Borobudur telah menjadi bukti bahwa nenek moyang kita adalah arsitektur unggul yang mampu menciptakan bangunan candi megah yang bisa dinikmati hingga saat ini.Â
Dibangun pada masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-8 Masehi oleh Wangsa Syailendra. Bangunan Candi Borobudur sejatinya tidak hanya sebagai sebagai tempat persembahyangan bagi umat Buddha namun juga media peradaban masyarakat nusantara dan dunia melalui musik di masa lalu.Â
Ini dibuktikan dengan munculnya berbagai relief orang memainkan alat musik yang banyak bukan berasal dari tanah Jawa yang notabane-nya lokasi dari Mataram Kuno. Tentu ini menjadi tanda bahwa ada momen spesial dimana musik dari berbagai belahan dunia bisa diperkenalkan dalam peradaban Mataram Kuno dan diabadikan dalam relief Borobudur.Â
Menguntip dari artikel Kompasiana, pengunjung dapat menemukan lebih dari 200 relief yang memperlihatkan 60 jenis alat musik yang terpahat indah di Candi Borobudur. Alat musik tersebut ternyata berasal tidak hanya dari berbagai wilayah di Nusantara namun juga berbagai negara di dunia (sumber klik disini).Â
Sangka menjadi salah satu alat musik yang berhasil direpresentasikan pada relief Borobudur. Jika Sobat Kompasiana pernah menonton film Mahabharata dimana ada momen pasukan meniup alat tiup dari kerang sebagai tanda persiapan perang. Alat tiup itulah yang dikenal dengan Sangka.Â
Sangka termasuk sebagai aerophone yang dibunyikan dengan cara ditiup. Di berbagai daerah alat tiup ini lebih dikenal sebagai Sangkakala karena mengandung arti Sangka sebagai Cangkang Kerang dan Kala sebagai Penanda Waktu.Â
Dalam ajaran Islam pun, Sangkakala menjadi alat yang akan ditiupkan oleh Malaikat Israfil pada hari kiamat. Tiupan sangkakala pertama sebagai penanda datangnya hari kiamat sedangkan tiupan Sangkakala kedua merupakan tiupan untuk hari kebangkitan.
Alat tiup Sangka nyatanya telah dikenal luas dan menjadi budaya bagi masyarakat di India, Nepal, Negara di Afrika, Kawasan Timur Tengah hingga berbagai negara di Eropa. Khusus di Indonesia, alat tiup Sangka telah menjadi budaya dari masyarakat di Minahasa, Halmahera, Pulau Seram dan Kepulauan Kei (sumber klik disini).Â
Merunjuk pada penyebarannya ternyata alat musik ini yang tidak berasal dari masyarakat Mataram Kuno maka lumrah muncul.pertanyaan sederhana dalam diri kita.Â
Bagaimana alat musik dari daerah lain justru bisa ditampilkan sebagai bagian dari karya relief Borobudur?Â