Peristiwa ini terjadi di Manhattan, New York City, terjadi di pertengahan tahun 1970an (entah 1975, 1976 atau 1977) ketika saya bekerja di kantor pusat Citibank N.A. Pada suatu sore, tidak seperti biasanya, karena merasa lelah sekali, saya naik taksi pulang ke tempat tinggal keluarga kami. Biasanya saya pergi-pulang kantor dengan naik kereta bawah tanah. Sang supir taksi kiranya pemilik pribadi dari taksi kecil itu dan terlihat sebagai seorang yang ramah, dan kamipun mulai “ngobrol” ke sana ke mari. Pada satu titik dalam proses “ngobrol” itu dia bertanya kepada saya, dari negeri mana saya berasal. Saja jawab: Indonesia! Lalu sang supir yang kulit putih itu secara spontan mengangkat salah satu tangannya sambil berteriak dengan suara yang cukup keras: Sukarno! Cukup mengejutkan bagi saya. Lalu pembicaraan kami dilanjutkan, semakin intens dan akrab …… tentang Indonesia tentunya.
Ketika disebut Indonesia, yang diingat oleh supir taksi itu adalah nama SUKARNO, padahal pada waktu itu Presiden Suharto sudah berkuasa selama kurang lebih satu dekade. Di sini kita berbicara mengenai “kharisma” pribadi yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Barangkali yang memberi kesan mendalam bagi orang itu adalah ketika pemimpin negara Republik Indonesia yang bernama Soekarno berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih dari sepuluh tahun sebelumnya.
Suatu pengalaman kecil lainnya tentang Sukarno terjadi ketika seorang agen asuransi jiwa dari New York Life datang ke apartemen kami. Kelihatannya orang ini mempunyai pengetahuan cukup banyak tentang Indonesia pada umumnya dan Sukarno khususnya. Dari kata-katanya terasa bahwa “orang bule” yang berumur empat puluh tahunan itu sangat menaruh respek pada presiden R.I. yang pertama. Dapat saja kita berpikir bahwa orang ini menggunakan bahan obrolan tentang Indonesia dan Sukarno sebagai sekadar sebuah taktik penjualan, namun pandangan seperti itu dapat ditepis karena obrolan kami tentang Indonesia dan Sukarno baru dilakukan setelah urusan asuransi jiwa itu selesai dibicarakan. Formulir aplikasi sudah saya tandatangani. Orang ini melihat dua buah buku tentang Sukarno dalam bahasa Inggris yang saya bawa dari Indonesia, yang ada dalam perpustakaan pribadi saya dan meminjam buku-buku itu, salah satunya adalah buku karangan mantan dubes Amerika Serikat di Indonesia, Howard Jones. Dua buku itu memang tidak pernah dikembalikan kepada saya, namun saya bangga penuh syukur karena tentunya tidak sedikit warga negara lain yang menghormati Bung Karno dan mengidentikasikan diri beliau sebagai Indonesia itu sendiri. Memang sample saya tidak cukup untuk mengambil kesimpulan secara ilmiah, namun saya percaya bahwa hal yang serupa pasti dialami juga oleh para warga negara Indonesia yang tinggal cukup lama di luar negeri, sehingga ada kesempatan untuk berinter-aksi dalam proses komunikasi dengan penduduk setempat.
Bung Karno memang seorang bapak bangsa yang mau-tidak-mau kita harus akui, hormati dan kagumi. Kharisma beliau memancar keluar dari dalam dirinya, teristimewa ketika berpidato di depan massa yang banyak jumlahnya. Manusia tidak ada yang sempurna. Demikianlah halnya dengan Dr. Ir. Soekarno sebagai seorang pribadi manusia, yang juga memiliki kelemahan-kelemahan. Namun sebagai seorang pemimpin bangsa, beliau dihormati di banyak tempat di muka bumi ini. Ada sejumlah negara, misalnya, yang memberi nama Sukarno pada jalan-jalannya yang penting, a.l. di Mesir. Bung Karno adalah seorang pejuang kemerdekaan dan founding father sebuah negara dan bangsa yang besar. Beliau menjadi sumber inspirasi bagi banyak pemimpin (atau calon pemimpin) lainnya, tidak terbatas pada batas-batas negara Indonesia. Upaya-upaya untuk memperkecil atau mengerdilkan peranan Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan dan sebagai bapak bangsa tidak akan berhasil karena hal itu bertentangan dengan fakta sejarah yang ada. Sejarah memang ditulis oleh pihak yang menang, namun dalam kasus Bung Karno, dunialah yang menjadi saksi akan kebesaran beliau sebagai seorang pemimpin besar yang memiliki kharisma.
Tulisan ini berisikan uraian yang bersifat “perkenalan” sehubungan dengan topik kepemimpinan kharismatis (charismatic leadership) dan menyinggung juga para pemimpin kharismatis (charismatic leaders) seperti Dr. Ir. Soekarno, presiden pertama N.K.R.I.
PEMIMPIN KHARISMATIS DAN KEPEMIMPINAN KHARISMATIS
Banyak orang menamakan diri mereka para pemimpin, namun hanya sedikit saja yang sungguh dapat dinamakan para pemimpin kharismatis. Dari sejarah kita dapat menyebut sejumlah nama sebagai contoh: Julius Caesar, Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, Bung Karno, John F. Kennedy, Nelson Mandela, Dr. Martin Luther King, Jr. Serentetan nama ini datang dalam segala bentuk dan ukuran. Misalnya, baik Franklin Delano Roosevelt maupun Adolf Hitler adalah para pemimpin kharismatis yang memiliki kemampuan mengambil risiko untuk memajukan perubahan, namun untuk mencapai tujuan akhir yang sangat berbeda.
Untuk melakukan perubahan dalam organisasi secara rasional memang tersedia sejumlah model, namun perubahan-perubahan berskala besar dalam masyarakat atau bidang politik kiranya tidak begitu mudah untuk dilakukan dengan mengikuti formula tertentu. Jadi sah-sah saja bilamana kita meragukan apakah Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Dr. Martin Luther King, Jr. dan para pemimpin kharismatis lainnya mengikuti formula tertentu atau rencana/rancangan tertentu berkaitan dengan perubahan, namun mereka sungguh mampu melakukan perubahan fundamental dalam/atas masyarakat mereka masing-masing. Walaupun para pemimpin kharismatis ini berbeda dalam sejumlah cara bekerja mereka, ada satu karakteristik yang mereka semua miliki, yaitu “kharisma”.
Para pemimpin yang kharismatis itu penuh gairah (passionate), para pribadi yang terdorong dan mampu untuk menggambarkan suatu visi yang tidak sekadar memikat, mendorong, melainkan juga memaksakan (compelling) tentang masa depan. Melalui visi ini mereka mampu untuk menimbulkan excitement bertaraf tinggi di antara para pengikut (konstituen) mereka dan secara khusus membangun kelekatan-kelekatan emosional yang kuat dengan mereka. Kombinasi antara visi yang bersifat memaksakan tadi, tingkat emosional yang meningkat, dan kelekatan-kelekatan emosional pribadi yang kuat seringkali “memaksa” para pengikut (konstituen) untuk berupaya lebih giat lagi untuk memenuhi tantangan-tantangan organisasi atau masyarakat.
Namun entusiasme dan kegairahan yang timbul gara-gara para pemimpin kharismatis kelihatannya merupakan sebilah pedang bermata dua. Ada gerakan-gerakan kharismatis yang dapat membuahkan perubahan organisasi/masyarakat yang positif dan relatif damai, misalnya gerakan Falun Gong. Di lain pihak bila kegairahan ini digunakan untuk kepentingan pribadi sang pemimpin guna memuaskan ketamakan akan kuasa dlsb., maka sejarah dapat memberikan bukti-bukti otentik bagaimana hal itu dapat membawa dampak negatif sangat besar pada masyarakat, misalnya David Koresh seorang pemimpin sebuah sekte/aliran sesat di Waco, Texas, Adolf Hitler pemimpin tertinggi Jerman-Nazi, atau pemimpin Serbia, Slobodan Milosevic.
PEMIMPIN KHARISMATIS DAN VISI KE DEPAN
Menurut Jay A. Conger (The Charismatic Leader, New Yorki: Jossey Bass,1988), para pemimpin kharismatis memiliki kemampuan untuk menghasilkan perubahan besar – quantum change – dalam sebuah organisasi. Para pemimpin kharismatis ini bergerak maju melalui empat tahapan. Tahapan pertama adalah merasakan adanya kesempatan dan kemudian dia memformulasikan suatu visi. Dalam dunia bisnis para pemimpin kharismatis ini mempunyai perasaan kuat berkaitan dengan kebutuhan para pelanggan dan kemampuan yang juga sama kuatnya untuk melihat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam strategi organisasi yang ada sekarang menolong mereka mengembangkan visi yang menarik dan realistis. Tahapan kedua adalah mengartikulasikan visi tersebut. Para pemimpin kharismatis menggunakan keterampilan-keterampilan berkomunikasi mereka untuk menggambarkan aspek-aspek hakiki dari visi tersebut kepada para konstituennya. Tahapan ketiga adalah membangun rasa percaya (building trust) terhadap visi tersebut. Visi tersebut memang harus dipromosikan, namun sama pentingnya adalah bahwa para pemimpin kharismatis itu “menjual” diri mereka sendiri, sehingga orang-orang lain memandang mereka sebagai pribadi-pribadi yang memiliki keterampilan dan dapat dipercaya. “Trust building” ini tidak dapat mencapai tujuan apabila dilakukan dengan paksaan (coercion), melainkan harus dilakukan melalui metode-metode seperti pengambilan risiko pribadi (personal risk-taking) , keahlian yang tidak konvensional (unconventional expertise) dan pengorbanan diri (self-sacrifice). Para pendukung pemimpin-pemimpin kharismatis tidak hanya mematuhi visi yang telah dibuat, melainkan juga mereka menaruh respek pada para pemimpin kharismatis tersebut dan percaya pada kemampuan mereka untuk mewujudkan visi yang telah dibuat itu. Langkah keempat adalah mewujudkan visi itu. Dalam tahapan ini, pemberdayaan (empowerment) merupakan instrumen yang menentukan, karena pemberdayaan itu membuat para pengikut (konstituen) merasa PD atas kompetensi mereka untuk mengatasi berbagai penghalang. Jika para pengikut (konstituen) percaya pada visi tersebut dan kemampuan mereka sendiri untuk mengatasi berbagai penghalang yang pasti ada, maka mereka memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk mencapai sukses.
DIMULAI OLEH MAX WEBER
Sebelum pertengahan tahun 1970-an, topik kepemimpinan kharismatis terutama dipelajari oleh para sejarawan, ahli ilmu politik dan ahli sosiologi. Dari riset-riset yang awal, Max Weber (1947) menulis karya yang diakui penting. Weber adalah seorang ahli sosiologi yang terutama meminati pokok-pokok bagaimana pemangku kekuasaan, kaum agamawan/religius, dan kekuatan ekonomi mempengaruhi masyarakat-masyarakat. Weber berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat dapat digolongkan ke dalam tiga jenis sistem otoritas/kekuasaan: tradisional, legal-rasional, dan kharismatis.
Dalam sistem kekuasaan tradisional, tradisi-tradisi atau hukum-hukum tak tertulis dari masyarakat mendikte siapa yang memegang kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dapat digunakan. Transfer kekuasaan dalam sistem-sistem sedemikian didasarkan atas tradisi-tradisi misalnya transfer kekuasaan kepada putera sulung dari seorang raja setelah kematian sang raja. Contoh dalam sejarah adalah dinasti-dinasti di Cina dari 3000 SM sampai tahun 1700-an. Walaupun pada abad ke-21 ini ada sedikit saja negara dengan sistem pemerintahan yang tradisional monarkhi, masih ada banyak contohnya dalam perusahaan-perusahaan di sektor swasta. Banyak CEO dalam perusahaan-perusahaan swasta – bahkan yang sahamnya sudah diperdagangkan di bursa saham – yang dikendalikan oleh pemegang saham mayoritas, seringkali adalah anak atau sanak keluarga dari CEO terdahulu.
Dalam sistem kekuasan yang legal-rasional, seseorang mempunyai kekuasaan bukan karena tradisi atau karena lahir berdarah-biru, namun karena hukum-hukum yang berlaku untuk posisi yang dipegang. Misalnya para pejabat terpilih dan sebagian besar pemimpin lembaga nir-laba ataupun perusahaan yang sahamnya sudah diperdagangan dalam bursa saham. Kekuasaan ada dalam posisi itu sendiri, bukannya pada pribadi yang memegang posisi.
Dua sistem kekuasaan yang disebutkan di atas diperlawankan dengan kekuasan yang bersifat kharismatis, di mana orang-orang memperoleh kekuasaan karena karakteristik-karakteristik pribadi yang patut menjadi contoh. Para pemimpin kharismatis dipandang sebagai pribadi-pribadi yang memiliki berbagai kualitas yang bersifat superhuman atau kekuasaan-kekuasaan yang berasal dari Yang Ilahi, yang memisahkan mereka dari manusia biasa. Locus dari kekuasaan dalam sistem-sistem ini terletak pada individu yang memiliki kualitas-kualitas pribadi yang luarbiasa ini; jadi bukannya karena kelahiran berdarah biru atau hukum.
Menurut Weber, para pemimpin yang kharismatis berasal dari masyarakat dan mereka muncul sebagai pemimpin ketika masyarakat tersebut mengalami krisis sosial yang besar. Pemimpin-pemimpin ini melayani masyarakat agar supaya memusatkan perhatian mereka pada masalah yang dihadapi dan pemecahan-pemecahan masalah tersebut yang bersifat revolusioner yang diusulkan oleh pemimpin tersebut. Jadi, sistem-sistem kekuasaan yang kharismatis, biasanya merupakan hasil dari suatu revolusi melawan sistem-sistem-sistem “tradisional” dan “legal-rasional”. Contoh dari kepemimpinan kharismatis yang berakibat kebaikan adalah “pengusiran Kolonial Inggris dari India” oleh Mahatma Gandhi. Demikian pula yang ditunjukkan oleh Ir.Soekarno sehingga Indonesia pun berhasil merebut kemerdekaan dari kolonial Belanda di tahun 1945. Ingat juga keberhasilan Dr. Martin Luther King, Jr. untuk akhirnya mengubah hukum tentang hak-hak sipil di Amerika Serikat. Tidak seperti sistem-sistem kekuasaan tradisional dan legal-rasional, sistem-sistem kekuasan kharismatis cenderung tidak bertahan lama.
Seorang pemimpin kharismatis harus memproyeksikan suatu imaji kesuksesan (image of success) agar supaya para pengikut (konstituen) percaya bahwa para pemimpin kharismatis tersebut sungguh memiliki kualitas-kualitas pribadi yang bersifat superhuman. Kegagalan dalam hal ini akan menyebabkan para pengikut (konstituen) mempertanyakan kualitas-kualitas ilahi yang ada dalam diri sang pemimpin dan pada gilirannya akan menggerus wibawa sang pemimpin.
Ada sejumlah sejarawan, ahli ilmu politik dan ahli sosiologi yang mengomentari berbagai aspek dari konseptualisasi Weber tentang sistem-sistem kekuasaan kharismatis. Namun dari semua komentar ini, barangkali kontroversi yang paling besar adalah sekitar teori Weber yang berkenaan dengan locus dari kepemimpinan kharismatis. Apakah kharisma terutama merupakan akibat dari situasi atau konteks sosial yang dihadapi oleh sang pemimpin, kualitas-kualitas pribadi luarbiasa yang ada pada diri sang pemimpin, ataukah hubungan kuat yang terjalin antara sang pemimpin kharismatis dan para pengikut (konstituen)-nya? Ada cukup banyak komentar lain yang Insya Allah dapat kita bahas dalam kesempatan lain.
CATATAN PENUTUP
Mengapa kepemimpinan kharismatis mampu menyebabkan para pengikut (konstituen) menjadi begitu “excited” tentang kemungkinan-kemungkinan di masa depan, sehingga mereka bahkan bersedia kehilangan nyawa untuk mencapai cita-cita tertentu? Uraian di atas hanyalah untuk membantu kita semua untuk lebih mendalami topik ini sehingga diharapkan dapat menjawab pertanyaan ini.
Nama-nama para pemimpin yang saya sebutkan di atas juga dikategorikan sebagai para pemimpin yang melakukan transformasi dalam organisasi dan masyarakat di mana mereka berada. Mereka dinamakan transformational leaders. Pada titik ini, baiklah saya kemukakan bahwa semua “transformational leaders” adalah “charismatic leaders”, namun tidak semua “charismatic leaders” adalah “transformational leaders”.
Jakarta, 26 Januari 2014
Drs. Tiardja Indrapradja
http://developingsuperleaders.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H