Bulan Ramadhan memberikan banyak kisah terkait toleransi, seperti sepenggal kisah yang saya alami.Â
Berkantor di Bali, sudah bisa ditebak jumlah staf muslim di kantor bisa dihitung jari. Setidaknya ada 5 orang beragama Muslim diantara puluhan staf di kantor.Â
Salah satunya Ibu Retno, Plant Manager yang disegani di kantor. Usianya memang sudah masuk setengah abad tidak heran jika semua staf mengganggap dirinya sosok ibu di kantor.
Saya mengenal beliau sejak masih penempatan di Bogor. Pengalaman beliau sebagai Plant Manager serta dalam mengurus dokumen maupun legalitas seperti ISO, SNI, Document Control hingga internal audit tentu sering dilibatkan saat ada kegiatan sertifikasi maupun audit eksternal.Â
Ada sisi positif yang saya rasakan saat Bu Retno berpuasa di tengah lingkungan kantor yang mayoritas Hindu di Bali.Â
Seperti biasa, ketika tiba di kantor. Saya melihat setiap meja tersedia 1 bungkus roti. Kami sudah paham roti ini dari siapa, tentuBu Retno sang Plant Manager.Â
Hobi beliau di bidang pastry membuat dirinya suka membuat cemilan roti dan diberikan kepada staf sebagai menu sarapan.Â
"Bu retno kan sedang berpuasa. Apa tidak merepotkan harus membuatkan roti untuk staf? " Pertanyaan yang sempat saya lontarkan saat di awal puasa.Â
Pemikiran sederhana karena saya sadar Bu Retno disaat berpuasa pasti sudah lelah harus seharian bekerja. Menyiapkan menu berbuka dan sahur untuk keluarga kini masih menyiapkan roti untuk staf kantor.
"Jika pekerjaan dilakukan dengan senang hati. Tidak ada rasa capek, Pak Indra"
Sebuah jawaban yang begitu kuat dan membekas dalam ingat saya. Bagi beliau membuat pastry itu hobi dan ada rasa senang jika melihat staf menikmati roti bikinannya di pagi hari. Rasa lelah akan terbayar dengan kesenangan hati.Â
Ini menguatkan pandangan saya bahwa sebenarnya berpuasa bukan lah masa mengurangi aktivitas. Dengan niat kuat, orang yang berpuasa akan bisa melakukan aktivitas rutin tanpa harus takut lelah dan batal.Â