Tahun 1984 dapat dianggap sebagai masa kejayaan pertanian Indonesia. Terbukti keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produktivitas pertanian dimana tahun 1984 produktivitas beras tanah air mampu surplus 2 ton dari kebutuhan beras nasional saat itu. Bahkan dengan adanya surplus tersebut, Indonesia turut menyumbang 100.000 ton beras untuk masyarakat Eropa yang tengah berada pada krisis pangan (Sumber berita klik disini).Â
Hal yang patut diapresiasi adalah tingkat kesejahteraan petani pun ikut terangkat dan menjadi salah satu keberhasilan pada masa pemerintahan Soeharto.
Seiring berjalannya waktu, kejayaan pertanian Indonesia kian menyusut terlihat dimana pemerintah mulai mengimpor kebutuhan pangan seperti beras, jagung, sayuran, umbi-umbian hingga hasil pertanian lainnya dari negara lain.Â
Mengutip dari salah satu artikel pada berita online Kompas, 3 April 2018 dijelaskan bahwa sebanyak 19,4 juta masyarakat Indonesia justru tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dirinya sendiri (Berita detail klik disini). Fenomena ini tentu menjadi sebuah keprihatinan dimana dari sebuah negara swasembada berubah menjadi krisis pangan.
Tidak heran ketika ada isu krisis pangan di Indonesia, Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menaungi logistik nasional juga melakukan import beras dari Thailand.
Apa yang menjadi tantangan pemerintah khususnya Kementerian Pertanian untuk mengembalikan kejayaan pertanian Indonesia agar mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional tanpa harus tergantung dari negara lain. Berkaca pada kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia untuk lingkup pertanian yang melimpah seharusnya hal tersebut bukanlah hal mustahil untuk diciptakan.
Saya melihat bahwa ada 4 (empat) hal yang menjadi tantangan terbesar dalam pertanian Indonesia.
Pertama, generasi muda mulai enggan untuk menjadikan sektor pertanian sebagai tumpuan hidup mereka kedepannya. Ini terlihat ketika generasi muda khususnya di pedesaan mengganggap bahwa bekerja sebagai petani bukanlah status sosial yang prestige.Â
Terlihat kini pemuda desa mulai berpindah ke kota untuk mencoba peruntungannya untuk merubah nasib. Bukan rahasia umum jika pendapatan sebagai petani memang tidak menentu dan tergantung dari hasil pertanian.Â
Mayoritas petani di Indonesia bahkan tidak memiliki lahan sehingga menggantungkan diri sebagai buruh tani. Ketika masa panen, mereka akan mendapatkan hasil jerih payahnya namun ketika masa paceklik ataupun bukan masa tanam maka petani hanya mengandalkan hidup dari apa yang dimiliki saat ini.