Sebuah pondok kecil berayap daun rumbia terlihat di antara rimbun pepohonan. Ada asap keluar dari pondok itu. Ketiganya berhenti, saling pandang. Setelah berembug, mereka memutuskan mendekati pondok itu.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam!" terdengar jawaban seorang perempuan tua.
Pintu pondok dibuka. Seorang anak kecil muncul, takut-takut. Usianya sekitar 10 tahun. Tubuhnya hitam. Tak berbaju.
"Buliah numpang duduak, Nak? Sia di rumah?" tanya Buyuang Pinu.
"Duduaklah, Pak. Ado uwai sajo di rumah."
"Nan lain kama?" selidik Pandeka Sati.
"Kami sajo baduo, Pak. Dunsanak ndak ado, lai," sambut anak kecil itu.
Perempuan separo baya keluar. Melirik. Lalu masuk lagi. Tak lama, dia datang membawa tiga buah cangkir dari batok kelapa, serta ceret aluminium yang sudah usang. Singkong rebus juga ada.
Mereka bercakap sebentar. Perempuan itu ternyata etek  dari anak kecil itu. Mereka bikin pondok, setelah seluruh keluarganya hilang satu demi satu. Bapak si anak meninggal kena penyakit paru-paru, ibunya sudah mendahului ketika si anak masih berusia 4 tahun. Sementara suami perempuan itu pergi, tak pulang lagi, ketika perang datang tanpa diundang.
Datuak Sinaro menarik nafas dalam-dalam. Seperti ada ribuan ton batu menghimpit dadanya. Tak ada yang tersisa lagi dari perang ini, kecuali kehilangan demi kehilangan.
"Kami mau menuju daerah Kapalo Hilalang. Kira-kira jalannya kemana?" tanya Datuak Sinaro.
"Taruih sajo ka arah lambah itu, Pak. Ado jalan satapak. Kami sakali sabulan ka sinan, mambao pisang jo sampelo," kata perempuan itu, sambil menunjuk.
"Tigo hari lai kami ka sinan, Pak. Kabanyo banyak ughang bakumpue," tambah si anak hitam.
Ketiga laki-laki itu tersenyum. Mereka menyelesaikan minum dan makan. Datuak Sinaro meninggalkan beberapa lembar uang.
"Apa yang akan kita cari lagi? Semua laki-laki dewasa menyingkir dari rumah. Yang tinggal hanya anak-anak dan kaum perempuan!" rutuk Datuak Sinaro.
Buyuang Pinu dan Pandeka Sati tidak menjawab. Tenggelam dalam salak anjing. Mereka beringsut, hilang di tikungan jalan.
***
Bunyi arit. Kayu-kayu tumbang. Papan. Pedati-pedati. Kerbau. Kuda. Dan senjata.
Serta sejumlah pasukan dari beragam kesatuan. Sebuah tenda peleton berdiri gagah di area yang sulit dijangkau dan disergap. Beragam bahasa bercampur. Ada bahasa Jawa, Batak, Bugis, Bali, sampai Ambon, Minang dan Betawi. Inilah wilayah kecil yang berada di ketinggian yang dipenuhi pasukan pusat.
"Bangunan pasar sudah hampir selesai. Tinggal atap rumbia campur jerami di bagian depannya. Seminggu lagi, pedagang-pedagang bisa masuk ke kawasan ini," terdengar seorang tukang bicara.
"Bakal banyak yang mengutang, nih. Prajurit kan tak punya uang operasional?" sungut seorang pemuda.
Tampaknya dia hafal betul karakter tentara.
"Tak apa-apa, daripada mereka terus menerus mengambil ternak penduduk," bisik seseorang yang lebih tua.