Kalau ada yang masih nyinyir dengan kasus yang pernah menimpa Prabowo Subianto -- dan sudah disidang -- dan sudah dihukum --, perlu diingatkan dengan the blood diamond. Penuh darah, di atas pelangi. Sejarah Indonesia yang berakar dalam sejarah banyak kerajaan besar di nusantara. Bahwa, militer Indonesia, sama sekali tidak pernah (berani, tega) melakukan kudeta. Sebab hanya militer Indonesia yang tak mengenali kromosom berdasarkan etnis atau geneanologi.
Militer Indonesia berasal dari rakyat kebanyakan, bahkan sering dari kelas sosial terendah, kalau kita mengenal kasta. Militer Indonesia dari kasta paria. Ken Arok, sebelum terhipnotis terhadap betis bunting padi Ken Dedes, adalah perampok yang bahkan tak punya markas.Â
Ken Arok pindah dari satu huma atau pondok yang ditinggalkan petani, ke rumpun bersemak di pinggiran hutan, akibat kejaran polisi desa. Selain berteduh, tentu mengais makanan, serta alutsista atau alat utama sistem persenjataan kalau ada sabit atau golok yang belum diasah. Gajah Mada lahir dari rahim perempuan Dharmasraya, dan prajurit tua asal Shingosari yang ikut ekspedisi Pamalayu, namun tak pernah dapat perintah pulang.Â
Dalam zaman perang kemerdekaan, militer Indonesia, baik profesional alias didikan tentara kolonial atau laskar, selalu mengandalkan dapur umum atau nasi bungkus warga. Bahkan dalam cerpen-cerpen Pandir Kelana -- nama pena dari seseorang yang aslinya tentara--, bahkan pasukan perjuangan yang long march "berhutang cuci mata" dengan cara mengintip gadis-gadis desa mandi di sungai.Â
Militer Indonesia pernah begitu gagah menjaga kekuasaan Presiden Soeharto. Tetapi sikap dan mentalitas itu datang bukan saja dari skema "pahlawan vs pengkhianat" yang tumbuh dari dalam, melainkan akibat pengaruh dari Perang Dunia II dan Perang Dingin yang mengikuti. Itupun tetap dalam "jampi-jampi" kemerdekaan Aceh yang angkatan pemberontaknya dilatih di Libya, kemerdekaan Timor Timor yang kemudian benar-benar "diberikan" oleh Presiden BJ Habibie, hingga kemungkinan hadir negara Melanesia di Papua, soal yang belum benar-benar selesai.
Kalaupun ada yang dilawan habis-habisan oleh militer Indonesia, tentu bernama fasisme, baik fasisme religius, fasisme ekonomi, fasisme kelas, hingga fasisme berbentuk apapun, bahkan fasisme atas nama aktivisme, sebagaimana Maximillen de Robespierre mengalami. Robespierre adalah salah satu sosok muda yang memimpin revolusi Perancis, namun dalam arus yang cepat dan liar itu, tersesat menjadi apa yang dikenal sebagai diktator proletariat yang bahkan membunuh kawan dan sahabat sendiri.Â
Nama Subianto yang berada di belakang Prabowo, ibarat chips atau prosesor yang bakal bekerja dalam seluruh jiwa dan raga Prabowo Subianto. Subianto ditembak Kempeitai Jepang bersama Daan Mogot. Sebagai pemimpin, mereka mengalihkan perhatian tentara Jepang yang markasnya diserbu serdadu-serdadu muda, guna dilucuti. Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo adalah paman kandung dari Prabowo yang tewas di Hutan Lengkong, Tangerang Selatan, bersama Mayor Daan Mogot dan 34 orang lainnya.Â
Coba baca sejarah pergerakan mahasiswa di Italia dan Jepang, bagaimana mahasiswa bekerjasama dengan Tentara Merah guna menculik, bahkan membunuh, para politisi. Tokoh-tokoh gerakan mahasiswa di negara-negara tersebut dipuja bagai mitos, dan tentu jadi pahlawan sepanjang masa, walau menggunakan penculikan -- bahkan pembunuhan -- sebagai senjata.
Kenapa?
Fasisme jauh lebih berbahaya dibanding apapun. Sulit dikalahkan, jika sudah menang dan menjadi ideologi satu bangsa. Jangankan satu bangsa atau negara menjalankan fasisme, bahkan satu orang saja, sudah jadi semacam virus yang nanti bisa mengubah manusia menjadi mayat hidup. Sebab, fasisme tak (hanya) tumbuh di kalangan militer atau purnawirawan militer, tetapi terlebih-lebih lagi di kalangan sipil yang terbawa karakter dewa-dewa salam mitologi Yunani.Â
Fasisme yang tentu berbeda dengan tumbuhan epifit, yakni jenis tumbuhan yang memerlukan tumbuhan lain sebagai penopang, namun tidak merugikan inangnya.