Mohon tunggu...
Drs. Tiardja Indrapradja
Drs. Tiardja Indrapradja Mohon Tunggu... Wiraswasta - pensiunan

Seorang ayah dengan lima orang anak yang sudah dewasa [Puteri sulung saya telah meninggal pada tahun 2016 karena penyakit kanker]. Lulusan FEUI, dan pernah mengajar di FISIP UI 1977-akhir abad ke-20 sebagai dosen luarbiasa di jurusan administrasi [niaga]. Sekarang menangani empat situs/blog dalam hal evangelisasi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pentingnya Bela Rasa Dalam Kepemimpinan

2 Januari 2014   18:29 Diperbarui: 5 Desember 2015   19:34 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada dua tulisan saya sebelum ini, yaitu “KEPEMIMPINAN DAN INTEGRITAS” (KOMPASIANA, 29 Desember 2013) dan “PERANAN VISI DALAM KEPEMIMPINAN” (KOMPASIANA, 31 Desember 2013), diungkapkan adanya tiga hal yang merupakan keniscayaan dalam kepemimpinan yang efektif:

1. Seorang pemimpin sejati harus memiliki integritas sebagai salah satu ciri pribadinya, seperti dikatakan oleh Henry Kravis, “If you don’t have integrity, you have nothing. You can’t buy it. You can have all the money in the world, but if you are not a moral and ethical person, you really have nothing.” Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia: “Apabila anda tidak memiliki integritas, maka anda tidak mempunyai apa-apa. Anda tidak dapat membeli integritas. Anda dapat mempunyai semua uang yang ada di dunia, namun apabila anda bukan seorang pribadi yang bermoral dan etis, maka sesungguhnya anda tidak memiliki apa-apa.”

2. Seorang pemimpin sejati senantiasa mempunyai visi ke masa depan dalam memimpin organisasinya.  Burt Nanus, dalam bukunya yang berjudul VISIONARY LEADERSHIP, menulis, “Quite simply, a vision is a realistic, credible, attractive future for your organization.” Terjemahan bebasnya: “Secara sederhana, suatu visi adalah sebuah masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik bagi organisasi anda.” Visi selalu berurusan dengan masa depan. Visi adalah di  mana hari esok dimulai, karena visi mengungkapkan apa yang anda dan mereka yang ikut ambil bagian dalam upaya mewujudkan visi ini dengan anda, akan bekerja keras untuk mewujudkannya. Visi tidak hanya memainkan suatu peranan penting dalam tahapan awal (start-up phase) sebuah organisasi, melainkan dalam keseluruhan siklus kehidupan (entire life cycle) organisasi tersebut (Bert Nanus, hal. 9).

3. Seorang pemimpin sejati harus memiliki bela rasa terhadap mereka yang dipimpinnya. Dia harus mengetahui dan berempati dengan orang-orang itu. Bela rasa itu keluar dari hati yang mengasihi, sebagaimana hati seorang ibu/bapak terhadap anak-anaknya. Dalam sebuah organisasi dengan strukturnya yang berlapis-lapis, seorang pemimpin sejati harus mau dan mampu untuk mengenal orang-orang yang dipimpinnya, termasuk kebutuhan-kebutuhan dan ekspektasi-ekspektasi mereka masing-masing. Dalam hal ini jelas kelihatan crucial-nya kebutuhan akan keterampilan dalam bidang hubungan kemanusiaan (human relations), termasuk keterampilan berkomunikasi antar-pribadi (inter-personal communication).

BELA RASA SEORANG PEMIMPIN

Bekerja untuk orang-orang lain. Menjadi seorang pemimpin berarti bekerja untuk orang-orang lain, apakah anda seorang CEO sebuah perusahaan, sebuah grup usaha, atau apakah anda seorang menteri, presiden sebuah negara, pemimpin gerejawi dll. Memang tidak banyak orang yang menyadari bahwa kinerja yang unggul dalam “melayani” orang-orang lain merupakan kebutuhan dasar agar dapat survive, teristimewa dalam kondisi “poleksosbud” negeri kita yang tercinta Indonesia, yang relatif carut-marut dewasa ini, hampir di segala bidang kehidupan. Apabila anda seorang pemimpin, maka tugas anda adalah untuk mempunyai suatu visi yang berstandar tinggi dalam hal melayani orang-orang yang anda pimpin. Inilah yang dinamakan “servant leadership”, kepemimpinan yang melayani.

Gagasan Robert Greenleaf: Servant Leadership. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menguraikan dengan panjang lebar apa yang dimaksudkan dengan istilah servant leadership ini. Uraian yang lebih mendetil akan saya berikan dalam tulisan tersendiri.

Saya hanya mau mengatakan bahwa istilah Servant Leadership untuk pertama kalinya dipakai oleh Robert Greenleaf pada tahun 1970, dalam tulisannya yang berjudul “The Servant as Leader”, padahal prakteknya sudah ada sejak beribu tahun lalu. Greenleaf membuat suatu pemisahan diri yang radikal dari paradigma kepemimpinan dalam dunia industri/bisnis yang berlaku sampai saat itu, yang memandang seorang pemimpin sebagai seseorang yang mengetahui segalanya, dan seorang pahlawan yang perkasa dalam organisasi. Greenleaf mengatakan bahwa “pemimpin yang besar pertama-tama adalah seorang hamba atau pelayan”.  Kesimpulan Greenleaf ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang dilihatnya timbul dalam masyarakat di Amerika Serikat pada masa itu. Berbagai kerusuhan, huru-hara serta kekacauan kampus terjadi di tahun 1960an sampai dengan awal 1970an di lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal namun rapuh. Yang dipertanyakan adalah masalah kekuasaan dan otoritas. Dari sisi lain terlihat munculnya kerja sama dan saling mendukung karena adanya cara-cara yang lebih produktif bagi orang-orang untuk berelasi satu sama lain.

Namun Greenleaf wanti-wanti berpesan bahwa sang pemimpin yang melayani (servant leader) adalah pertama-tama seorang hamba/pelayan. Seorang servant leader memperhatikan bahwa kebutuhan-kebutuhan paling utama dari orang-orang yang dipimpinnya terpenuhi, dan mereka yang dipimpinnya itu menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas, lebih otonom, dan kemungkinan besar mereka juga akan menjadi para pelayan.

Menurut Greenleaf, para servant leaders:

§ Mendengarkan dulu agar supaya mereka dapat memahami situasi yang dihadapi.

§ Mengembangkan intuisi/naluri dan kemampuan mereka sendiri untuk dapat “meramalkan” apa yang tidak dapat “diramalkan” (to foresee the unforeseeable).

§ Memimpin dengan menggunakan persuasi, mendorong terjadinya perubahan dengan memberikan keyakinan kepada para anggota organisasi, bukan dengan pemaksaan.

§ Mengkonseptualisasikan reformasi-reformasi yang mereka inginkan dan mengajak orang-orang yang dipimpin mereka untuk melihat juga berbagai kemungkinan yang ada.

§ Memberdayakan orang-orang yang dipimpin mereka dengan menciptakan berbagai peluang/kesempatan bagi orang-orang itu untuk maju.

Sembilan Kualitas Pribadi seorang Servant Leader. Skip Prichard dalam LEADERSHIP INSIGHTS mengedepankan 9 (sembilan) kualitas pribadi seorang Servant Leader:

1. Menghargai pendapat/pandangan yang berbeda-beda.

2. Mengolah sebuah budaya-percaya (culture of trust).

3. Mengembangkan pemimpin-pemimpin yang lain.

4. Menolong orang-orangnya yang sedang menghadapi isu-isu kehidupan.

5. Mendorong/menyemangati orang-orang yang dipimpinnya.

6. Menjual gagasannya kepada orang-orang, bukannya memerintahkan untuk melaksanakan gagasannya.

7. Berpikir “engkau”, bukan “aku”.

8. Berpikir jangka panjang.

9. Bertindak dengan kerendahan hati.

Anda tidak perlu terpaku pada 9 (sembilan) kualitas pribadi di atas, karena dengan berjalannya waktu pengalaman anda sendirilah yang penting.

Sedikit Catatan Tambahan mengenai Servant Leadership. Jadi, servant leadership pada intinya adalah kepemimpinan yang melayani orang-orang lain. Seorang pakar kepemimpinan, John Maxwell, mengatakan: “Servant leaders never pursue a mission at the expense of their people. Rather, servant leader earn the loyalty and best efforts of their people by serving the interests and investing in the development of those they lead. A servant leader leads to see others succeed.” Seorang servant leader tidak mengorbankan orang-orang yang dipimpinnya. Dia malah memperoleh kesetiaan dan upaya-upaya yang terbaik dari orang-orang yang dipimpinnya dengan melayani kepentingan-kepentingan dan melakukan investasi dalam pengembangan mereka yang dipimpinnya itu.

Para pemimpin terbaik mengetahui bahwa mereka hanya dapat baik seperti baiknya orang-orang yang mendukung mereka. Jadi sangatlah baik untuk mendorong/menyemangati orang-orang yang anda pimpin supaya menggunakan semua sumber daya yang ada pada anda dan juga yang ada pada mereka agar tercipta sinergi guna menyelesaikan tugas pekerjaan yang ada di depan mata ...... to get the job done!

Seorang servant leader harus mempunyai keyakinan bahwa kepemimpinan bukanlah hal-ikhwal yang menyangkut pemberian perintah kepada orang-orang yang dipimpinnya tentang apa saja yang harus dilakukan, melainkan bertindak dengan menanyakan kepada orang-orang itu apa yang mereka butuhkan. Sebagai seorang pemimpin, pekerjaan anda adalah untuk menggunakan pengaruh dan sumber daya yang anda miliki atas nama mereka guna menjamin sukses. Seorang servant leader harus memiliki hati seorang pelayan/hamba. Para pemimpin yang baik memperkenankan orang-orang yang dipimpinnya untuk melakukan kesalahan, karena mereka menyadari bahwa kegagalan berarti anda mencoba sesuatu yang baru. Mereka mendorong para petugas dalam organisasi untuk membuang rintangan-rintangan yang menghalangi perbaikan kinerja dan menemukan jalan-jalan atau cara-cara baru untuk melakukan tugas pekerjaan dengan lebih baik. Adalah suatu kenyataan dari pengalaman saya sendiri bahwa seringkali orang-orang menggunakan hanya sebagian kecil dari kemampuan yang mereka miliki, namun kemudian dapat menjadi berkembang pesat apabila diberikan kesempatan untuk mengambil inisiatif.

Dalam hal organisasi bisnis, yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin sejati adalah mengukur nilai-nilai budaya yang dianut oleh organisasi yang dipimpinnya, dengan memeriksa semua janji dan sampai di mana janji-janji tersebut diwujudkan dalam relasi organisasinya dengan para pelanggan, karyawan dan pemasok. Budaya organisasi harus diaudit secara regular. Demikian pula secara regular harus dilakukan perbaikan dalam upaya-upaya untuk meluruskan kepemimpinan dengan misi, visi dan nilai-nilai budaya yang dianut. Analogi dapat diterapkan bagi organisasi-organisasi pemerintahan dari bawah sampai keatas, dalam kasus partai-partai politik, juga organisasi-organisasi agama seperti gereja-gereja.

CATATAN PENUTUP

Integritas, visi dan bela rasa merupakan tiga hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sejati. Tiga kualitas itu saling merajut. Tanpa tiga kualitas tersebut tidak ada kepemimpinan yang genuine. Misalnya, mengatakan “tidak” kepada korupsi namun dalam praktek sebaliknyalah yang terjadi, maka integritas pun hilang dan kepemimpinan menjadi kehilangan arti serta kepercayaan orang-orang pun pudar, kalau tidak dikatakan sirna. Apa kata dunia dan apa jadinya, jika visi yang indah hanya tertulis di atas kertas namun tidak dijalankan. Apabila sang pemimpin tidak memiliki bela rasa, teristimewa terhadap mereka yang paling rendah dan lebih banyak menggunakan proses komunikasi yang formal saja, maka hal itu berarti bahwa “pemimpin” itu tidak mempunyai hati seorang pelayan. Dia hanyalah seorang penguasa, petinggi, pejabat, ketua, kepala atau apa lagi namanya, bukan pemimpin yang sejati. “Pemimpin” seperti itu pada dasarnya hanya mau dilayani, bukan melayani orang-orang lain.

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah memang tentang servant leadership ini ada contohnya? Ada! Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David L. Shriberg & Mary Lynn Williamson, dalam buku mereka, PRACTICING LEADERSHIP – PRINCIPLES AND APPLICATIONS, mengemukakan Ibu Teresa dari Kalkuta sebagai contoh seorang servant leader pada abad ke-20. Perempuan ini berani ke luar dari zona kenyamanannya untuk melayani orang-orang miskin di India dan berbagai tempat di seluruh dunia di mana organisasi religius yang dipimpinnya diizinkan untuk berkarya.

Jakarta, 2 Januari 2014

Drs, F.X. Tiardja Indrapradja

http://developingsuperleaders.wordpress.com

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun