mungkin cerita tentang Puri ini patut diberi judul "Termehek-mehek sesion 2 ala Kompasiana” (sesion satu sudah ada di TV :p ) Inilah babak baru kebohongan publik dan penggalangan opini. Mau tidak mau, suka tidak suka kita sekarang berada di dunia dengan arus informasi yang begitu cepat, yang terkadang secara sadar ataupun tidak kita dengan mudahnya terseret oleh penggalangan opini oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu. Contoh kasus pun sudah begitu banyak yang terakhir adalah kasus cicak lawan buaya dengan score lebih dari 1 juta facebookers buat KPK dan 25 ribu buat POLRI, termasuk sang “Puri susu siji” yang membuat kita cukup termehek-mehek belakangan ini. Kemudahan menerima informasi maupun mengemukakan pendapat ke media yang dapat di akses semua kalangan membuka kesempatan "Emas" bagi sekelompok orang yang melek teknologi dan paham tentang psikologi massa. Kita tidak dapat serta merta menyalahkan orang yang membuat hoax, spoiler atau apapun istilahnya, nyatanya terbukti sampai saat ini pun masih terdapat pro dan kontra mengenai kasus diatas. Terlepas dari salah atau benar, ada manfaatnya atau tidak, marah atau senang dan bagaimana pun kita berusaha menerima hal ini, sebagai manusia normal, tetap dihati kecil kita ada perasaan "mendongkol" karena sadarkalau kita sudah dibohongi “mentah-mentah”, hingga secara otomatis ego kita sebagai manusia pasti tersentuh, "..masa sih aku yang sudah seperti ini(tua, pintar, berpendidikan, berwawasan luas) bisa kecolongan seperti ini!" Pada dasarnya Jangan mudah percaya sesuatu apapun di dunia maya! dunia yang sangat berbahaya kalau anda menyadari kemampuan orang-orang yang ahli tapi Tidak punya "hati" dan dengan seenaknya menyalah gunakan teknologi "ajaib" ini dengan berbagai cara. Yang ingin saya garisbawahiadalah dalam menggunakan teknologi dan menerima informasi kita harus benar-benar bijak, tidak dengan mudahnya menelan semua informasi secara bulat-bulat, perlu adanya chek and recek, konfirmasi dan penelaahan, dan yang paling penting jangan menjadi orang yang “Reaksioner” dan dengan mudahnya terbawa emosi dalam mengambil suatu tindakan. Dengan belajar dari sejarah, toh kita tidak mau lagi terulang kasus Ambon dan Poso, atau kalau mau kita tarik kebelakang di jaman Kolonial dulu, Belanda berhasil menjalankan politik pecah belahnya pada nenek moyang kita hanya karena mereka mudah sekali termakan hasutan sang "Kompeni". Sekali lagi hal ini tentunya menjadi pelajaran kita semua ke depan, semogakita tidak gampang terhasut oleh informasi yang tidak jelas sumbernya, belum kuat fakta-faktanya dan hanya didasari oleh solidaritas buta atau ikut-ikutan “trend” yang kita sendiri tidak tahu duduk permasalahannya atau karena mengikuti orang lain yang mungkin juga punya agenda terselubung. Mari kita berdoa bersama, semoga ini bukan menjadi bagian dari budaya bangsa indonesia kedepan , Naudzubillah minzalik. Dibalik kejahatan mungkin terdapat sebuah kebaikan, dan dibalik kebaikan mungkin terdapatsebuah kejahatan, Peace.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H