Usai sembahyang subuh, Nurdin segera membenahi perlengkapannya untuk pergi ke ladang. Bukankah sebaiknya ke ladang sebelum matahari terbangun, karena cuaca dingin amat berguna agar keringat tak cepat bersembulan. Cuaca dingin mempersulit lelah berdatangan. Kemalasan akan menyelimuti, manakala hendak meladang sedangkan sinar matahari telah telanjang.
Celepak…!Celepuk...!Celepak…!Celepuk…! Bunyi cangkul Nurdin menggasak tanahnya ketika matahari belum terjaga dan dingin masih menyelimuti suasana. Ayunan paculnya seperti menganak irama. Bergerak ke atas mengambil ancang-ancang seiring tubuh yang tegak, turun ke bawah menghantam tanah sementara tubuh agak merendah. Demikian seterusnya saat ia membajak sawah.
Di Timur matahari belum unjuk rasa namun keringat Nurdin mulai unjuk muka. Tabligh akbar semalam di kampung seberang, yang diadakan Forum Pemuda Islam dengan penceramah Ustad Nasbi, ustad terkondang di Kabupatennya, melekat hebat di pikiran dan sanubari Nurdin. Meski otot tubuh terbetot tiap kali mengayun cangkul, tetapi otaknya melekat pada potongan ceramah Ustad Nasbi semalam.
Hati manusia laksana akar pohon. Jika pohon berakar lemah, batangnya akan hengkang ketika angin kuat datang. Sebaliknya, jika gagah, takkan terjengkang ketika sehebat apapun angin menerjang. Demikian hati manusia, jika manusia berhati lemah, akan hengkang saat cobaan datang. Sebaliknya, jika gagah, takkan terjengkang tatkala sehebat apapun cobaan menerjang. Akar merupakan penentu utama sebatang pohon untuk mendapatkan batang, cabang, ranting, daun, sehingga menghasilkan buah yang berkualitas ataukah tidak. Sebagaimana hati merupakan penentu utama perilaku manusia dalam ibadah, hubungan kemasyarakatan, perniagaan, sehingga memiliki akhlak yang mulia ataukah hina. Untuk itu, lanjut Ustad Nasbi, agar hati perkasa hingga dapat membuahkan akhlak mulia, diperlukan usaha untuk memperbaikinya, layaknya usaha memperbaiki akar pohon agar perkasa sehingga menghasilkan buah yang berguna.
Demikian hati Nurdin menculik ceramah itu. Selain ceramah kurang menarik akibat sepi riuh tawa pendengarnya, tidak menyimak keseluruhan karena lelah dan kantuk menyerangnya, juga terlalu serius dan membuat otaknya mampus karena bahasa kiasnya tak mampu digerus. Daya serapnya hanya mampu bertahan beberapa detik untuk menangkap hal-hal utama.
Ia tak pernah melatih otaknya untuk berpikir dan mengingat sesuatu, tetapi lebih mengutamakan otot guna mengurusi sawah dan ladangnya. Kalaupun otaknya terlatih, sekedar menghitung uang ketika menjual hasil panen pada tengkulak dengan harga murah, atau saat membeli pupuk dan racun hama tanaman di toko dengan harga yang tidak rendah. Itupun kalau menemukan tengkulak dan pedagang keperluan pertanian yang jujur. Tapi mana ada sih pedagang mau rugi. Bukankah prinsip mereka ‘beli dengan harga semurah mungkin, jual dengan harga setinggi mungkin, meski harus “menipu”’.
Kendati daya ingatnya minim, persamaan hati dan akar yang dijelaskan Ustad Nasbi menusuk dalam menghantui pikirannya. Iapun tak kuasa menyangkal, kalau pohon memiliki akar buruk, maka batang, cabang, ranting, daun, dan buahnya pasti buruk. Apabila manusia berhati buruk, maka ibadah, hubungan kemasyarakatan, perniagaan, dan akhlaknyapun buruk. Pun sebaliknya.
Tiba-tiba Nurdin teringat penggalan ceramah lainnya sementara cangkul terus menghujani tanah, manusia-manusia berhati buruk itu disebabkan penyakit hati yang mereka derita. Penyakitnya adalah cinta harta, tahta, dan wanita. Atau juga akibat pancasila yang tidak lagi sebagai pedoman hidupnya, melainkan cuma simbol belaka. Pancasila yang terpatri di hati bukanlah sebenar-benarnya pancasila, melainkan pancasila yang berubah: Keuangan yang Maha Esa; Kebinatangan Yang Batil dan Biadab; Perceraian Indonesia; Kepemimpinan Yang Dipimpin oleh Hasrat Kezoliman dalam Permusyawaratan Perwakilan; Kebatilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Beberapa hal ini tak bisa disangkal nyaris menggerogoti seluruh hati manusia negeri ini.
