Beberapa hari ini adik saya memposting curhatan hati yang terasa menumpuk. Kerjaan ini bahkan harus dikerjakan di kosan di luar jam kerja. Bahkan ia memberikan caption yang seakan tengah lelah secara fisik dan pikiran terkait kerjaan.Â
Ini mengingatkan saya saat dulu baru diangkat sebagai asisten manager distribusi. Adanya perawatan armada secara besar-besaran membuat saya harus bekerja ekstra keras.Â
Berangkat subuh karena juga harus memantau pengiriman setelah itu fokus dalam pemantauan perawatan armada yang tengah rusak dan jumlahnya hingga puluhan.Â
Pulang kerja selama 3 bulan selalu malam hari, artinya saya kerja lebih dari 12 jam. Tidak hanya itu, selama 2 bulan tidak merasakan hari libur. Saat hari minggu dan tanggal merah harus tetap kerja untuk mengejar target yang diberikan perusahaan.Â
Memang saya mendapatkan uang lembur dan fasilitas, namun selama 2 bulan tidak ada libur dan kerja di atas 12 jam, membuat saya merasa lelah. Bahkan pernah saya tertidur di mushola karena terlalu lelah.Â
Ternyata nasib ini banyak terjadi di sekitar kita. Ada karyawan yang merasa tugasnya tidak ada habis-habisnya hingga tekanan tinggi di kantor.Â
Ingin mengeluh bingung harus kepada siapa. Ingin resign, belum dapat kerjaan baru. Apalagi di masa pandemi ini mencari kerjaan baru terasa susah. Alhasil dibetah-betahin kerja meski hati ingin berteriak, "Bos, aku lelah".
Mungkin tulisan saya ini bisa sedikit membantu bagi Sobat Kompasiana yang bingung harus bagaimana menghadapi situasi seperti ini.Â
1. Sindir Halus