Mohon tunggu...
Indra Malela
Indra Malela Mohon Tunggu... -

Pegawai Swasta tinggal di Cikarang, Hobi membaca; menulis untuk iseng saja.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepenggal Kisah Cinta dari Nagoya 1.4

5 Juni 2011   14:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

by Indra Malela

Fredy Mercury : Seorang Guru Ngaji dari Mesir Pertama kali kami menginjakkan kaki di Jepang. Tak bisa nihongo. Saya belajar bahasa Jepang di Tokyo. Dan salah seorang temanku di situ adalah Daysi Prasetyani itu. Di sana kami tak semata belajar bahasa. Tetapi juga budaya dan tata cara hidup orang Jepang. Setidaknya itu menjadi bekal persiapan yang berguna bagi kami untuk beradaptasi dan bagaimana menempatkan diri hidup di negeri Sakura ini selanjutnya. Kami diajarkan bagaimana harus antri. Membuang sampah pada tempatnya. Membilas toilet setelah memakainya. Menjaga fasiltas umum. Jangan suka curat-coret tembok WC. Tidak meludah di sembarang tempat. Jangan kencing sembarangan di balik pohon di taman. Sekali lagi jagalah kebersihan. Ini Jepang. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Tinggalkan budaya lama kalau itu milik orang dungu. Bilang sayonara pada tatacara purba, kalau memang itu jahiliyah. Praktekan dan ikuti. Dijamin takkan rugi.  Mau melanggar silakan saja. Kau hanya akan jadi tontonan orang, kawan. Akan malu sendiri kalau tidak mau antri. Disangka manusia dungu dari masyarakat yang masih idiot. Tukang rebutan. Suku pedalaman yang hobi tawuran. Udik benar kamu itu, kalau buang puntung rokok atau sampah saja masih sembarangan.  Ini tuh kota, tahu? Bukan hutan! Kamu ini orang apa orang utan sih, kencing saja masih berdiri ngacir di balik pepohonan di taman.  Kalau kelakuanmu masih begitu, dan berada di negeri Sakura ini, sungguh lebih baik kita pura-pura tak kenal saja, ya. Jepang masyarakat yang tak perlu banyak semboyan. Banyak bekerja dalam diam. Disiplin. Tepat waktu. Bagaimana masyarakat Jepang bisa menjadikan lingkungan hidupnya bersih dan aman, itu bukti. Nyaman untuk ditinggali. Sebuah civil society. Mungkin bisa dibilang masyarakat madani. Di sekolah bahasa di Fuchu di Tokyo itu, kami juga sedikitnya diajarkan juga bagaimana cara bergaul dengan orang Jepang. Kalau mau berkunjung harus janjian terlebih dahulu. Kalau janji harus ditepati. Kalau terpaksa batal, mesti memberitahunya lagi lebih dulu. Dan sebaiknya hindarkan pembicaraan yang menyangkut tema  agama, selain seks tentunya. Seks dan agama adalah hal privasi yang sebaiknya dibicarakan secara tertutup dan dengan orang tertentu saja. Sepintas mungkin orang Jepang kelihatan tidak beragama. Sukar membaca orang Jepang percaya Tuhan atau tidak. Tapi tempat peribadatan begitu banyaknya. Di akhir tahun  semua kuil ramai.  Tanggal 25 Desember mayoritasnya menyambut hari natal. Turut merayakan walau mungkin hanya atribut atau cuma ikut-ikut. Akad perkawinan, upacara kematian juga mereka lakukan secara upacara keagamaan. Dalam agama mereka cenderung ekletis. Cari yang praktis. Dan tidak fanatis.  Maka menganggap mereka tidak beragama, adalah menarik kesimpulan tanpa premis.  Ada  bahkan beberapa  tokoh politik atau sokoguru ekonomi mereka yang juga adalah tokoh agama yang kuat. Ikeda Daisaku adalah pemuka agama sekaligus pemimpin sebuah partai politik. Atau Inamori pendiri Kyocera Ceramics Industry juga penganut agama Budha yang taat. Kalaupun boleh dipandang mereka tak memegang sebuah kepercayaan yang lugas,  tapi jelas Jepang adalah masyarakat yang menjunjung tinggi spiritualitas. Spirit Budha secara mayoritas. =============================================================== Nasihat seorang guru adalah sebuah pesan yang patut digugu dan ditiru. Di Jepangpun begitu. Guru dalam bahasa Jepangnya ‘sensei’. Arti