Duh pengen deh tinggal di Bali. Ketemu sama bule, pacaran trus nikah. Pasti hidup sejahtera.
Sempat ada teman cewek melontarkan harapan ini. Baginya salah satu cara hidup sejahtera adalah menikah dengan bule dan untuk itu ia harus tinggal atau merantau di Bali.Â
Tidak semudah itu Ceu Onah (sebutan akrab di tongkrongan). Stereotype yang bikin saya geleng-geleng kepala.Â
Sebenarnya wajar ada masyarakat menilai WNA alias bule itu tajir. Toh harga tiket pesawat dari negaranya pasti mahal. Gak cuma itu biaya hidup di Bali pun tidak bisa dibilang murah.Â
Selain itu kita kerap menemukan Top Management di perusahaan swasta diisi oleh ekspatriat alias bule. Sehingga semakin mengukuhkan bahwa bule itu hidup sejahtera.Â
Percaya atau tidak, saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri ada bule yang memesan nasi dengan menu sayur dan tempe di Warteg (Warung Tegal) di Bali. Bahkan warung makan langganan saya di Denpasar sering dikunjungi bule.Â
Padahal setahu saya nasi bukanlah sumber karbohidrat utama yang mereka makan di negara asalnya. Selain itu masakan Indonesia khususnya Bali kaya akan rempah-rempah dan pedas. Tidak jarang Bule tidak terlalu suka dengan makanan kaya rempah-rempah apalgi pedas.Â
Disisi lain bule khususnya dari negara maju sangat memperhatikan higienitas. Ini karena mereka mudah terserang penyakit seperti diare jika makan makanan yang tidak higienis.Â
Warung yang saya jumpai berada di pinggir jalan dan desainnya seperti warung makan pada umumnya. Saya pun tidak bisa mengatakan warung ini 100 persen menerapkan personal hygiene.Â