Mohon tunggu...
Prathista Indra
Prathista Indra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana FKM UI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Benarkah JKN Cacat Kongenital? atau hanya Blunder dan Kecolongan di Awal Performanya?

17 Juni 2014   02:01 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:27 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mendengar kata blunder munkin tidak asing lagi di kalangan pecinta sepak bola terlebih lagi kini masyarakat sedang demam piala dunia. Awal yang sangat mengejutkan dimana Negara Spanyol di permalukan oleh tim Belanda dengan skor telak 5-1 padahal awalnya Spanyol lah yang memimpin pertandingan. Peristiwa tersebut sedikit membuat de javu saya mengenai salah satu program asuransi social di Negara kita, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu lah namanya. Program ini sangat di elu-elukan semenjak direncanakan tahun 2004 dan akhirnya di sepakati kelahirannya tahun 2014.

Sebuah penantian yang cukup panjang. Namun apa yang terjadi? program yang di idolakan malah mengecewakan. Ekspectasi masyarakat kah yang berlebih atau memang permormanya yang menurun akibat terlalu percaya diri dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Bisa dibilang mirip dengan Iker Casillas yang hanyut dengan kemenangan grupnya Real Madrid namun tak berkutik mengahadapi tendangan tim Belanda

Dari beberapa persoalan yang muncul, maka dapat disimpulkan berbagai masalah yaitu :

1. Dari segi kepesertaan, belum semua peserta mengerti dan paham tentang JKN dan BPJS, baik cara pendaftaran, tujuan PPK dan pelayanan obat.

2. Dari segi PPK / Faskes, belum semua faskes tersebar secara merata, akses mudah dijangkau, kualitas standar terpenuhi.

3. Dari sistem pelayanan kesehatan, saat ini pelayanan dilaksanakan secara berjenjang, antrian cukup panjang, pelayanan obat terbatas, mutu pelayanan berkurang.

4. Antara harapan dan realitas berbeda jauh, expectasi antara kalangan menengah dan bawah berbeda. Kalangan menengah harapan tinggi dan tidak puas, kalangan ekonomi bawah agak merasa puas, karena memang ini jaminan bersifat sosial.

Pertama, hak informasi dan edukasi harus ditunaikan dahulu sebelum BPJS Kesehatan bisa minta macam-macam. Bahkan kalau mau saklek, tanpa ada buku petunjuk, harusnya tidak usah saja berikan pelayanan pada peserta BPJS.

Disini saya coba tegaskan BPJS dan masyarakat serta media massa juga harus paham bahwa Kemenkes masih hutang sama provider kesehatan. Hutang penunaian hak informasi sebelum operasionalisasi BPJS Kesehatan. Sehingga, kalau dimasukkan dalam hukum sebab-akibat; buruknya pelayanan atau kesalahan rumah sakit dan klinisi terkait implementasi INACBG, menjadi tanggung jawabnya Kemenkes. Kecuali untuk kasus-kasus yang nyata-nyata unsur pengelabuannya dan memenuhi aspek kriminalitasnya.

Parah juga BPJS Kesehatan di Indonesia ini, masa nggak belajar dari jaman Jamkesmas?, padahal persiapannya bertahun-tahun, parah bukan?  sosialiasi dan edukasi keseluruh Indonesia hanya bermodalkan presentasinya National Casemix Center (NCC)? BPJS mau kelola uang dari 250 juta jiwa, tidak mungkin nggak mampu bikin e-book manual bagi klinisi dan RS agar koding lancar, nyaman dan aman.

Kedua, Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan seyogyanya harus memenuhi persyaratan kredensialing dan akreditasi sesuai ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan No 71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan nasional yaitu Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 6 ayat 1. Kredensialing esensinya adalah penyeleksian kualitas fasyankes. Lantas, ketika jumlah fasyankes di suatu wilayah hanya sedikit atau bahkan satu-satunya, tepatkah kredensialing diterapkan untuk JKN? Saat satu-satunya fasyankes tersebut kualitasnya baik, maka tidak terlalu menjadi masalah. Namun jika tidak? Apakah akan fasyankes tersebut akan dipaksakan menjadi penyedia layanan kesehatan era JKN tanpa usaha perbaikan kualitas layanan?

Ditambah lagi banyak faskes yang tidak memiliki informasi yang cukup untuk menghitung besar kapitasi yang efektif. Besaran kapitasi yang di bayar BPJS ke faskes jika ditentukan sepihak, misalnya ke Puskesmas sebesar Rp3.000-6.000 per orang per bulan, atau ke klinik atau praktik dokter sebesar Rp 8.000-10.000 dapat saja dianggap tidak memadai jika dalam penentuannya tidak mengikutsertakan faskes tersebut. Jika besaran kapitasi ditentukan sepihak dan jauh di bawah harga yang layak, akan menimbulkan konplik yang dapat mengancam kelangsungan JKN.

Masalah besar dalam pembayaran INA-CBG’s menurut Thabrany (2013) adalah besaran bayaran CBG untuk kasus yang sama dan tingkat kesulitan sama berbeda untuk RS tipe A, B, C dan D. Kondisi ini bisa menyebabkan RS tipe C dan D akan merujuk pasien ke RS tipe B dan A yang bayaran CBG nya lebih besar (dari laporan kasus diketahui dokter yang merujuk tersebut adalah dokter yang sama). Sehingga seharusnya besaran CBG dibuat sama untuk kasus yang sama.