harfiahnya orang yang duluan lahir. Lebih dulu tahu. Lebih berpengalaman. Jadi percayai kata-kata sensei itu. Karena dia orang berilmu. Dan di manapun saya berada selalu berusaha menjadi seorang murid yang baik. Setidak-tidaknya dua kata tabu itu –seks dan agama-- yang sebaiknya dihindarkan dalam pembicaraan dengan masyarakat Jepang, dengan Ai pun saya juga terapkan. Kendati dia jelas-jelas sudah menjadi seorang mualaf. Walau duluan saya beragama Islam, saya akui Islam saya abangan. Cuma ikut-ikutan. Hanya karena keturunan. Jadi saya juga mesti hati-hati. Takut berbeda aliran yang bisa menimbulkan salah paham. Atau juga dia tanya ini tanya itu. Sementara saya tidak tahu, karena memang bukan ahlinya di bidang itu. Kan saya bisa jadi malu dan kelihatan tidak bermutu. Jadi membicarakan dua hal yang teramat peka dan pribadi, dalam bercinta, adalah persoalan dengan prioritas no. 12. Lagian suatu hal yang diperlukan belum tentu tepat untuk cepat dibicarakan. Ada saat tepat. Ada waktu yang pas. Yaitu nanti saja. Karena kalau tidak tepat dan terburu nafsu bisa gawat. Bukan tidak mungkin bisa kembali terjadi perang bubat. Maksud hati memperpanjang tali siluturahmi, apa daya pertumpahan darah yang terjadi. Saya tak mau kesalahan sang Patih Gendut itu kembali terjadi di sini. Di sini saya sendirian. Tanpa pasukan. Kalau ini terjadi pasti saya bisa habis kalah dalam pertempuran. Saya hanya perlu cara-cara yang lebih beradab dan sopan. Lagian kalau Jepang dan Indonesia dianalogikan dengan Majapahit dan Pajajaran, mana Majapahitnya: Indonesia atau Jepang? Apalagi dari Indonesiapun asal saya bukan dari Kota Metropolitan. Tapi dari Cirebon pinggiran. Girinata-Palimanan. Tempat udik yang tak muncul di peta. Jadi saya perlu tahu diri. Lagian Dia itu gadis Metroplitan! Orang Tokyo lagi. Bukan  Cililitan. Jadi sekali lagi hati-hati. Tak perlu rendah diri. Tapi harus jaga diri. Dan atur strategi. Jangan buru-buru minta seks! Memperbincangkannya saja belum boleh. Lagian kita ini kan bukan kambing penjantan. Baru kenal masa sudah buru-buru langsung minta yang begituan. Tidak sopan! Lelaki itu harus macho. Bukan jantan. Tampang boleh pas-pasan. Tapi penampilan dan kesehatan harus tetap diutamakan. Kukayuh sepeda tiap hari ke tempat kuliah. Main badminton seminggu sekali. Angkat  berat agar badan menjadi kuat. Tak perlu berotot. Tapi jaga jangan sampai tubuhmu tambun seperti Patih Gajah Mada. Dan setelah mengenal Ai, saya makin rajin berolahraga. Tapi ngomong-ngomong macho itu apaan sih? Patih Gajah Mada kan macho juga! ============================================================= Di Nagoya ada mesjid. Tapi mesjid waktu itu bukanlah sebuah gedung dengan bagunan yang berkubah di atasnya. Hanya berupa ruangan di lantai 4 di sebuah gedung kecil. Dengan luas ruang tak 40 m persegi saja. Lumayan bisa menampung sekitar 40-an orang untuk sholat Jumatan. Walau dengan kondisi berdesak-desakan. Di tempat itu saya bertemu dan kenalan dengan seorang pemuda Mesir. Namanya Hisyam. Umurnya hampir 7 tahun di atasku. Jadi hampir usia 33 kala itu. Di sudah hampir 1 tahun tinggal di Jepang. Bekerja di sebuah pabrik di pinggiran kota Nagoya. Dia juga masih membujang sepertiku. Belum punya pacar. Jadi kami senasib. Dan orang senasib gampang jadi karib. Saya agak sering bertemu dengannya, kalau tidak pas sholat Jumatan. Ya, kalau ada pengajian Masyarakat Internasional Muslim di Nagoya. Kadang kami bertukar cerita. Adakalanya juga bertukar informasi dan pengetahuan. Saya mengajarinya bahasa Jepang, dan dia Brother Hisyam itu mengajariku sedikit bahasa Arab dan baca Al Quran. Karena karib, bicara agama juga tidak tabu dengannya. Sama-sama saling memberi dan berbagi. Setidaknya dari ceritanya saya jadi tahu sedikit tentang Mesir. Negeri