Cerita Pendek
Oleh: Muhammad Indra
Gelak ketiga hakim berpakaian serba hitam layaknya pendekar besar memecah ruangan sidang. Sengatan matahari yang menyelinap melalui pentilasi ruangan tak terbantahkan terusir oleh tawa mereka. Para penonton ikut-ikutan. Termasuk jaksa penuntut umum. Bajunya seperti tirai ditiup angin akibat digoyang perut gendutnya.Beni hanya menelan senyum. Menatap satu persatu para penegak keadilan di ruang keputusan hukuman tersebut. Hakim yang berada di kiri hakim ketua adalah wanita yang masih belia. Gerakan jakunnya yang sedari tadi tidak terlihat saat angkat bicara membacakan pasal ini-itu, seketika bergerak naik-turun layaknya air aqua yang dikocok.
Sadar jika hakim wanita diperhatikan terdakwa, tak lama ia perlahan menyurutkan tawanya sembari munutup mulut dengan tisu dan mengusap keringat kecil bersembulan di kening. Badannya masih kejang-kejang pelan menahan sisa letupan kecil tawanya.
Pandangan beni beralih ke hakim tengah. Hitam legam besar dan semakin pekat hitamnya dengan seragam kebesaran yang dikenakannya. Mirip genderuwo, pikirnya. Bagaimana pula orang seperti ini bisa duduk di tengah mengetuai dua hakim lainnya. Keringat akibat panas menambah kesan suram. Hitam mengkilat.
“Jadi, menurut Anda, Anda sekarang sudah menjadi tukang sunat siluman?”
Beni mengangguk. Mengulum senyum dan matanya berkeliling seolah salahnya mengerubuti seluruh tubuh.
“Jangan mengangguk saja, Saudara terdakwa harus mengiyakannya!”
“Iya,” balas Beni berusaha tegar.
“Ada berapa semuanya kalian?”
“Saya kurang tahu Pak?” mata Beni menatap sungkan, “Bukannya tugas Bapak Me….”