Mohon tunggu...
Indra Pangestu
Indra Pangestu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Banten Girang yang Terlupakan

10 November 2016   22:07 Diperbarui: 10 November 2016   22:24 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Waktu itu langit sangat mendukung kedatangan saya menuju museum Banten Girang. Untuk pergi kesana tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Karena jarak museum berada di dekat pusat kota Serang, lebih tepatnya Jl Sempu berdekatan dengan Mall Giant.  Di sekeliling Banten Girang tedapat sungai Cibanten yang konon katanya Sungai itu pernah digunakan sebagai jalur perdagangan Internasional. Saya cari semua informasi yang mendukung saya untuk memahami Banten Girang lebih dalam lagi.

Kumpulan para pedagang yang sedang mencari sesuap nasi sepertinya sudah terbiasa menunggu rezeki di tempat ini. Sekilas tidak ada yang aneh dari museum ini. Selayaknya museum yang lain, di Banten Girang terdapat kumpulan peninggalan bersejarah pada masa sebelum kemerdekaan bahkan sebelum zaman kesultanan. Ada kumpulan batu-batu, serpihan keramik unik, dan puing-puing perhiasan kuno. Melihat semua itu saya teringat dengan sebuah Sinetron Kian Santang di salah satu tv swasta. Namun saya pikir sejarah Banten Girang tidak terlalu didramatisir seperti dalam film itu.

Setelah saya membaca sepintas sejarah Banten Girang. Ternyata seketika saya tersadar bahwa di Banten sendiri memiliki sejarah yang panjang. Sebelum zaman kesultanan, telah hidup sebuah zaman kerajaan yang sering disebut dengan Kerajaan Tatar Sunda. Kerajaan ini didirikan oleh Prabu Jaya Bupati pada tahun 932 M. Masyarakat saat itu menganut agama Hindu. Mereka masih mempercayai berhala dan dewa-dewa yang ada di alam. Setiap beribadah mereka bersembahyang di Gunung Pulosari, yang saat ini sering digunakan untuk berlibur. Kerajaan ini pada mulanya secara perekonomian sangatlah maju. Karena tempat yang begitu strategis untuk melakukan perdagangan Internasional.  

Suatu ketika Kerajaan Tatar Sunda dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana dan termasyhur, Prabu Jaya Dewata (Pucuk Umum). Sistem perekonomian semakin maju dari sebelumnya. Raja Jaya Dewata memiliki patih yang pemberani yaitu Mas Jong. Namun ada sebuah permasalahan yang timbul dari pemikiran Mas Jong. Dia merasa kalau Raja berperilaku tidak adil. Sehingga Patih Mas Jong memutuskan untuk pergi dan keluar dari Kerajaan Tatar Sunda untuk mencari kebenaran.  Sampai akhirnya dia bertemu Sultan Demak bernama Sultan Hasanuddin ( Faletehan). 

Mas Jong memutuskan mempelajari Agama Islam dengan berguru kepada Sultan Hasanuddin.  Merasa Agam Islam sebagai ajaran yang lebih baik,  Mas Jong dan Sultan Hasanuddin mendatangi Kerajaan Tatar Sunda untuk mengajak masyarakat beserta saudaranya Agus Jo untuk mempercayai Agama Islam. Namun Raja Prabu Jaya Dewata masih meyakini kepercayaan leluhur sehingga beliau memutuskan pergi bersama orang-orang kepercayaannya ke daerah Banten Selatan.

Pada akhirnya Kerajaan Tatar Sunda telah berganti menjadi era Kesultanan. Saat itu Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Sistem Agama Islam pun semakin erat dan berkat keberadaan Mas Jong dan Agus Jo era kesultanan semakin Berjaya. Setelah Sultan Hasanuddin berhijrah menuju Cirebon. Kepemimpinan digantikan oleh putranya bernama Sultan Maulana Hasanuddin ( Sabakingking Masjong Agus Jo) pada tahun 1526 M. Pada saat itu Sultan Maulana Hasanudin memutuskan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Banten Utara, tepatnya Surosowan. Namun pada era kesultanan Maulana Hasanuddin mengalami peperangan dengan bangsa penjajah dan  penghianat dari pribuminya sendiri.     

Itulah sepintas cerita yang saya baca di museum Banten Girang. Saya tidak akan menjelaskan secara terperinci bagaimana sejarah Banten pada saat itu. Disini saya ingin membahas bagaimana eksistensi Banten Girang yang mulai dilupakan oleh Pemerintahnya sendiri. Ditemui di museum Banten Girang, Abdu Hasan mengungkapkan, pemerintah sudah salah kaprah dalam membuat buku tentang sejarah di Banten. Penjelasan sejarah Banten yang selama ini yang diteliti arkeolog nasional dan internasional tidak sama dengan apa yang dibuat oleh dinas-dinas yang ada di Banten. Dirinya tidak pernah diajak untuk berkontribusi oleh pemerintah Banten, padahal sudah lama dia berdiskusi bersama Arkeolog Nasional dalam membahas keberadaan kerajaan Banten itu sendiri.

Contoh kecil yang bisa dikritisi adalah papan penunjuk jalan Banten Lama yang menuju Surosowan dan Menara Banten. Sebenarnya pemerintah sudah salah dalam memberikan petunjuk jalan. Karena Banten yang keberadaannya paling lama tidak di Surosowan. Jika melihat keberadaan sejarah Banten Girang sudah bisa dipastikan kalau Banten Girang lah daerah yang bisa disebut Banten Lama. Menurut Abdu Hasan terlalu banyak kebohongan yang dibuat Pemerintah di Banten dalam pengungkapan sejarah.

Sudah 16 tahun Banten berjaya sebagai provinsi.  Keberadaan Banten kini sudah bisa mandiri seperti remote televisi, segala bentuk perekonomian, kebijakan otonomi daerah, seni dan kebudaayan serta pendidikan sudah bisa dipilih oleh masyarakat Banten. Banten dengan segala kebudayaan yang dimilikinya selalu menarik untuk ditelusuri. Selain itu Banten memiliki sejarah yang tidak mungkin bisa dilupakan. Namun sudahkah kita mempelajari sejarah banten dengan benar ?

Mungkin keberadaan Banten selama lima puluh tahun terakhir bahkan lebih masih berada dalam keadaan menginduk dengan Provinsi Jawa Barat. Selama itu lah segala sistem kebudayaan masih menyimpang dengan negeri Parahiyangan. Banten dengan segala ketertinggalannya, sedang mencari identitas diri dan pengakuan dari semua pihak. Wajar saja kebudayaan Banten sedikit-sedikit rasa Jawa Barat. Namun pengungkapan sejarah di Banten sendiri menjadi pekerjaan rumah yang selama ini belum bisa diungkapkan dengan benar. Sebuah tanda tanya besar apabila masyarakat dan pemerintah pun tidak bisa mengenal sejauh mana keberadaan Banten dengan jejak-jejak sejarah yang dimiliki.    

Sejarah bisa dianalogikan seperti batu usang namun bermanfaat untuk dijadikan indikator hidup. Dari sejarah manusia bisa mengevaluasi kehidupan menjadi lebih baik. Namun jika masyarakat dibodohkan dengan sejarah tidak utuh. Sedikit demi sedikit masyarakat Banten mulai melupakan dan kehilangan arah jika mengenal serajah Banten itu sendiri. Ada potongan teka-teki yang belum terungkap secara utuh. Orang-orang mengenal Banten adalah Negara Kesultanan Islam yang lengkap dengan perjuangan terhadap Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun