Mohon tunggu...
Indra Soeharto
Indra Soeharto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka membaca (Kompas) dan menulis. Pernah tinggal di Muntilan, Mertoyudan, Jogjakarta, Balikpapan dan Jakarta. Sempat bermukim sementara di Manchester, Inggris Raya. Saat ini kembali tinggal dan bekerja Balikpapan, Kalimantan Timur.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jarak Kuasa Presiden Jokowi

29 Agustus 2016   10:21 Diperbarui: 29 Agustus 2016   10:38 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, masyarakat dibuat heboh dengan status kewarganegaraan Arcandra Tahar, menteri ESDM yang baru saja ditunjuk menggantikan Sudirman Said. Disebutkan, Arcandra memiliki paspor AS dan paspor RI yang keduanya masih berlaku. Tanggapan masyarakat beragam, namun mengerucut. Intinya, Arcandra dinilai tidak memenuhi syarat untuk menjadi menteri. Kegaduhan itu kemudian “ditanggapi” oleh Presiden Jokowi, Arcandra Tahar diberhentikan dengan hormat dari jabatan yang baru diembannya selama 20 hari.

Walaupun kehebohan relatif mereda pasca pemberhentian Arcandra, tidak sedikit pihak yang menyesalkan kealpaan Presiden Jokowi dalam melakukan background check saat memilih figur menteri. Tak sedikit pula yang kemudian menuding bahwa Presiden Jokowi mendapat masukan yang salah dari orang-orang yang berada di lingkaran terdekatnya, saat memilih Arcandra. Kasus Arcandra ini bukan yang pertama dan satu-satunya. Pembatalan Perpres kenaikan tunjangan uang muka mobil dinas pejabat yang sudah terlanjur ditandatangani oleh Presiden, revisi (baca: penurunan) target penerimaan pajak setelah APBN-P 2016 disahkan, adalah beberapa contoh ketidak-akuratan masukan/informasi yang disodorkan kepada Presiden Jokowi oleh para pembantu terdekatnya.

Model Kebijakan

Sebuah pesan yang beredar di grup Whatsapp menyebutkan bahwa, konon, saat ini ada 4 “model kebijakan” yang bertarung dan saling berebut pengaruh di lingkaran istana. Masing-masing model kebijakan tentu saja digawangi oleh orang-orang yang berada di lingkaran terdekat Presiden.

Yang pertama adalah model kebijakan ABT (Asal Bapak Tertawa). Model kebijakan ini bertujuan membuat Presiden tertawa, apapun yang terjadi. Yang Kedua adalah model kebijakan ABM (Asal Bapak Mimpi). Seperti terlihat dari namanya, model kebijakan ini bertujuan memaparkan hal-hal ideal dan visioner kepada Presiden, walaupun kadang pelaksanaannya tak semudah kelihatannya. Yang ketiga adalah model kebijakan ABT (Asal Bapak Tersanjung). Dari namanya, model kebijakan ini bertujuan memuji dan mengiyakan keinginan Presiden dan membuat beliau tersanjung. Model yang terakhiradalah Model Kebijakan ABP (Asal Bapak Pening). Model kebijakan ini agak ‘berbeda’ dibandingkan yang lain. Model kebijakan inilah yang berani menyuguhkan kenyataan – walaupun pahit – kepada Presiden.

Entah benar atau tidak, cerita tentang keempat model kebijakan itu sebenarnya bukanlah hal baru. Dulu, di masa orde baru, ungkapan ABS (Asal Bapak Senang) pernah begitu terkenal. Pada masa itu, seorang pimpinan adalah sosok yang selalu benar dan harus selalu (dibuat) senang. Para anak buah harus mau melakukan apapun, demi sang pimpinan senang.

Jarak Kuasa

Suka tidak suka, sifat selalu-ingin-membuat-senang-pimpinan sudah mendarah daging dan membudaya bagi masyarakat Indonesia. Dimensi budaya masyarakat, oleh Hoffstede (1980) dipetakan menjadi 4 dimensi , yaitu jarak kuasa, individualis-kolektivis, maskulin-feminin, dan uncertainty avoidance. Jarak kuasa (power distance) diartikan sebagai kecenderungan individu di suatu kelompok dalam menyikapi hubungan antara atasan (orang yang memiliki ‘power’ / kuasa) dan bawahan (orang yang tidak memiliki ‘power’/kuasa). Individu dengan jarak kuasa yang besar akan cenderung untuk sangat menghormati, sungkan, bahkan takut dengan pemimpinnya. Sebaliknya, individu dengan jarak kuasa yang kecil, akan cenderung bersifat egaliter dan kritis terhadap pemimpinnya. Orang-orang Asia, termasuk Indonesia, dikenal memiliki jarak kuasa yang besar (Hoffstede, 1991).

Belajar dari berbagai peristiwa yang sudah terjadi, nampaknya Presiden Jokowi harus terus meyakinkan para pembantunya bahwa dia bukanlah sosok yang angker yang harus selalu diiyakan kehendak dan kemauannya. Orang-orang yang bekerja di lingkaran kekuasaan harus mampu memperkecil jarak kuasa dengan Presiden. Kritik, masukan dan data yang akurat serta realistis harus selalu disampaikan kepada Presiden supaya keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Presidenpun adalah keputusan yang valid, akurat dan terukur. Dengan begitu, kegaduhan-kegaduhan yang tak perlupun bisa dihindari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun