Mohon tunggu...
Indra Jatmiko
Indra Jatmiko Mohon Tunggu... -

freelance writer http://all-side.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sokrates, Percaya Allah?

19 Mei 2010   00:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebelum saya masuk ke dalam pembahasan atas judul dan tema ini, maka alangkah baiknya saya menjabarkan alasan dan latar belakang saya menuliskan ini semua. Baik itu latar belakang secara umum, tentang seorang Sokrates secara umum dan latar belakang secara khusus, alasan mengapa saya bertanya tentang hal ini.

Filsafat

Banyak orang yang mengatakan bahwa Yunani adalah poros atau kiblat dari lahirnya para filsuf termasyur di dunia. Ilmu-ilmu filsafat modern saat ini adalah pengembangan model dari teori-teori terdahulu yang berkembang di zaman Yunani kuno. Adapula yang berpendapat bahwa filsafat pertama kali ada di dataran timur tengah. Memang sampai saat ini, saya belum menemukan data otentik tentang keberadaan ilmu filsafat pertama kali ada. Namun berdasarkan literatur yang saya miliki (Buku Saku Filsafat Islam, Haidar Bagir, hlm 101) bahwa filsafat yang berkembang di timur tengah berawal dari aliran Peripatetisme Neo-Platonik, yang diisi oleh tiga orang filsuf besar islam: Al-Kindi (801-873 M) yang kemudian dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina (980-1037 M). Dan bila kita melihat sejarah filsafat pada masa Yunani kuno, mulai berkembang sejak masa Sokrates (470-399 SM). Mungkin bila terdapat kesalahan, mohon atas koreksinya. Dan bila dilihat dari waktu, dapat dinyatakan bahwa, filsafat, pertama kali dan dikembangkan pada masa Yunani kuno.

Pada masa tersebut, masyarakat Yunani memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa. Selain itu, tata pemerintahannya pun sudah modern. Terdapat anggota dewan dan pemerintahan. Serta telah memiliki tata kelola hukum yang baik. Juga dewan musyawarah dan upaya penyelesaian masalah dengan musyawarah dan pemungutan suara (voting). Dan terdapat kaum Sofis, yaitu guru-guru yang mengobral ilmu dengan mengajarkan bahwa kebenaran yang sebenarnya tidak tercapai sehingga tiap-tiap pendirian seseorang dapat dibenarkan dengan retorika (http://poldem.co.cc).

Saya sungguh sangat penasaran dengan dakwaan pidana mati terhadap Sokrates yang diajukan kepada pengadilan. Berdasarkan literatur yang saya baca, alasan diajukannya dakwaan terhadap Sokrates adalah karena Sokrates tidak percaya kepada Dewa-Dewa Yunani dan Sokrates dianggap telah meracuni pemikiran kaum muda Yunani dengan keilmuannya. Dan sesaat sebelum masuk ke pembahasan, saya akan memaparkan sedikit biodata tentang Sokrates.

Sokrates, Seorang Yang Selalu Bertanya

Dilahirkan pada tahun 470 SM di Athena, pria yang ditakdirkan bertubuh pendek dan kurang tampan ini kemungkinan besar profesinya adalah ahli bangunan (stone mason). Namun demikian, ia memiliki karakter dan pesona yang mampu memikat orang lain. Apalagi dengan kerendahan hatinya. Sehingga mampu menarik perhatian para pemuda Yunani pada waktu itu. Dimana pada akhirnya para pemuda tersebut membentuk kelompok belajar, Plato (427-347 SM) adalah salah satu muridnya. Inilah yang membuat golongan Sofis kurang begitu menyukai dirinya. Karena pernah suatu ketika, Sokrates ingin menguji kepandaian kaum Sofis yang selalu mengumbar-umbar ilmu. Maka ia menghampiri salah seorang guru Sofis dan mengajukan pertanyaan. Namun guru Sofis tersebut mampu menjawabnya. Kemudian Sokrates mengajukan pertanyaan selanjutnya, dapat dijawab pula. Dan begitu seterusnya, Sokrates bertanya guru Sofis menjawab. Hingga pada akhirnya sang guru Sofis tidak mampu menjawab pertanyaan Sokrates. Demikian adanya, guru Sofis tersebut mengakui bahwa ia tidak tahu. Dan Sokrates memberi kesimpulan padanya, "Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu" (sumber dari sini).

Itulah Sokrates, seorang yang tidak pernah mengaku pintar dan lebih baik dari yang lain. Sehingga selama hidupnya, ia mengajarkan orang lain dengan metoda dialektik (asal kata dari Dialog) dengan kecenderungan untuk bertanya. Dan bahwasannya manusia sebenarnya tidak tahu apa-apa, tetapi bila ada manusia yang mengetahui dalam ketidaktahuannya ia adalah manusia bijaksana.

Quote yang masyhur ini mengingatkan saya kepada kisah Nabi Muhammad SAW yang suatu ketika ia ditanya oleh salah seorang sahabatnya dan ia belum mengetahuinya karena belum mendapatkan wahyu Allah SWT tentang pengetahuan itu, maka ia menjawab sejujurnya belum tahu dan kemudian berjanji untuk menjawabnya esok hari. Dan pada akhirnya Rasulullah SAW belum mampu menjawabnya karena ia belum mendapat wahyu dari Allah SWT. Sehingga ia pun ditegur untuk tidak mudah untuk berjanji, pun berjanji ucapkanlah "Insya Allah".

Selain pesan moral tadi, dapat juga kita lihat pesan moral lainnya. Yaitu, kejujuran akan ketidaktahuan sesuatu. Nabi tetaplah manusia yang memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan Sokrates. Terlebih lagi, Sokrates bukanlah nabi. Ia hanyalah seorang yang biasa berada di pasar untuk berbagi ilmu kebajikan dengan bertanya kepada orang-orang sekitar. Tujuannya adalah agar masyarakat Yunani mampu mencari kebenaran dengan ho logos, penalaran.

Kurang lebih demikianlah seorang Sokrates. Rendah hati. Berilmu. Bijak. Dan jujur.

Seperti ilmu padi, Makin Berisi Makin Merunduk.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS:58.11

Hukuman Mati Sokrates

"Sokrates bersalah karena telah merusak kaum muda, dan telah gagal mengakui dewa-dewa yang diakui kota, tetapi, sebagai gantinya, telah memperkenalkan hakikat-hakikat spiritual baru" (Plato, Apologi, 24b-c).

"Tuduhan ini dan pernyataan tertulis yang sah disumpah oleh Meletus, putra Meletus dari Pithos, melawan Sokrates, putra Sofroniskus dari Alopese: Sokrates bersalah karena dia menolak mengakui Allah-Allah yang diakui negara, dan karena dia memperkenalkan dewa-dewa baru. Dia juga bersalah karena telah merusak kaum muda. Hukumannya adalah hukuman mati" (Diogenes Laertius, 2.40)

Ini adalah dua dari tiga macam catatan tuduhan yang diajukan kepada Sokrates. Yang saya dapatkan dari literatur saya, Sokrates Dalam Tetralogi Plato, Ioanes Rakhmat. Memang, semasa hidupnya Sokrates tidak pernah menuliskan keilmuan miliknya. Ia hanya ber-dialektika kesana-kemari. Dan Plato-lah yang menuliskan riwayat dialog-dialog Sokrates. Selaku murid dari Sokrates, Plato kemudiam menjadi filsuf termashyur sepanjang masa. Karena selain menyuarakan keilmuan Sokrates melalui lembaran-lembaran, ia pun mengembangkan keilmuan gurunya tersebut.

Sokrates pun diajukan ke pengadilan.

Dalam karyanya, Plato telah mencatat dialog Sokrates dengan Euthyfro di sebuah beranda Raja Arkhon (raja yang berkuasa pada masa itu) di Athena dimana ia meninggalkan Lyseum*) (itulah yang tercantum dalam literatur karya Ioanes Rakhmat). Dimana yang terlibat percakapan pada karya Plato berjudul Euthyfro (dialog Sokrates sebelum diadili) hanyalah Sokrates dan Euthyfro. Entah bagaimana ceritanya Plato mengetahui isi dialog tersebut, mungkin saja ia ada disana dan mengingat semua isi percakapan tersebut sebelum pada akhirnya ditumpahkan dalam bentuk tulisan. Plato tidak terlibat dalam percakapan itu dan ada disana, sepertinya. =P

*)Lyseum adalah sebuah gimnasium di luar tembok Athena, tempat yang disukai Sokrates, dan kadangkala dipakai dalam dialog Plato sebagai latar diskusi filosofis (Sokrates Dalam Tetralogi Plato, hlm 75).

Dalam dialog tersebut Sokrates memaparkan mengapa ia sampai diajukan ke pengadilan oleh seorang pemuda. Berbeda dengan Euthyfro, ia diajukan ke pengadilan karena menuntut ayahnya sendiri yang telah membunuh seseorang. Nampaknya, di Yunani pada waktu itu, mengajukan sanak keluarga terlebih orang tua ke meja pengadilan adalah salah satu bentuk kedurhakaan. Sehingga si pengaju pantas untuk diadili.

Hal ini, kembali, mengingatkan saya kepada kisah Rasulullah SAW. Ketika ia mengatakan bahwa, kemungkaran siapa pun yang melakukannya pantas dihukum -kurang lebih demikian. Sehingga Fatimah sekalipun, bila diketahui bahwa ia telah mencuri maka Rasulullah SAW dengan tangannya sendiri akan menghukumnya dengan hukum islam. Yaitu memotong jari tangan Fatimah.

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim.

QS: 5.45

Dan bila dikomparasikan (Yunani kuno) dengan kondisi modern di Indonesia saat ini, politik tetaplah politik. Hukum manusia masih dapat dinegosiasikan dengan kepentingan golongan tertentu yang bermodalkan secarik kertas bernominal, uang. Dan atau kepercayaan.

Kembali mengenai Sokrates. Dikatakan bahwa memperkenalkan Tuhan-Tuhan baru pada dirinya sendiri bukanlah suatu perbuatan kriminal; banyak orang Athena telah memperkenalkan kultus Tuhan-Tuhan asing yang banyak jumlahnya, yang cepat atau lambat diizinkan atau diperkuat dan didorong oleh keputusan resmi negara. Jadi, sebenarnya Sokrates tidak dapat dituduh telah mempraktikkan ritus-ritus asing . Namun, dikarenakan Sokrates mengganti dewa-dewa lama negara dengan jenis-jenis baru para penguasa yang mengendalikan "hal-hal yang ada di langit dan yang ada di bawah bumi". Tuduhan ini mengacu kepada kepercayaan Sokrates terhadap "suara daimonik" yang bertindak sebagai suara batinnya, nuraninya (Sokrates Dalam Tetralogi Plato, hlm 23). Namun, Sokrates tetap diajukan ke pengadilan karena banyak kaum Sofisme -yang sebagian besar menduduki parlemen- tidak menyukai keberadaannya.

Mungkin saya akan lebih menekankan mengenai suara batin seorang Sokrates, suara daimonik, yang tercantum dalam naskah terjemahan Apologi karya Plato. Dimana dikatakan bahwa, Sokrates mempercayai bahwa alam jagat raya ini telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta. Bukanlah dewa-dewa Yunani yang selalu saling bertempur satu sama lainnya.

Kecenderungan hati nurani Sokrates inilah yang saya identifikasikan sebagai fitrah. Fitrah dirinya yang sadar bahwa tidaklah mungkin dewa-dewa Yunani yang selalu bertengkar mampu menciptakan jagat raya ini semua secara teratur. Ia sadar, bahwa ada pergolakan batin yang halus dalam dirinya yang membuat kecenderungan akan munculnya kesadaran terhadap Tuhan, bukan dewa. Ia sadar bahwa matahari adalah poros bumi dan matahari pun ciptaan Tuhan, lalu mengapa orang-orang Yunani menyembah matahari?

Inilah yang -kemungkinan besar- membuat para pemimpin negara Yunani ketakutan bila Sokrates telah meracuni pemikiran para pemuda Yunani maka para pemuda Yunani akan mengikuti jalan pikirannya dan merubah agama kepercayaan nenek moyang pada para dewa Yunani menjadi condong kepada Tuhan yang masih bergolak di batin Sokrates.

Memang, percaya kepada Sang Pencipta yang tak tampak pada zaman itu bukanlah hal yang mudah. Saya jadi teringat ketika Nabi berpesan kepada seseorang, "Serahkanlah unta itu, namun jangan lupa untuk mengikatnya". Seolah seperti hal yang aneh bukan? Namun bukan demikian. Secara implisit, mungkin, Rasulullah SAW menyampaikan kepada kita bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Sekalipun kita telah berupaya sekuat tenaga untuk melakukan hal yang terbaik. Namun, Godspot, tetap menuntut kita untuk percaya kepada yang metafisik. Rasionalitas yang dianut masyarakat Yunani pada masa itu, tidak mau menerima kepercayaan kepada yang gaib.

Itulah mengapa, Allah SWT mentitah kita untuk tidak memikirkan hal-hal yang berada diluar rasionalitas atau daya pikir manusia. Sehingga, Allah SWT lebih menyuruh kita untuk tidak menanyakan hal-hal yang melebihi batas dan menerimanya dengan penuh ketakwaan dan keimanan.

Namun, satu hal yang paling kuingat. Adalah nilai heroik seorang Sokrates yang akan dihukum mati dengan meminum racun. Ia tidak terpengaruh oleh bujuk rayu teman-temannya untuk merelakan “idealisme”-nya untuk sebuah nyawa. Seperti yang telah dilakukan oleh para sahabat nabi yang merelakan nyawanya diambil untuk sebuah idealisme kepercayaan kepada Tuhan (Allah).

Yunani pun bertasbih… =D

Apakah ini berarti Sokrates percaya Allah?

Wallahu'alam...^_^

Buku dan Sumber Pendamping:

1. Rakhmat, Ioanes. 2009. Sokrates Dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar Dan Terjemahan Teks. Jakarta. GPU

2. Bagir, Haidar. 2006. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung. Mizan

3. Al-Khudhairi, Dr.Zainab. 1979. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Bandung. Pustaka

4. Gaarder, Jostein. 2008. Dunia Sophie. Bandung. Mizan

5. http://poldem.co.cc/2/2009/sokrates

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun