Dalam gulungan pita kaset rekaman Tuhan, aku kembali meraba-raba kehidupan ini. Telak. Ya, sangat telak. Tanpa ku sadari, hidupku selama puluhan tahun ini telah menjalani sebuah kesalahan yang belum mampu aku rubah. Ya, tentang sebuah kehidupan yang kerap kali kita pertanyakan, kita agungkan, kita maki dan kita biarkan begitu saja.
Pada hari ini ada seorang ibu yang melahirkan anaknya di atas sebuah ranjang reyot dan hanya dibantu oleh bidan desa. Rumah bilik itu hanya dihuni oleh sang ibu dan kedua orang anaknya, plus anak yang baru saja dilahirkan. Padahal untuk menghidupi kedua anaknya saja sudah sulit, kini semakin dipersulit dengan kelahiran anak ketiganya. Dimana baru saja ditinggal bapaknya pergi kabur dari rumah beberapa bulan yang lalu. Bapak yang tidak bertanggung jawab, kata orang kebanyakan. Padahal kepergiannya itu mengandung arti yang amat mendalam. Sang Bapak merasakan perasaan bersalah yang amat mendalam hingga membuatnya stres. Ia merasa bersalah karena belum mampu menghidupi keluarganya dengan penghidupan yang layak, jangankan kehidupan, makan saja sudah sulit. Ia tertekan. Namun dengan keimanan yang tipis, akhirnya ia kabur melarikan diri. Dengan harap bahwa semoga keluarganya ada yang merawat dan menjadi lebih layak dalam menjalani kehidupan. Bentuk pertanggung jawaban yang dimatanya adalah paling tepat agar keluarga yang dicintainya menjadi lebih bahagia dalam menjalani kehidupan. Sangat disayangkan. Itu menurutnya saja. Kesimpulan dan bentuk pertanggung jawaban atas nama tipisnya keimanan. Ironi. Pada hari ini ada seorang remaja yang sedang merayakan hari ulang tahunnya. Ia mengadakan pesta di restoran mewah. Pesta yang menghabiskan dana kurang lebih dua puluh juta rupiah itu menyisakan banyak makanan terbuang. Terkumpul di tempat sampah samping restoran. Akibatnya bau busuk pun muncul. Membuat kepala pening. Namun itu tidak menyulutkan seorang lelaki setengah baya untuk menghampiri tempat itu. Demi bentuk pertanggung jawaban atas cacing dalam perutnya, ia mengobrak-abrik tempat sampah tersebut. Tidak peduli. Seberapa besar harga diri yang harus dilepas olehnya. Sementara itu, usai pesta, si remaja tadi melakukan hubungan intim dengan kekasihnya di luar nikah. Pada hari ini pula, ada seorang pejabat tinggi negeri yang sedang melakukan negosiasi penyuapan. Ia teriming-imingi oleh dana besar yang mampu membuatnya semakin kaya dan tersohor. Uang sebesar itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang mewah sebagai bentuk penambahan daftar kekayaannya secara fisik. Agar makin dikagumi dan disegani para bawahannya. Sementara itu ditempat lain pada hari yang sama, ada seorang wanita muda yang menggugurkan kandungannya akibat dari hubungannya diluar nikah dengan sang kekasih. Sederhana, si kekasih tidak bertanggung jawab dengan tidak mau mengakui hasil hubungannya itu. Ia tidak mau menikahi si wanita karena ia tidak mencintainya. Ia hanya nafsu padanya. Si wanita malu dan tidak mau melahirkan anak diluar nikah tersebut. Apa kata orang nanti, pikirnya. Padahal yang ia lakukan adalah membunuh nyawa titipan Tuhan. Darah dagingnya. Ternyata… Lelaki yang menghamili wanita tersebut adalah seorang pejabat tinggi negeri. Yang menjanjikan sang wanita dengan akan menikahinya dan memberinya kekayaan. Dan sang wanita tergoda oleh harta tersebut, sangat tergoda. Tidak peduli nantinya ia bersuamikan lelaki baya. Ternyata… Wanita yang berhubungan intim dengan remaja seusai pesta ulang tahun itu adalah anak pejabat tinggi negeri tadi. Ia melakukan itu semua karena kurangnya rasa kasih sayang kedua orang tuanya. Ia pun mencari bentuk kasih sayang di luar sana. Dan hubungan intim adalah salah satu bentuk yang mampu menyalurkan semua keluh kesahnya. Ia kecewa akan kehidupannya. Kesal. Menderita. Butuh kasih sayang. Ternyata… Pria yang mengobrak-abrik tempat sampah itu adalah seorang bapak beranak tiga yang kabur meninggalkan keluarganya. Ia kelaparan. Tidak punya uang sepeser pun. Mau pulang ia malu. Dan pada akhirnya ia terpaksa menggelandang kesana kemari. Menghindari kejaran petugas Satpol PP yang tidak mau tahu siapa pun itu. Ternyata… Anak yang dilahirkan ibu tadi berpuluh tahun kemudian akan memimpin bangsa. Anak pilihan Tuhan yang diuji sejak kelahirannya. Mental sudah terbentuk sejak dalam kandungan. Mental baja. Mental pemimpin. Mental tidak pernah putus asa. Kawan, Sedikit percikan kisah tadi mengisyaratkan bahwa, kerap kali kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Kita tidak pernah peduli dan tidak pernah mau tahu dengan urusan yang lain. Bahkan urusan sepele sedikit pun. Kita hanya memikirkan uang, jabatan, martabat, kepuasan semata. Padahal masih saja ada yang kelaparan, butuh kasih sayang, butuh perhatian. Yang dimana kesemua itu tidak melulu dengan uang. Entahlah kapan diri ini mampu lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Detik ini pun, banyak yang sedang fokus memperhatikan pikiran dan tenaganya dalam pertikaian yang terjadi di Jalur Gaza. Adapula yang sedang mati-matian membebaskan diri dari penjara. Ada yang sedang hingar bingar mempersiapkan event terbesar di dunia. Ada yang masih memikirkan kapan bisa makan. Ada yang sedang bingung bagaimana meyakinkan kedua orang tuanya untuk melamar calon pasangan hidupnya. Ada yang sedang asik bermain musik, merencanakan anggaran negara dan lain sebagainya. Sejenak saja. Beri sedikit ruang dihati dan pikiran kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain, minimal yang ada di dekat kita, disamping kita. Apapun itu yang bisa kita berikan, kita berikan. Tak perlu berpikir panjang. Tak perlu lagi memikirkan aku, aku dan aku. Berbagi… Sejenak saja, Itu pun sudah cukup… Selamat hari berbagi nasional. Setiap hari. Bogor, 31 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H