Berbeda dengan Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anggota dan kader PDI Perjuangan, sejauh ini Bobby belum bergabung menjadi anggota partai politik manapun. Bobby juga sudah menjalankan tugas sebagai Walikota Medan selama satu periode. Ketika Partai Gerindra dengan sigap menjadikan Bobby sebagai anggota, bukan berarti Bobby mengabaikan Partai Golkar. Sebab Musa Rajekshah atau Ijeck yang menjabat Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Sumut sudah menjabat sebagai Wakil Gubernur Sumut selama satu periode. Ijeck juga mendapatkan surat tugas menuju pencalonan sebagai Gubernur Sumut dari Partai Golkar.
Bobby tentu tak ingin terlihat bersaing dengan kader Partai Golkar juga, sebagaimana terjadi di Daerah Khusus Jakarta, seandainya jadi menerima Nomor Pokok Anggota Partai Golkar. Dari sisi Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak Tercela (PDLT) yang menjadi tolok ukur utama dalam kaderisasi dan keanggotaan di tubuh Partai Golkar, tentu Bobby bakal jauh lebih rendah nilainya, dibanding Ijeck. Jadi masuk akan kalau Bobby lebih memilih Partai Gerindra ketimbang Partai Golkar dalam pilihan keanggotaan partai politik itu. Ijeck, kini sendirian guna diusung Partai Golkar.
Namun, politik adalah kerja detail. Andaipun Bobby dan Ijeck dipasangkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Sumut yang diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional, sudah tentu keputusan itu diartikan sebagai pengabaian atas kinerja Ijeck. Hanya saja, penilaian yang bersifat individualistis itu semakin sulit dijadikan patokan. Sebab Partai Golkar adalah satu kesatuan organisasi yang diikat dengan Ikrar Panca Bhakti. Eksistensi Ijeck tidak bakal bisa dilepaskan dengan eksistensi Partai Golkar secara keseluruhan, tidak hanya sebatas keberadaan Partai Golkar di Sumut.
Taruhlah, benar bahwa Bobby - Ijeck maju di Sumatera Utara, berarti Partai Golkar dapat poin lebih di provinsi lain yang menjalankan kerjasama atau koalisi ketiga partai ini. Â Saya membayangkan, Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional bakal memberikan suara bulat agar kader Partai Golkar, sebut saja Ahmed Zaki Iskandar, maju sebagai Calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta. Dengan menjadikan kader Partai Golkar pada posisi Calon Gubernur, kian terlihat betapa eksistensi personal semakin dilekatkan dengan eksistensi organisasi secara keseluruhan.
Siapa yang ditempatkan sebagai Calon Wakil Gubernur, bagi saya justru lebih baik berasal dari kalangan non partai koalisi. Soalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 2/2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, Presiden RI menunjuk Ketua Tim Pembangunan Jakarta. Tugas-tugas utamanya adalah menjalankan Proyek Strategis Nasional yang sudah masuk dalam APBN.
Belakangan, nama Gibran Rakabuming Raka menjadi Ketua Tim Pembangunan Daerah Khusus Jakarta yang ditunjuk Presiden Joko Widodo. Jika saja setelah Presiden Terpilih dilantik, Surat Keputusan Presiden Joko Widodo itu hanya berganti dengan nama Presiden Prabowo Subianto, kehadiran Gibran Rakabuming Raka masih tetap proporsional. Gibran tidak lagi sekadar pribadi dalam menjalankan tugas, namun juga dalam posisi sebagai Wakil Presiden RI Terpilih. Ketika Wakil Gubernur Terpilih berasal dari partai politik, sebagaimana Gubernur Terpilih -- andai koalisi ini menang -- kesan yang muncul di masyarakat, betapa partai politik sedang berebut proyek pemerintah.
Atau taruhlah Daerah Khusus Jakarta 'gagal' ditukar-guling dengan Sumatera Utara, bukankah masih ada Banten, Jawa Barat, dan lain-lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H