piramid. Negeri tempat Fir’aun dan Cleopatra dulu pernah bertahta. Mau tahu sedikit lebih jauh tentang temanku Brother Hisyam ini? Dulu semasa kuliah, dia punya sebuah grup Band. Dan Brother Hisyam ini vokalisnya. Saya percaya. Karena suara ngajinya juga bagus. Pernah suatu kali dia pulang menyeberangi sungai Nil sehabis menghibur sebuah pesta pernikahan. Karena terlalu kencang dan gelapnya malam. Perahu boat itu terbalik. Alat musik hanyut. Untung semua penumpangnya selamat. Tapi sejak peristiwa kecelakaan itu grup bandnya bubar. Brother Hisyam tak pernah tampil menyanyi  lagi. Padahal cita-citanya dulu adalah menjadi vokalis band terkenal seperti Fredy Mercury! ================================================================== Seperti telah kukatakan dulu di awal kisah ini. Sebulan sekali masyarakat Muslim Indonesia Nagoya mengadakan pengajian bulanan. Seorang di antara kami yang ilmu agamanya cukup mumpuni memberikan ceramah. Siraman rohani. Ini adalah acara yang paling saya nanti-nantikan. Soalnya setelah siraman rohani ada acara makan-makan. Makan masakan Indonesia. Hasil karya ibu-ibu yang tinggal di sini. Acara makan-makan inilah. Acara siraman badani inilah yang paling saya nanti-nanti. Sebagai orang bujang. Hidup sendirian. Menikmati masakan Indonesia di negeri orang adalah menu makan yang sangat jarang. Para ibu-ibu di Nagoya itu tahu dan mengerti pada saya, selain membujang. Saya ini anak kost yang kurang makan. Tak jarang mereka membawakan saya bungkusan makanan sebelum saya pulang. Mereka ibu-ibu yang baik hati, peramah dan tidak sombong. Saya senang suasana ke-Indonesia-an ini. Jangankan sebulan sekali, seminggu sekali acara seperti ini diadakan saya pasti datang. Saya pasti hadir dengan perut keroncongan. Nah, ini. Kadang acara pengajian tidak berakhir di acara makan-makan. Ada acara ceramah kedua. Dengan pembicara semua Bapak-Bapak dan Ibu-ibu yang hadir di situ, dengan seorang pendengarnya yang cuma satu: ya, saya itu! Menasihati dan memotivasi saya agar cepat beristeri. Saya mendengarkannya dengan perut kenyang dan mata mengantuk. Sementara mereka terus berapi-api tanpa henti. Tidak apa. Saya tak pernah sakit hati. Saya bahagia bisa menghibur mereka. Karena misi utama saya dalam hidup ini adalah menghibur orang, membuat orang senang. Untuk itu juga kenapa saya tulis kisahku di fesbuk ini. Lagian mengapa mesti sakit hati. Mereka itu cuma tidak tahu saja. Bahwa saya ini sudah punya wanita. Ada Ai, yang wajahnya mirip sekali dengan Yuko Natori. Membawa Ai ke tempat ini adalah obsesi pertamaku. Biar Bapak-Bapak dan Ibu-ibu seniorku itu juga tahu. Bahwa aku ini seorang lelaki yang mampu. Mampu menghadirkan seorang Ai di situ. Jangankan seorang Ai.  Kuntilanak, hantu perawan, genderewo, suster keramas, setan perempuan kesurupan pun  bisa; bisa hadirkan dan saya undang ke tempat itu kalau aku mau dan mereka mampu melihatnya. Saya adalah asli orang Cirebon, walau Cirebon pinggiran. Leluhurku adalah Sunan Gunung Jati. Bukan orang ecek-ecek. Bukan tokoh sembarangan. Tetapi saya ini lelaki yang ramah dan tidak sombong. Tak mau melakukan keriyaan dan kedunguan itu di depan mereka. Lagian untuk apa menghadirkan kuntilanak ke tempat itu? Kayak tidak ada kerjaan saja! Tujuanku hanya satu, memboyong dan menggandeng Ai-ku ke tempat itu. Persoalannya hanya masalah waktu. Soal bagaimana adalah persoalan remeh-temeh. Hal sepele.  It’s a piece of cake! Tunggu saja. Nanti mereka pun tahu siapa Indra Malela ini sebenarnya! Dara, kau begitu jelita. Kenapa aku jatuh cinta =========================================================== Lanjutannya di link ini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/06/05/sepenggal-kisah-cinta-dari-nagoya-15/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun