Tuntutan bubarkan PKI tahun 1966, misalnya, paralel dengan tuntutan hapuskan dwi-fungsi ABRI. Dimata mahasiswa, sesuai zamannya, ketelibatan PKI dalam sistem politik Orde Lama, sebanding dengan keterlibatan militer dalam sistem politik Orde Baru. Keduanya sama-sama anti demokrasi.
Begitu juga tuntutan kepada Soekarno dan Soeharto, mengandung substansi yang sama, yaitu mereka mengembangkan rezim otoritarian dan menjebloskan lawan-lawan politiknya ke penjara. Soeharto jauh lebih beruntung, karena di akhir masa jabatannya banyak melakukan rekonsiliasi dengan lawan-lawan politiknya, kecuali dengan Sri Bintang Pamungkas, aktivis Islam, dan aktivis PRD. Sedangkan Soekarno mati di rumah tahanan, Wisma Yasso, karena tidak diperbolehkan menemui rakyat oleh rezim Soeharto.
Makanya, kembali ke tesis awal, gerakan mahasiswa 98 belum bisa disebut sebagai angkatan, menyamai angkatan 1928 dan 1945. Mahasiswa 1928 memberikan identitas nasional, sekaligus visi kearah kemerdekaan.Â
(Sebetulnya yang lebih visioner adalah Angkatan 1925 yang mengeluarkan Manifesto Politik di negeri Belanda, sebagaimana selalu diulang oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo).Â
Mahasiswa 1945 memberikan kemerdekaan, dan visi kedaulatan rakyat, sekalipun kemudian diselewengkan oleh pemerintah. Sedangkan gerakan mahasiswa 1966 bisa dikatakan 1/2 angkatan dan 1/2 gerakan karena berhasil menumbangkan komunisme dan mendudukan Soeharto di tampuk kekuasaannya, tetapi gagal meminta atau memaksa Soeharto berdiri dari kursi empuknya itu.
Kembali Ke Basis Daerah
Sebetulnya mahasiswa sekarang bisa lebih berperan, jika memulai langkah-langkah baru dalam visi gerakannya. Salah satunya adalah kembali ke basis daerah, dan mengurangi orientasi vertikal yang mengarah ke pusat kekuasaan di Jakarta. Jakarta selain pusat pemerintahan, kaum intelektual, dan konglomerat, juga menjadi pusat kejahatan, koruptor, dan politisi-politisi serakah. Dan sepanjang sejarah gerakan mahasiswa, selalu saja yang mendapat keuntungan politik dan ekonomi adalah pelaku-pelaku gerakan yang berada di Jakarta.Â
Pelaku-pelaku gerakan mahasiswa di daerah kadangkala hanya bertindak sebagai pengiring penganten, padahal mereka tak kalah hebatnya dalam bergerak. Malahan, menurut catatan penulis, gerakan mahasiswa 98 bermula dari daerah-daerah, terutama Yogya. Radikalisasi mahasiswa juga dimulai di daerah, antara lain di Lampung, Salatiga, dan Yogya. Tapi ketika Soeharto tumbang, yang menjadi selebritis adalah justru mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang kerjanya hanya memberikan keterangan pers. Ironis, memang.
Pelaksanaan otonomi daerah bulan Januari 2001 bisa menjadi ajang pergulatan baru bagi mahasiswa-mahasiswa daerah. Sudah selayaknya kantong-kantong intelektual dan calon-calon pemimpin bermutu dikembangkan di daerah-daerah, tidak lagi di Jakarta atau Jawa. Kesenjangan intelektual dan informasi yang tinggi antara mahasiswa Jakarta/Jawa dengan daerah selama ini sudah saatnya diakhiri.Â
Dalam bidang distribusi intelektual ini, kita memang tidak mengalami perkembangan berarti dibandingkan dengan zaman kolonial Belanda. Batavia dari dulu memang pusat pendidikan, karena akan lebih mudah mengontrol kalangan intelektualnya. 50 tahun pengembangan pendidikan, keadaan ini tidak banyak berubah.
Penulis sangat yakin, kalau persoalan distribusi anggaran pendidikan, dan pembentukan kantong-kantong intelektual di daerah-daerah ini tidak dilaksanakan, pola-pola gerakan mahasiswa tetap tak berubah. Mereka akhirnya hanyalah korban dari elite-elite politik, dan malahan korban dari elite-elite mahasiswa yang memainkan kepentingannya secara sendiri-sendiri. Dengan visi gerakan mahasiswa yang mengarah ke daerah-daerah ini, sekurang-kurangnya mahasiswa daerah bisa lebih berperan menentukan masa depan daerahnya sendiri.Â