Masalah- Masalah tersebut yg akan menimbulkan Fraud di pelaksanaan jaminan sosial; Indonesia; kenapa? Mengapa fraud terjadi di sistem kesehatan yang menggunakan Jaminan?  Dalam sistem Jamkesmas sudah ada gejalanya, namun belum dapat dibuktikan.Fraud: segala bentuk kecurangan dan ketidakwajawaran yang dilakukan berbagai pihak dengan berbagai cara dalam mata rantai pelayanan kesehatan (Laksono, 2014) Bisa dari pengelola jaminan maupun pihak rumah sakit atau provider.

Upcoding paling sering dan paling mudah dipahami dengan memanfaatkan kode-kode di INACBG. Upcoding memang mudah terjadi dalam sistem jaminan yang berbasis klaim. Silahkan cek tarif INACBG operasi Sectio Caesaria, Infark Miokard Akut, kateterisasi jantung dan bypass coroner antara RS kelas A hingga D, memicu fraud di rumah sakit yang kelasnya lebih rendah karena nilai klaimnya amat sangat rendah

Bagaimana perlakuan hukum bagi pelaku fraud? Secara pidana akan masuk kedalam ‘penipuan’ pasal 378 KUHP. Dianggap derajatnya berat jika penipuannya dilakukan sebagai mata pencarian dan berulang-ulang.  Dapat terjadi jika rumah sakit sudah terbiasa menjalankan fraud.

Hukum perdata juga ikut pada hubungan antara BPJS dan Rumah sakit. Pasal 1320, 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.KPK sudah menyimpulkan bahwa ada potensi korupsi di BPJS dan di rumah sakit. Apakah dokter dan manajer RS menyadari bahwa fraud merupakan tindakan kriminal?

Siapakah yang harusnya melakukan pencegahan dan pengawasan? Unit anti fraud BPJS di struktur organisasi. Harus ada unit antifraud sampai ke cabang, bukan di pusat saja. SedangkanVerifikator yang selama ini dimiliki BPJS BUKAN investigator. Yang diperlukan untuk cegah fraud adalah investigator klinis dengan mind set biaya dan manajemen.


Pengalaman di AS, pengawas dan penegak hukum terhadap fraud mulai dari OIG hingga FBI.  Medicare secara internal juga punya fraud control unit.Bagaimana dengan BPJS? Apakah KPK akan setara dengan FBI? Apakah melibatkan Kepolisian badan reserse kriminal khusus terkait dengan asuransi? Apakah polisi biasa? Masalah utamanya karena korupsi ini akan terjadi dari sabang sampai merauke. Mulai dari yang “recehan” hingga trilyunan.

Ketiga, Pada era JKN ini banyak sekali berita tentang ketidakpuasan peserta jaminan seperti ada pasien yang ditolak dengan berbagai alasan antara lain : Rumah Sakit penuh, tidak adanya dokter, Provider yang belum menerima kontrak kerja, panduan teknis dan lain-lain. Tujuan dari adanya suatu kontrak dan petunjuk pelaksanaan pada dasarnya adalah agar setiap pihak yang telah bersepakat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing sebagaimana yang telah disepakati agar tidak ada pihak yang dirugikan. Saya baru ngeh bahwa selama 2 tahun terakhir Jamkesmas dan sekarang juga dengan BPJS, tidak pernah sekalipun saya melihat buku panduan atau manual atau petunjuk teknisnya. Sebagai contoh Australia dan Amerika membuat buku panduan setiap tahun untuk manajer rumah sakit dan klinisi; misalnya Hospital finance for clinican, understanding coding for hospital and clinicians dan sebagainya. BPJS harus segera buat manual book untuk RS dan klinisi supaya nggak kebobolan melulu.

Adanya pemisahan peran dimana penyiapan faskes dan SDM adanya di kemenkes. Di National Casemix Center BPJS tidak terlibat. BPJS tidak diajak sama NCC lalu lepas tangan.BPJS mengajak kerjasama RS, tapi nggak punya manual book. Terlihat template MoU dengan RS, BPJS seperti nggak punya kewajiban apapun kecuali pembayaran, tidak adanya edukasi, dan sosialisasi. Lalu apa saja isinya rencana strategis BPJS? enak betul cuma kelola uang masyarkat, tapi nggak mengeluarkan uang sepeser pun untuk pencegahan? Katanya mau jadi INA-Medicare th 2019, kok ruang lingkup kegiatannya HANYA sebatas kasir saja. Medicare dan Medicaid, punya anggaran khusus untuk program-program antifraud yang diantaranya termasuk advokasi bagi provider kesehatan.

Dari pemaparan di atas menurut penulis JKN tidak masuk dalam kategori cacat, tetapi masuk dalam kekurangan dan hal tersebut dapat diperbaiki dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu perlu diadakan penggalangan kerja sama lintas sektor terkait bidang kesehatan untuk memperoleh dukungan dalam upaya meningkatkan cakupan program kesehatan agar sesuai dengan harapan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun