Mohon tunggu...
Drs. Tiardja Indrapradja
Drs. Tiardja Indrapradja Mohon Tunggu... Wiraswasta - pensiunan

Seorang ayah dengan lima orang anak yang sudah dewasa [Puteri sulung saya telah meninggal pada tahun 2016 karena penyakit kanker]. Lulusan FEUI, dan pernah mengajar di FISIP UI 1977-akhir abad ke-20 sebagai dosen luarbiasa di jurusan administrasi [niaga]. Sekarang menangani empat situs/blog dalam hal evangelisasi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kepemimpinan Kharismatis (Charismatic Leadership)

13 Februari 2014   20:15 Diperbarui: 5 Desember 2015   18:21 1762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan yang berjudul “Sukarno !!!” (KOMPASIANA, 26 Januari 2014), saya menyinggung teori yang dikembangkan oleh Max Weber tentang Kepemimpinan Kharismatis (Charismatic Leadership). Menurut Weber yang ahli sosiologi itu, masyarakat-masyarakat dapat digolongkan ke dalam tiga jenis sistem kekuasaan, yaitu tradisional, legal-rasional, dan kharismatis. Dua jenis kekuasaan yang disebutkan pertama diperlawankan dengan jenis kekuasaan ketiga.

MAX WEBER DAN BERBAGAI TANGGAPAN TERHADAP TEORINYA

Menurut Weber, dalam sistem kekuasaan kharismatis, orang memperoleh kekuasaan karena karakteristik-karakteristik pribadi yang patut menjadi contoh. Para pemimpin kharismatis dipandang sebagai pribadi-pribadi yang memiliki berbagai kualitas yang bersifat superhuman atau kuasa-kuasa yang berasal dari “atas”, yang memisahkan mereka dari manusia biasa. Locus dari kekuasaan dalam sistem-sistem ini terletak pada individu yang memiliki kualitas-kualitas pribadi yang luarbiasa ini; jadi bukannya karena kelahiran berdarah biru (sistem kekuasaan tradisional) atau hukum (sistem kekuasaan legal-rasional). Sistem-sistem kekuasaan yang kharismatis, biasanya merupakan hasil dari suatu revolusi melawan sistem-sistem-sistem “tradisional” dan “legal-rasional”.

Ada sejumlah sejarawan, ahli ilmu politik dan ahli sosiologi yang mengomentari berbagai aspek dari konseptualisasi Weber tentang sistem-sistem kekuasaan kharismatis. Namun dari semua komentar ini, barangkali kontroversi yang paling besar adalah sekitar teori Weber yang berkenaan dengan locus dari kepemimpinan kharismatis. Apakah kharisma terutama merupakan akibat dari situasi atau konteks sosial yang dihadapi oleh sang pemimpin, kualitas-kualitas pribadi luarbiasa yang ada pada diri sang pemimpin, ataukah hubungan kuat yang terjalin antara sang pemimpin kharismatis dan para pengikut (konstituen)-nya?

P.M. Blau, dalam tulisannya yang berjudul “Critical Remarks on Weber’s Theory of Authority” (American Political Science Review 57, no. 2 [1963], hal. 305-315), mengemukakan bahwa gerakan-gerakan kharismatis tidak akan menjadi kenyataan kecuali jika masyarakat berada dalam suatu situasi krisis. Pandangan Blau ini juga sesuai dengan pandangan sebelumnya dari  E. Chinoy (Society, New York: Random House, 1961). Pandangan ini juga diikuti oleh H. Wolpe dalam “A Critical Analysis of Some Aspects of Charisma”, Sociological Review 16 (1968), hal. 305-318. Sejalan dengan tiga penulis itu ada sejumlah penulis yang mengatakan bahwa sebelum seorang pemimpin dengan kualitas-kualitas pribadi yang bersifat luarbiasa dapat dipersepsikan sebagai kharismatis, situasi sosial harus sedemikian rupa sehingga membuat para pengikut mengakui relevansi dari kualitas-kualitas pemimpin tersebut. Mereka adalah pertama-tama H.H. Gerth & C.W. Mills, “Max Weber: Essays in Sociology”, New York: Oxford University Press, 1946, disusul kemudian oleh W.H. Friedland dalam tulisannya yang berjudul “For a Sociological Concept of Charisma” (Social Forces, no. 1 [1964], hal. 18-26) dan R.M. Kanter dalam “Commitment and Community”, Cambridge: Harvard University Press, 1972.

Di sisi lain ada pula para penulis yang mengatakan bahwa kepemimpinan kharismatis terutama merupakan sebuah fungsi dari kualitas-kualitas yang bersifat luarbiasa dari pribadi sang pemimpin, bukannya situasi. Pandangan ini datang dari R.C. Tucker, “The Theory of Charismatic Leadership”, Daedalus 97 (1968), hal. 731-756, dan T.E. Dow, “The Theory of Charisma”, Sociological Quarterly 10 (1969), hal. 306-318. Kualitas-kualitas pribadi tersebut termasuk memiliki kuasa luarbiasa  terkait visi yang jauh ke depan, keterampilan retorika guna mengkomunikasikan visi dan misi, rasa percaya-diri serta intelegensia yang tinggi, dan menetapkan tingkat ekspektasi tinggi bagi para pengikut. Ada pula pandangan yang mengataksan bahwa kepemimpinan kharismatis bukanlah tergantung pada kualitas-kualitas sang pemimpin atau adanya situasi krisis, melainkan pada reaksi-reaksi para pengikut terhadap pemimpin mereka, Menurut pandangan ini kharisma yang di-“anugerahkan” kepada para pemimpin yang secara khusus dapat mengembangkan kelekatan-kelekatan emosional yang kuat dengan para pengikut mereka. Pandangan ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan G. Deveraux, “Charismatic Leadership and Crisis” (dalam W. Muensterberger & S. Axelrod, “Psychoanalysis and Social Sciences”, New York: International University Press, 1955); J.T. Marcus, “Transcendence and Charisma”, Western Political Quarterly 16 (1961), hal. 236-241; E. Shils, “Charisma, Order, and Status”, American Sociological Review 30 (1965), hal. 199-213; B.E. Clark, “The Organizational Sage in Higher Education”, Aministrative Science Quarterly 17 (1972), hal. 178-184; dan J.V. Downton, “Rebel Leadership: Commitment and Charisma in the Revolutionary Process”, New York: Free Press, 1973.

PERKEMBANGAN SELANJUTNYA

Tulisan B.M. Bass yang berjudul “Assessing the charismatic leader” dalam M. Syrett & C. Hogg (editors), Frontiers of Leadership (Blackwell, Oxford: 1972), mengambil pandangan Max Weber tentang kharisma yang mempunyai lima unsur:

    • Seorang pribadi dengan karunia-karunia luarbiasa.
    • Suatu krisis.
    • Suatu solusi yang radikal atas krisis tersebut.
    • Para pengikut merasa tertarik kepada pribadi yang luarbiasa, percaya bahwa mereka dikaitkan dengan kuasa-kuasa transendental melalui pribadi tersebut.
    • Validasi terhadap karunia-karunia dan kuasa-kuasa dan transendensi pribadi tersebut dalam pengalaman sukses yang berulang-ulang.

Pola ini terasa sangat serupa dengan kepemimpinan transformasional, namun fokusnya di sini adalah pada atribut kharisma pribadi; konsep “karunia luarbiasa” (extraordinary gifts) dan kuasa-kuasa yang bersifat transenden (transcendent powers). Menurut Bass, kharisma datang dari suatu kombinasi antara emotional expressiveness, self confidence, self determination dan freedom from internal conflict. Seorang pemimpin kharismatis adalah pribadi yang memiliki keyakinan kuat akan kebenaran-kebenaran yang bersifat hakiki dari keyakinan-keyakinannya sendiri. Pemimpin yang kharismatis itu radikal, tidak konvensional, berani mengambil risiko, visioner, memiliki sifat-sifat sebagai entrepreneur dan menjadi seorang tokoh keteladanan. Terdapat suatu kelekatan emosional yang intens antara para pengikut dengan sang pemimpin kharismatis tersebut, kelekatan mana melampaui hal-hal seperti rasa percaya (trust), rasa hormat (respect) atau rasa kagum (admiration). Yang terasa akhirnya adalah rasa terpesona, devosi dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.

Bass telah mempelajari topik kepemimpinan kharismatis ini dengan menggunakan suatu instrumen kuesioner yang dinamakan Multi-factor Leadership Questionnaire (MLQ). Sejak tahun 1985 Bass dan beberapa orang koleganya melakukan studi-studi kuantitatif atas berbagai lembaga pendidikan, angkatan bersenjata, bisnis, industri, rumah sakit dan organisasi nir-laba; dan ia melaporkan bahwa kharisma muncul sebagai unsur terpenting dalam berbagai studinya tersebut. Dalam survei-survei dengan menggunakan MLQ tersebut terungkaplah hal-hal berikut ini:

    • Kepemimpinan Kharismatis ditemukan pada semua tingkat dalam organisasi-organisasi yang di-survei, namun paling sering ditemukan pada tingkat puncak.
    • Banyak pengikut menggambarkan para pemimpin mereka dalam term-term yang mengindikasikan karakteristik-karakteristik kharismatis. Beberapa diantara mereka mempunyai kepercayaan yang lengkap/total pada para pemimpin mereka dan merasa bangga diasosiasikan dengan para pemimpin tersebut.
    • Para bawahan yang menggambarkan atasan langsung mereka sebagai pemimpin kharismatis juga menilai unit-unit kerja mereka sebagai lebih produktif.
    • Para pemimpin kharismatis dipandang sebagai pribadi-pribadi yang lebih dinamis. Mereka yang bekerja di bawah pemimpin-pemimpin kharismatis tersebut memiliki tingkat self-assurance yang lebih tinggi dan memandang pekerjaan mereka sebagai lebih bermakna.
    • Jam-jam kerja mereka yang bekerja di bawah para pemimpin kharismatis lebih panjang.
    • Mereka mengungkapkan tingkat rasa percaya (trust) yang lebih tinggi pada pemimpin mereka ketimbang mereka yang bekerja untuk para pemimpin yang tidak kharismatis.
    • Terdapatnya korelasi tinggi antara tinggi-rendahnya kharisma para pemimpin dan ukuran-ukuran keefektifan kepemimpinan.

Perdebatan di sekitar topik kepemimpinan kharismatis bergeser secara dramatis dengan diterbitkannya buku karangan Jame MacGregor Burns, “LEADERSHIP”, New York: Harper & Row, 1978. Burns adalah seorang ahli ilmu politik terkenal yang sepanjang karirnya di arena politik nasional mempelajari topik kepemimpinan ini. Menurut Burns, kepemimpinan itu dalam mengambil salah satu dari dua bentuk ini: Kepemimpinan transaksional (transcactional leadership) dan kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Yang disebutkan belakangan sangat erat berhubungan dengan kepemimpinan kharismatis, Hal ini akan dibahas dalam kesempatan lain.

O. Behling dan J.M. McFillen dalam tulisan mereka yang berjudul “A syncretical model of charismatic/transformational leadership” (Group and Organizational Management, vol. 21 no.2, hal. 163-185) telah mengembangkan suatu model yang didasarkan atas enam atribut perilaku pemimpin dan tiga kepercayaan para pengikut. Enam atribut tersebut diturunkan atas dasar “persetujuan baik antara para ahli di lapangan”. Semua itu merupakan suatu campuran antara kualitas-kualitas pribadi dan pola-pola perilaku:

    • Empati – menunjukkan keprihatinan terhadap berbagai kebutuhan dan rasa takut para pengikut.
    • Dramatisasi dari misi – mengartikulasikan tujuan melalui proses komunikasi dan tindakan-tindakan.
    • Memproyeksikan self-assurance – bertindak dengan penuh rasa percaya diri dan kepastian.
    • Meningkatkan pencitraan diri – menciptakan suatu kesan sebagai seorang pribadi yang memiliki kompetensi, seorang pemenang.
    • Meyakinkan para pengikut tentang kompetensi mereka dan kemampuan untuk mencapai hal-hal besar.
    • Memberikan kesempatan-kesempatan kepada para pengikut untuk mencapai sukses, mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab dan membuang segala sesuatu yang menghalang-halangi kinerja para pengikut.

Dalam model ini, enam perilaku sang pemimpin menghasilkan atau memperkuat tiga tanggapan dari pihak para bawahan/pengikut:

    • Rasa kagum/terpesona – atau percaya tanpa alasan terhadap kemampuan-kemampuan sang pemimpin.
    • Inspirasi – para pengikut terbujuk oleh tujuan moral atau etis dari misi.
    • Pemberdayaan – para pengikut percaya bahwa mereka dapat mengatasi berbagai rintangan dan kemudian berhasil mencapai hal-hal yang besar.

Berdasarkan studi literatur/kepustakaan mereka, Behling dan McFillen menyatakan bahwa satu-satunya kondisi/syarat yang dipersepsikan secara universal untuk penggunaan efektif dari kepemimpinan kharismatis adalah apa yang mereka namakan sebagai psychic distress – kekhawatiran yang berkaitan dengan jenis krisis tertentu atau rasa tidak enak yang mempengaruhi organisasi.

CATATAN PENUTUP

Ada beberapa catatan tentang kepemimpinan kharismatis yang harus kita perhatikan. Pertama-tama, walaupun kita telah mendefinisikan kharisma sebagai suatu kualitas pribadi yang dianugerahkan kepada pemimpin tertentu berdasarkan hubungannya dengan para pengikut, kepemimpinan kharismatis paling penuh dipahami ketika kita juga mempertimbangkan bagaimana sang pemimpin dan faktor-faktor situasional mempengaruhi proses pemberian atribut. Hubungan istimewa seorang pemimpin kharismatis dengan para pengikutnya tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan seringkali hal ini merupakan akibat dari interaksi antara kualitas-kualitas sang pemimpin,  nilai-niali pemimpin dan pengikutnya, dan kehadiran faktor-faktor situasional tertentu.

Kedua, kelihatannya tidak perlulah semua karakteristik kepemimpinan kharismatis untuk terkumpul semua sebelum kharisma dianugerahkan kepada seorang pemimpin. Bottom line dari kharisma kelihatannya adalah relasi seorang pemimpin tertentu dengan para pengikutnya, dan ada berbagai cara dengan mana relasi ini dapat berkembang. Hal ini juga berarti bahwa kharisma terlebih-lebih merupakan rentangan (continuum) daripada fenomena “ada” atau “tidak ada samasekali”.  Ada pemimpin yang mampu untuk menjalin secara khusus ikatan yang kuat dengan mayoritas para pengikutnya, ada yang mampu menjalin ikatan dengan para pengikut yang berjumlah lebih sedikit, ada pula pemimpin yang dapat “bergaul baik” dengan banyak pengikutnya, namun tidak menjalin relasi yang kuat dengan mereka.

Ketiga, kelihatannya kepemimpinan kharismatis dapat eksis atau terjadi di mana-mana – sekolah-sekolah, gereja-gereja, komunitas-komunitas, bisnis-bisnis, organisasi-organisasi pemerintahan dan bahkan bangsa-bangsa.

Keempat, dengan catatan bahwa ada sejumlah cara untuk mengembangkan kelekatan-kelekatan emosional yang kuat dengan para pengikut, maka satu pertanyaan penting adalah apakah mungkin untuk menganugerahkan kharisma kepada seseorang berdasarkan hanya pada posisi orang tersebut atau statusnya sebagai selebriti. Tidak sedikit pribadi yang memegang posisi yang terlihat oleh  banyak orang (misalnya bintang film, pemain musik, atlit, penginjil televisi, dan politisi) dapat mengembangkan (bahkan menyuburkan) gambaran diri yang kharismatis di hadapan para “fans” dan pengagum mereka. Dalam kasus-kasus ini, bergunalah bagi kita untuk mengakui bahwa kepemimpinan kharismatis itu bersifat dua-arah. Tidak hanya para pengikut mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pemimpin mereka, akan tetapi sang pemimpin juga mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan para pengikutnya dan memiliki keprihatinan  atas perkembangan para pengikutnya (Burns, 1978).

Jakarta, 13 Februari 2014

Drs. Tiardja Indrapradja

http://developingsuperleadership.wordpress.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun