Tulisan Oce Madril, Direktur Advokasi PUKAT UGM, berjudul ‘DPRD dan Korupsi’ yang dimuat Harian Kompas, 13 September 2014, menarik dicermati.
Oce Madril memulai tulisannya tentang anggota DPRD Sumbar 2014-2019 yang digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan tak lama setelah ia dilantik. Ia pun kemudian menggambarkan tentang data Kemendagri yang menyatakan 3169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi dan menjelaskan pola korupsi yang dilakukan DPRD.
Oce Madril membangun sintesa bahwa korupsi anggota DPRD itu diakibatkan pilkada oleh DPRD di tahun 1999-2004. Menurut Oce, untuk memutus mata rantai korupsi DPRD tersebut, maka diberlakukanlah pilkada langsung.
Tulisan berjudul ‘DPRD dan Korupsi’ ternyata bukan hanya menggambarkan mata rantai korupsi DPRD, tapi lebih tampak sebagai basis rasionalitas dukungan kepada pilkada langsung dengan cara mendiskreditkan pilkada via DPRD yang dianggap sebagai biang keladi 3169 korupsi yang dilakukan anggota DPRD.
Oce Madril secara tak langsung masuk pusaran konflik elit politik tentang RUU Pilkada yang sekarang sedang berdebat di DPR RI tentang pilkada langsung VS pilkada oleh DPRD. Saya mengapresiasi keterusterangan dan keberpihakan Oce Madril sebagai seorang akademisi yang independen dan menggunakan pendekatan ilmiah,. Hanya saja, saya menemukan kerancuan data dan logika berpikir yang irrelevan dalam tulisan tersebut dan berdampak fatal.
Faktanya, data-data yang diungkap Oce Madril dalam tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ tidak ada sama sekali yang khusus terkait dengan data korupsi 1999-2004 ketika pilkada via DPRD yang beliau soroti. Kejadian anggota DPRD Sumbar itu jelas-jelas jauh dari tahun 1999-2004. Data tentang 3169 anggota DPRD yang korupsi pun ternyata menurut Kemendagri sendiri bukan korupsi tahun 1999-2004 saat pilkada via DPRD.
Pihak Kemendagri tidak pernah menyatakan bahwa korupsi 3169 DPRD disebabkan pilkada via DPRD tahun 1999-2004. Hasil kajian yang dilakukan Kemendagri menunjukan mahalnya biaya pemilihan cenderung membuat anggota DPRD maupun kepala daerah berbuat korupsi. Dan kita mengetahui bahwa mahalnya biaya pemilihan DPRD terutama sejak sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, dan mahalnya pemilihan kepala daerah sejak pilkada langsung. Keduanya setelah tahun 2004, di saat pilkada via DPRD sudah dihapus.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, tidak hanya mengungkap data 3169 anggota DPRD yang korupsi. Beliau juga mengungkap data 318 kepala daerah yang korupsi. Dan khusus kepala daerah, pihak Kemendagri menyoroti pilkada langsung yang berbiaya mahal sehingga membuat kepala daerah cenderung korupsi. Sedangkan untuk DPRD, pihak Kemendagri menyoroti pemilihan anggota legislatif yang berbiaya mahal juga, beliau tidak mengaitkannya dengan pilkada via DPRD.
Anehnya, tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ menyebut relasi korupsi DPRD dengan kepala daerah, tapi tidak secara fair mengungkap data 318 kepala daerah hasil pilkada langsung yang korupsi. Framing di tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ memang mendiskreditkan pilkada via DPRD dan mendukung pilkada langsung. Sayangnya pemaparan data dan analisis datanya kurang fair. Data korupsi di masa pilkada langsung digunakan untuk menilai korupsi saat pilkada via DPRD. Hasil kajian Kemendagri yang menyoroti sistem pemilihan legislatif digunakan untuk menilai pilkada via DPRD. Itulah yang saya sebut kerancuan data dan logika yang irrelevan.
Kalau mau fair, bandingkanlah jumlah kasus korupsi dengan jumlah orang yang menduduki posisi tersebut. Misalkan 318 korupsi kepala daerah berbanding 1060 kepala daerah di Indonesia yang terdiri dari 34 kursi Gubernur, 34 kursi Wakil Gubernur, 496 kursi Bupati/Walikota dan 496 kursi Wabup/Walikota. Dari data tersebut prosentase kepala daerah hasil pilkada langsung yang terjerat korupsi adalah 30%.
Perbandingan anggota DPRD yang korupsi adalah 3169 kasus dari 17748 kursi anggota DPRD yang terdiri 1998 kursi DPRD Provinsi dan 15.750 kursi DPRD Kab/Kota. Prosentase korupsi anggota DPRD adalah 17,85%.