Kondisi inilah yang membuat masyarakat setempat sangat menyucikan area Gunung Agung. Namun justru berbanding terbalik dengan ulah oknum pendaki.Â
Kerap ditemukan pendaki yang membawa minuman keras saat mendaki Gunung Agung, mengeluarkan kata tidak sopan, berteriak, merusak tanaman hingga berbuat mesum di gunung.
Mengingat gunung menjadi tempat sakral di Bali sehingga kerap menemukan sesajen persembahyangan yang berisi makanan, minuman, bunga, dupa serta uang untuk persembahyangan.Â
Saya pernah melihat video yang memperlihatkan tingkah pendaki yang mengacak-acak sesajen, mengambil makanan dan uang yang dihanturkan dalam sesajen.Â
Melihat tingkah pendaki melalui video saja sudah bikin kesal. Seakan tidak menghargai tradisi dan kepercayaan masyarakat lokal. Padahal sudah ada pepatah di mana bumi di pijak maka disitu langit dijunjung. Sayang pendaki yang berasal dari wisatawan justru bersikap yang melukai masyarakat lokal.Â
Patut disadari juga aksi wisatawan yang viral karena perbuatan tidak senonoh di beberapa gunung di Bali membuat kawasan menjadi kotor. Alhasil perlu dilakukan upacara pembersihan yang tidak hanya mengeluarkan dana besar namun juga menyita waktu dan tenaga.Â
Ini menjadi alasan mengapa perangkat desa banyak yang setuju terhadap larangan ini. Tujuan mengembalikan lagi kesucian gunung sebagai tempat sakral serta menjaga keasrian ekosistem di gunung.Â
Kontra Larangan Pendakian
Tidak sedikit juga yang menyayangkan wacana ini. Beragam kekhawatiran muncul seperti menghambat pemulihan wisata, mengganggu ekonomi masyarakat lokal, serta tidak berpihak pada para pecinta pendakian gunung.Â
Kita tahu bahwa Bali saat ini masih tahap pemulihan paska pandemi. Tentu butuh kebijakan yang mampu menarik wisatawan nusantara dan asing untuk datang ke Bali. Larangan ini bisa saja membuat jumlah kunjungan tidak bertumbuh positif.Â