EJIP. Kamis. Pukul satu siang itu.
Semburat matahari begitu menyengat. Suhu panas siang itu seakan tak tercatat pada kulit dan keringat. Kita hanya bisa mengingat, cuaca di musim hujan kadang bisa berkhianat. Tidak lagi menyejukkan. Bahkan seakan menghangatkan konflik perburuhan di berbagai kawasan yang makin bertambah panas saja.
Aktivitas pabrik di kawasan berhenti total di siang itu. Tak boleh ada kerja. Tak boleh ada mesin yang bergerak. Masa ramai berteriak. Iring-iringan kendaraan yang berarak-arak. Katanya mereka menuntut upah yang layak. Ada orang yang menggertak, “ Hentikan kerja. Tutup kawasan sekarang juga!” Berduyun-duyun massa berjalan dan berkendaraan menuju perempatan Lipo Cikarang. Ada yang rela, ada juga yang dipaksa dan terpaksa. Ada yang disweeping, ada yang digiring. Ada yang menggiring.
Perempatan Lippo Cikarang tumpah oleh lautan manusia. Riuh oleh gemuruh para buruh. Lalu lintas macet total. Kendaraan di jalan panjang mengular. Orang di pasar gusar. Supir angkot mengeluh, hari itu pasti setoran takkan bisa dikejar.
Menjelang asar tersiar kabar sudah ada kesepakatan antar wakil buruh dan pengusaha. Masa pun sedikit demi sedikit akhirnya bubar. Tapi suasana di kawasan industri sore itu sudah berubah jadi pasar. Kerja jadi lacur di hari itu. Sorepun tak ada lembur. Bahkan kerja malam dan esok paginya banyak pabrik yang akhirnya libur.
Saya jadi mengerti kenapa penguasa bisa takut pada masa, dan presiden pun bisa takut sama mahasiswa. Mungkin itu jugalah kenapa pemerintah menganjurkan rakyatnya cukup punya anak dua saja. Pemerintah juga rupanya takut sama masa yang banyak. Karena masa yang banyak bisa menjadi raja. Khalayak banyak bisa mengertak, membuat kata sepakat berbagai pihak. Inspirasi untuk anak isteri, ide bahagia untuk keluarga tercinta. Banyak anak banyak rezeki. Isi petuah nenek moyang kita itu kebenarannya tak perlu diragukan lagi.
Saya pulang menuju rumah, inspirasi dan isi teori itu saya kemukakan pada isteri.
“Ma, sepertinya dua anak itu masih kurang. Belum cukup. Banyak anak banyak rezeki. Sepertinya kita harus sering kerja lembur. Banyak anak bisa ramai dan enak, Ma!”
Isteri saya diam saja. Tak ada jawaban. Hanya cemberut. Tak ada kemelut. Tapi tak ada lembur juga di malam itu. Semalaman jadi penganggur. Dengan dua anak saja rupanya saya harus bersyukur. Rupanya memang mogok kerja itu mesti datang dari mitra kerja kita. Di pabrik atau juga di rumah.
Hari Kamis yang tidak manis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H