Akibatnya, hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa kaya dia berkuasa, siapa miskin dia terlampin. Yang kaya kebal hukum, dan yang miskin termakan hukum. Atau menurut orang tuanya, “Haram di kitab, halal dikecap. Haram di hukum, halal di kulum. Dan haram di surat, halal dijilat.” Pancasila hanya dasar negara, dan tidak menjadi dasar manusia penghuninya.
Jadi muncullah sikap memaklumi tentang keadaan yang terjadi di negeri kini. Acara di televisi sering menyuguhkan bagaimana manusia-manusia berhati buruk, telah membuahkan akhlak hina pada segala tindak-tanduk. Sehingga mengundang amarah jagad raya atas perintah Sang Maha Kuasa. Banjir, tanah longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, abrasi, dan dan malapetaka lainnya, tidak sedikitpun dijadikan peringatan oleh semua insan untuk mengoreksi diri. Hal itu karena hati telah buta, tak kuasa menerka segala peristiwa yang melanda.
Lalu bagaimana agar hati manusia bisa sebagus akar pohon, hingga memiliki batang, cabang, ranting, daun, dan buah perbuatan manusia yang dapat menghentikan amarah Penguasa Alam? Inilah penggelanyut pikiran Nurdin. Bentuk hati manusia saja ia belum tahu. Setahunya, hati hanya berbentuk sebagaimana logo cinta. Kalau soal akar pepohonan, pikirnya, jelas dia faham. Tapi bagaimana soal hati manusia? Misteri. Kemisterian yang tanpa disadari, matahari telah membuat angin jadi bisu. Pikiran kalutnya membuat otot-ototnya jadi kaku. Dan ia terpaksa mengikuti semerawut otaknya dan menghentikan perilaku jasad saat itu.
Nurdin mengusap keringat membuncah. Mendekati dangaunya yang berdampingan dengan pohon mangga berdiri gagah. Sebelum duduk di bawah pohon mangga, ia menaruh cangkulnya yang penuh tanah. Mengulang mengusap peluh. Menghembuskan nafas mengharap lelahnya punah.
Nurdin mendongak, menatap buah mangga yang berjuntaian di ranting-rantingnya. Aneh, bisiknya, mengapa pula ia jadi peduli dengan hati manusia sementara manusia-manusia tidak peduli padanya? Mungkinkah dengan mengolah hati-hati manusia bisa mendatangkan manfaat padanya? Sedangkan hasil ladang dan sawah, sedikit sekali membantunya mengarungi dunia yang terus mencacah?
Ia menundukkan kepala. Mencoba menepis kemisterian di pikirannya. Namun sia-sia. Terus menggerogoti sukma. Membuat seluruh tubuhnya berat untuk meneruskan rutinitasnya.
Geletupp…! Buah mangga tergeletak di hadapannya usai bergulingan. Ia bersyukur, buah tersebut tidak jatuh tepat di kepala. Ia memungutnya. Bangkit, mendekati beronang* di pondoknya. Mengambil pisau.
***
“Percaya tidak percaya kita harus mencoba dulu,” ujar Musa memecah keheningan setelah mereka berembuk beberapa saat lalu. Mencoba memecahkan misteri-misteri dialami Nurdin. Misteri antara hati manusia dan akar pohon. Selanjutnya, buah mangga yang didapat di ladangnya, berisi tulisan, jika ingin membajak hati manusia, makanlah aku, cari dua orang lagi yang mau kau ajak. Nanti aku akan memberi kalian kekuatan untuk membajak hati seluruh manusia, supaya mereka membuahkan akhlak mulia pada kehidupan bernegaranya. “Tidak salahnya kita mencobanya,” lanjut Musa.
Harun memegang keningnya yang berkerut. Bingung. Mencerna buah mangga yang seolah memahami kekalutan pikiran Nurdin dan memberikan jalan keluarnya. Mereka bertiga sepakat memakan mangga itu untuk membuktikan kebenarannya.
“Bismillahirrahmanirrahiim,” ucap mereka sebelum memasukkan mangga ke dalam mulut masing-masing. Mengunyah perlahan-lahan. Berbeda rasa ketimbang mangga lain. Tidak asam maupun manis, tetapi pahitnya bukan main. Hampir mereka memuntahkannya, namun urung karena perjalanan baru dibikin.
Seluruh tubuh mereka seketika mendidih. Menggelegak. Gemetar bercampur keringat bercucuran. Geram dengan tubuh terus bertambah merah. Saling pandang satu dan lainnya sebelum urat-urat membesar dan mengencang. Lantas terjatuh karena tak kuat menahan perubahan. Tubuh kejang-kejang. Mulut mengeluarkan buih berkejaran.
Mereka kembali seperti sediakala setelah beberapa saat berselang. Perubahan besar dalam tubuh masing-masing. Semangat tersulut untuk mengoperasi atau membajak seluruh hati manusia. Memaculi layaknya sebuah tanah, yang kemudian akan disemaikan benih baru seusai mengikis habis penyakit-penyakit hati seluruh manusia.
“Siapkan seluruh perlengkapan kita!” perintah Musa dengan perkasa. Semangatnya paling membara. Keciutan terhadap segala sesuatu dalam diri mereka sirna. Perlengkapan disiapkan. Dimasukkan dalam beronang masing-masing. Golok, pisau, arit, pupuk, dan racun hama. Tak lupa air minum. Cangkul mereka tinggalkan sebab hati tak selebar tanah mereka yang bisa dipacul semaunya.
“Tunggu!” tahan Nurdin. Dua rekannya berhenti. Menatap Nurdin. “Sebaiknya kita hentikan terlebih dahulu segala aktivitas manusia. Karena kita hanya bertiga, bagaimana kalau kita berbagi kerja?”
“Boleh juga,” Harun menanggapi, “Aku siap bertugas di mana saja.”
“Oya,” sergah Musa, “Supaya pekerjaan kita cepat tuntas, usai satu orang kita operasi hatinya, kita mintai bantuannya untuk mengolah hati yang lainnya.”
Keduanya mengangguk. Tugas dibagi rata, Nurdin menangani penyakit harta, Harun menangani penyakit tahta, dan Musa menangani penyakit wanita. Perkara pancasila yang berubah, diemban bersama.
“Tunggu!” tahan Nurdin ketika mereka hendak mulai bekerja, “Kita shalat hajat dulu.”
Mereka menuruti usulan. Ketiganya mengambil air sembahyang. Membentangkan sajadah yang sedari tadi berada di beronang. Mengangkat tangan menghadap Penguasa Alam. Selanjutnya, memohon kekuatan sekaligus meminta segala aktivitas manusia di dunia dihentikan.
Detak jantung dan rutinitas manusia berhenti, tanpa mengganggu rutinitas makhluk lainnya di bumi. Semua manusia mematung, kecuali mereka bertiga yang doa dan usaha direstui. Tuhan memberikan segala kebutuhan yang mereka kehendaki. Cukup melafalkan dalam hati, apa yang dibutuhkan pasti terperi. Seluruh penghuni jagad raya tak ada yang menghalangi pekerjaan mulia ini.
Sasaran pertama adalah rakyat besar di pusat negara. Menurut mereka bertiga, rakyat besar itulah cermin perbuatan rakyat kecil di desa-desa. Jika mereka memberi contoh tidak layak, rakyat pasti mengikuti. Dengan mengolah hati-hati rakyat besar, mereka bertiga berharap, melalui anak-anak buahnya, pekerjaan ini cepat tuntas.
Saat bekerja, mereka bingung dengan tugas yang telah dibagi rata karena mata mereka masih seperti biasa, tak bisa melihat penyakit di hati yang masih terbungkus tubuhnya. Karena bingung, mereka menyamaratakan tugasnya.
Jelebeeesss…! Tubuh presiden terbelah tanpa darah. Musa mengeluarkan hatinya. Kaca pembesar membantu mereka melihat penyakit apa diderita. Penyakit Harta, Tahta, dan Wanita? Singggh… Singggh…Singgh…! Dikikisnya dengan pisau. Pancasila yang berubah? Craakk… Creekk… Craakk… Creekk… Jessst…! Pancasila kembali layaknya sediakala. Kemudian, Musa menebar benih baru dan langsung diluluri pupuk, Craapp…! Secepat kilat benih baru tumbuh segar-bugar. Lantas, Zep… Zeepp… Zzeeeppp…! Tubuh mereka kembali seperti semula.
“Pak Presiden bantu kami ya!” perintah Musa seraya menepuk bahu presiden usai operasi nuraninya. “Bapak bantu kami membelah tubuh-tubuh anak buah Bapak dan mengoperasi hatinya.”
“Tapi saya tidak punya alat?” tanya presiden keheranan. Namun tiba-tiba sebuah beronang lengkap isi, muncul di punggungnya.
“Itu alatnya. Silahkan jalankan tugas Bapak!”
“Siap komandan!” jawab presiden, memberi hormat.
“Jangan begitu…” seloroh Musa. Memegang tangan presiden. Menurunkannya. “Kita sekarang sama, mengemban tugas mulia. Bantu kami segera. Dan jangan lupa, tiap operasi nuraninya selesai, perintahkan untuk melanjutkan misi kita.”
Mereka bekerja, bekerja, dan bekerja. Menemui insan-insan penghuni negara dengan beronang tersandang dipunggungnya guna mengoperasi nuraninya. Para pengoperasi, berharap penuh agar nurani-nurani manusia jadi gagah dan membuahkan akhlak mulia di negerinya.***
Merigi, Kepahiang, 29 April 2006
* Penulis adalah peminat sastra tinggal di ujung Kepahiang, Bengkulu.
* Beronang: seperti bakul besar yang biasa disandang penduduk ketika hendak ke ladang. Biasa berisi makanan, minuman, golok, pisau, atau kalau muat, cangkul.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI