Mohon tunggu...
Indra Malela
Indra Malela Mohon Tunggu... -

Pegawai Swasta tinggal di Cikarang, Hobi membaca; menulis untuk iseng saja.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepenggal Kisah Cinta dari Nagoya 1.2

4 Juni 2011   03:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gayung Bersambut dari Seorang Ai

by Indra Malela Desember. Malam bertambah panjang di musim dingin. Mentari lembam di peluk selimut malam. Pagi yang dingin dan berkabut. Foggy Winter Morning Tapi bagi orang  kasmaran dan masih membujang tak perlu banyak tidur. Harus bangkit lebih dulu dari matahari. Jam 6 pagi. Masih remang-remang. Saya sudah mandi dan rapi. Rencana baru di hari itu harus saya persiapkan secara matang.  Jangan risih disebut Bujang Lapuk. Tak peduli lahir dari daerah Cirebon pinggiran. Girinata- Palimanan: di mana itu? Suatu tempat yang tak pernah muncul di peta.  Jangan peduli dengan asal-usulmu, kawan. Kalau kau mau maju.  Orang boleh usil, tapi obsesi harus tetap tinggi. Aktivitas adalah rutinitas seperti biasanya. Pagi pergi ke Toyota untuk mengajar bahasa Indonesia. Siang sampai malam kuliah. Gelar S2 sedang saya kejar. Biasanya sampai jam sembilan bahkan jam 12 malam di lab penelitian. Tapi gairah saya di hari itu benar-benar luar biasa. Gairah ingin cepat pulang ke rumah. Jam 6 lewat saya kebut sepedaku menuju rumah kontrakan cepat-cepat. Sepetak tempat dengan tempat tidur 6 tatami. Ada dapur kecil dan kamar mandi di dalamnya.  Kamar standar untuk bujangan seperti saya ini. Jam delapan. Sudah mandi dan makan malam. Kamar juga sudah bersih dan rapih. Tapi jantung masih berdebar. Nadi berdenyut kencang. Nervous sendiri di kamar kontrakan. Sendirian! Gila ada apaan ini. Kalau memang saya penderita jantungan mungkin saja saya bisa  mati karena kasmaran. Membujang dan membugang, mati tak ketahuan di kamar kontrakan. Betul-betul memalukan. Mati seperti ini, -- mati kasmaran karena  wanita, mati kejang terobsesi oleh kecantikan artis Yuko Natori--, termasuk kematian terkutuk. Sama dengan kematian anggota dewan di tempat pelacuran. Kematian tidak terhormat dan menghinakan.  Kualat dan sungguh laknat! Di dunia membujang, di akhirat nanti, api neraka memanggang badan. Sungguh mengerikan! Ada rasa  takut yang menyulut. Cepat-cepat nama Gusti Ilahi saya sebut berkali-kali. Nadi agak sedikit tenang berdenyut. Jantung  berusaha kembali untuk memompa darahku dalam ritme semula. Berdetak sedikit pelan. Berirama yang normal dan wajar bagi seorang bujang lapuk yang belum punya pacar. Keadaan  segera kukuasai. Tak peduli ini kamar sendiri.  Medan tempur ini harus segera kutaklukan. Mata saya berbinar melihat pesawat telepon itu. Senjata satu-satunya untuk melancarkan serangan. Memberondongnya dengan kata-kata, dengan kalimat-kalimat keramat untuk promosikan diri. Agar dia  mengerti bahwa aku ini lelaki. Dan perempuan di seberang sana dengan paras mirip Yuko Natori, tolong segera angkat pesawat teleponmu juga saat ini. Karena kini aku bukan lelaki yang tanpa nyali lagi. Kupijat tombol nomornya.  Hati berdebar menunggu suara jawab dari sana. “Halo, moshi-moshi. Ini Malela. Ada Ai-san di sana.” Saya memberanikan diri buka bicara. “Ya, saya sendiri. Hai, terima kasih sudah mau menelepon, malam hari begini.” Jawabnya dengan suara jelas dan bersih. “Sudah mau tidur, ya.” Sambungku. “Masa tidur jam delapan begini? Di Jepang cuma  bayi yang sudah bobo di sore hari gini, ya.” Dia menempali sambil ketawa geli. “Kalu begitu kebetulan, dong?” saya tak mau kalah sambil tertawa renyah. “Kebetulan apa?” “Kebetulan boleh ngobrol lebih lama dengan saya, tidak berkeberatan bukan?” “Tentu saya tidak keberatan. Yang berat juga situ bayar pulsanya nanti, neh.” Aha! Tak setakut yang kubayangkan. Tak seseram yang kupikirkan. Semuanya baik-baik saja.  Dia bahkan sepertinya menyambut. Gayung bisa lebih lama bergayut. Saya berlama-lama bicara malam itu. Cukup lama. Tanpa tema.  Tentu tanpa tema. Ini bukan diskusi ilmiah. Berbagi suara saja. Dengan seorang perempuan yang bicaranya pelan dan sopan.  Ketawa. Ketiwi. Ke sana ke mari.  Dengan seorang wanita yang wajahnya –sekali lagi- mirip artis Yuko Natori. Banyak informasi yang bisa kugali. Dia, Aiko itu, suka sekali kupanggil Ai. Ai itu artinya cinta, kawan. Masa bahasa Jepang yang ginian aja kau tidak tahu. Udik sekali kamu itu! Si Ai itu ternyata sudah bekerja. Aku bayangkan kalau dia pakai busana kerja, mungkin seperti wanita-wanita Jepang lainnya. Putih dan seksi. Seperti artis Yuko Natori ini. Kisah berikutnya baca link di bawah ini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/06/04/sepenggal-kisah-cinta-dari-nagoya-13/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun