Menjelang pileg maupun pilpres, setiap pelaku kepentingan baik itu caleg ataupun pasangan calon (paslon) mulai mengatur strategi agar bisa mencapai suara maksimal. Salah satunya membidik kalangan anak muda yang dianggap potensial.Â
Mengutip data KPU, sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih pada Pemilu 2024 dari generasi milenial. Artinya seperti sepertiga dari kalangan pemilih berasal dari generasi milenial.Â
Sedangkan pemilih dari generasi Z sebesar 46.800.161 pemilih atau sekitar 22,85% dari total DPT Pemilu 2024 (Sumber klik dis ini). Wajar jika paslon dan caleg berlomba-lomba menarik perhatian para pemilih muda ataupun pemilih pemula.Â
Teringatlah saya dengan kenangan di Pemilu 2014. Jujur saja tahun 2014 menjadi momen pertama kali saya menggunakan hak suara. Meskipun saya berkesempatan memilih di Pemilu 2009 ataupun pilkada namun saya lebih memilih menjadi golput. Bukan hal baik dan ditiru namun ada alasan khusus karena saya belum merasa klik dengan kandidat.Â
Pilpres 2014 yang mempertemukan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla membangkitkan gairah saya untuk menggunakan hak suara. Entah mengapa saat itu ada yang menggetarkan saya bahwa saya harus menggunakan hak pilih agar jagoan saya bisa jadi pemenang.Â
Ternyata teman-teman saya pun melakukan hal sama untuk memenangkan jagoannya. Mereka berupaya menggunakan hak suara pada Pilpres 2014. Saya ingat dengan dua teman yang notabane-nya mahasiswa pendatang bolak-balik ke kantor KPU dan kantor desa untuk mengurus ijin menggunakan hak pilih.Â
Teman saya bilang, pemilih muda justru memegang peranan penting. Meski suara anak muda masih disepelekan, yakin jika suara disatukan maka bisa mengubah peta politik.Â
Sedikit menerka, mengapa teman memiliki penilaian tersebut. Secara sederhana menangkap beberapa alasan mendasar.Â
# Pemilih Muda Memilih dengan Analisis