Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Toa dan Puasa di Dusunku

1 Mei 2021   06:25 Diperbarui: 2 Mei 2021   09:48 4636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toa masjid. Sumber: Kompas.com

Minggu pertama bulan Ramadhan ini diisi dengan diskusi di milis grup tentang toa. Kebetulan, aku menemukan satu cerpen yang ditulis di Koran Sindo edisi minggu (16/09/2007) dengan judul "Suara-suara Keramat" yang ditulis oleh Taufiq Sutan Makmur. Pastilah penulisnya orang Minang yang sudah menikah, karena gelar Sutan (Sultan) yang dia peroleh.

Ketek banamo, gadang bagala (kecil bernama, dewasa bergelar). Bunyi pepatah adat Minangkabau. Kisah yang terasa nakal, tentang kehadiran suara azan atau bacaan Al Qur'an dari seorang tua di mesjid (surau) dekat rumah tokoh cerita.

Aku sungguh tidak ingin masuk ke wilayah diskusi itu. Apakah toa telah memberi manfaat atau mudarat. Menurutku, relatif. Kalau tidak ingin terusik, tinggal menggunakan kapas di kedua lubang telinga. 

Aku sendiri tidak terpengaruh dengan bunyi toa. Rumah mertuaku di Jalan Talib III Kelurahan Krukut Kecamatan Tamansari Jakarta Kota berhimpitan dengan mesjid kecil atau disebut musholla Al Barkah.

Kadang, kalau hari minggu, kudengar mertua perempuanku sendiri yang mengaji, bersama anggota majelis ta'limnya. Dalam sebulan, rumah keluarga mertuaku penuh dengan para ibu yang sedang belajar mengaji, ketika aku pulang kerja agak pagian (jam 19.00). 

Tidur dan bangun menurutku tergantung pikiran dan niat. Aku bisa dengan mudah bangun pagi, sebelum subuh, terutama kalau aku harus naik pesawat pagi-pagi. Afzaal, istriku dan mertuaku juga sudah terbiasa melakukan ritual itu, mengantarku ke bandara pagi-pagi sekali, usai shalat Subuh.

Aku menulis soal toa ini karena teringat kampung halamanku. Dusunku di Durian Kadok, Kenagarian Sikucur Selatan, Kecamataan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman.

Dulu, belum ada listrik masuk kampungku. Letak kampungku di seberang sungai besar Batang Naras menyulitkan pembuatan tiang-tiangnya. Kalaupun mengambil dari kampung lain, harus mendaki lereng-lereng bukit penuh pohon kelapa. Listrik baru menyala pada tahun 2002, dua tahun setelah aku masuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Itu pun atas jerih payah semua orang, terutama ayahku yang memberikan jaminan. Maka, rumah besar tengah sawah kami di kampung jadi pusat kabel lintang-pukang listrik yang diambil atau dibagi ke rumah-rumah tetangga. Jarak antar rumah berjauhan dan jumlahnya puluhan. Listrik sedikit saja sudah luar biasa berguna.

Sayangnya, sejak ada listrik, justru televisi masuk, radio datang, VCD menerjang, motor meraung, serta maksud awal untuk meningkatkan produktivitas ekonomi  warga kampung tidak tercapai.

Rencana ayahku untuk menggunakan listrik bagi kepentingan penetasan ayam kampung tinggal rencana. Barangkali karena usianya yang sepuh. Pensiunan pegawai negeri sipil golongan rendah. Ayah lebih banyak menggunakan waktu bersama kami, anak-anaknya dalam usia sekolah menengah, ke sawah dan ladang. Ayah tidak banyak masuk kantor, apabila diberikan jabatan mentereng seperti dinas pertambangan, perhubungan, atau semacamnya yang bergelimang rupiah emas. Ayah sempat mengepalai Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Ketua Panitia Pemilihan dalam sejumlah Pemilu di tingkat kecamatn. Semangat ayah menyala ketika diberikan jabatan dalam dinas pertanian, lalu menjadi ketua kelompok tani di dusun kami. 

Dulu, hampir seluruh inovasi di bidang peternakan dan pertanian dilakukan ayahku, walau hanya sekali saja, tak berulang. Sebagian besar gagal, lalu dilakukan inovasi bidang lain. Entah beternak lele dumbo, menanam buah melon, garda munggu, pepaya bangkok, kelapa hibrida, herbisida, minapolitan, melakukan intensifikasi pertanian dengan cara menjadikan tanaman padi sekaligus tempat menebarkan ikan mas, menebarkan gurami di kolam yang lebar itu, dan lain-lain. Justru aku yang berhasil, ketika bertanam kedelai dengan benih yang dibawa ayah di lahan pbekas perumahan kakek dalam zaman Jepang di Parak Munti.  Ayahku biasanya tidak mengulangi lagi, walau sejumlah evaluasi sudah didapat. 

Halaman rumah dipenuhi dengan segala jenis tanaman obat-obatan yang disebut sebagai Apotik Hidup, dari kumis kucing, lidah buaya buat rambut hitam panjang Emak, kuini asal Indramayu, tanaman sirih merambat, hingga lengkuas yang bisa membunuh panuan atau jamur di kulit. Ayah memang rajin memeriksa penyakit apapun dalam tubuh anak-anak lelakinya yang berjumlah enam orang, satu perempuan. Kakak tertua merantau duluan. Walau setiap pekan tubuh kami selalu luka, baik akibat bermain, kecelakaan, atau bekerja, bagi ayah bukan persoalan besar. 

Ketika toa belum ada, surau dan mesjid mengandalkan accu. Maka, kalau ada kegiatan yang berskala besar, akan dibentuk kepengurusan, termasuk yang bertugas membawa accu ke tempat pengecasan. Itu tugas Mak Ciak Anas. 

Surau biasanya milik suku (kaum). Surau kaum Piliang ada di Dusun Kampung Tangah, sedang surau milik suku Tanjung dekat rumahku di Dusun Durian Kadok, karena kami dikelilingi oleh tetangga dari suku Tanjung. Belum lagi surau buat suku Chaniago, Jambak, dan lain-lain.

Sedangkan mesjid Surau Kerambil untuk kegiatan Jum'atan atau Maulid Nabi. Isra' Mi'raj dan Nuzulul Qur'an biasanya dilaksanakan di surau. Keramaian yang kami nanti. Puluhan obor, bedil betung, hingga berjenis permainan dengan bahan dasar buluh, kayu, hingga pelepah pisang.

Dengan kegiatan-kegiatan itu, kompetisi antar surau terjadi. Sudah menjadi kebiasaan sumbangan berapa pun diumumkan jumlahnya dan diberikan oleh siapa. Masing-masing warga surau berlomba memakmurkan surau dengan total sumbangan. Walau warga surau lain diundang juga, terasa muncah di hidung apabila dalam sebulan ramadhan surau kamilah yang disebut sebagai penerima sumbangan terbanyak. 

Sholat Id dengan sendirinya menjadi salah satu 'piala'. Jamaah surau-surau lain akan datang ke halaman surau kami, yakni pinggiran sungai Batang Naras sebagai tempah sholat itu. Apalagi dalam Maulid Nabi, beragam payung, berjenis makanan, pun dikie seminggu penuh, piring-piring kue dan ayam yang disusun bertingkat, uang dalam bentuk pohon buatan, salawat dulang, ataupun bakaba menjadi pemandangan yang menghangatkan dan menggairkahkan kami sebagai anak-anak sekolah menengah.

"Seribu rupiah dari Uniang Taba! Tigaratus rupiah dari Sidi Leman! Limaratus rupiah dari si Mancan nan sedang sekolah di Padang! Sepuluh ribu rupiah dari si Udin nan baru pulang dari Medan!"

Biasanya, semua mata dan telinga akan mengarah kepada nama-nama anak-anak muda yang pulang dari rantau pada bulan puasa. Mereka sudah dikenal dengan kebiasaan memberikan sumbangan besar ketika pulang. Juga segera ketahuan pas berangkat lagi ke rantau lewat mencari modal dengan cara menurunkan buah kelapa orangtuanya, bahkan meminjam uang tetangga. Tentu yang paling pantang adalah menggadaikan sawah harta pusaka tinggi, terkecuali untuk modal dagang atau sekolah. 

Di kenagarian kami tidak ada koperasi simpan pinjam. Yang ada bajulo-julo untuk mengerjakan sawah atau ladang, atau dalam menikahkan anak-anak perempuan. Baralek Gadang Anak Daro. Maklumlah, di seluruh Sumatera Barat, Adat Pariaman terkenal dengan uang hilang dan uang jemputannya. Keluarga penganten perempuan, terutama Apak (Paman) dan Mande (Bibi) yang menanggung renteng biaya untuk 'menghimpit' atau lebih dikenal dengan membeli laki-laki pilihan. 

Nah, dalam urusan Uang Hilang ini, aku termasuk masih menjadi Juara Abadi. Bagaimana tidak, seluruh lamaran dari gadis Minang manapun, baik ranah atau rantau, keluar dengan bermacam angka fantastis, mobil, peternakan kerbau, biaya kuliah hingga ke luar negeri, sampai toko. Dan semua kutolak dengan alasan ke Emak, "Yaya tidak ternilai, Mak. Biar Yaya cari sendiri, tanpa ada Uang Hilang untuk Yaya." 

Di seluruh Kabupaten Padang Pariaman -- termasuk Kota Pariaman yang masih bergabung waktu itu -- aku adalah satu-satunya anak Universitas Indonesia. Alumnus SMA 2 Pariaman yang pertama yang menembus UI, Boss! 

Sudah kebiasaan juga bahwa orang selapau (sewarung) akan ditraktir semuanya, kalau anak rantau pulang. Dan itu berlangsung sejak turun di terminal bus! 

Kalau aku pulang, biasanya aku keliling dari satu lapau ke lapau lain untuk mentraktir semua makanan dan minuman orang-orang. Murah meriah dan yang penting tidak diomongin.

"Apalagi yang mau kau ota di lapau ini, Yaya? Orang Jakarta bisa kau ota, penonton televisi bisa kau buat ternganga. Kami? Mana bisa. Pasti kalah semua yang kau mau ceritakan!" begitu kata mereka, mau datuk-datukku ataupun kawan-kawan sebaya. 

"Oh, begini. Kalau aku diundang orang maota di jakarta, atau dimanapun di Indonesia, bercerita di hadapan mereka, makin lama jamnya, makin mahal bayarannya. Di sini? Kalaupun otaku kalah malam ini, tetap saja minum bayar sendiri-sendiri, atau ngutang pula di lepau ini. Ya, mending aku bayarin semua, jadi seluruh ota sudah pasti milikku," kataku, sambil meraih kartu koa, kartu remi, atau main domino. Nah, ketika bermain itulah aku maota, terutama dalam gaya Nasruddin atau Abunawas, yakni kisah raja-raja atau ratu-ratu. 

Mereka tertawa ngakak dengan kisah yang kubuat. Tentu yang berbau satire, semacam "Hoi, Raja Telanjang!" itulah. Tentu cerita tentang elite-elite Jakarta, Ibukota Negara.

Orang kota bosan dengan bunyi toa. Terlalu banyak toa bersuara sekaligus. Di kampungku justru suara toa dicari. Anak-anak muda biasanya mencatat baik-baik surau-surau mana saja yang mengadakan kegiatan yang menggunakan toa paling nyaring. 

Baju terbaik disiapkan, baik oleh lelaki atau perempuan. Dan, saudara-saudara, tentu tujuan utama bukan (hanya) pengajiannya, tetapi lebih banyak melirik kembang-kembang desa yang hanya datang pada hari-hari khusus itu.

Tidak setiap hari sang lelaki desa, baik yang di kampung atau anak rantau, bisa melihat atau menatap gadis-gadis desa. Kalaupun ada waktu khusus untuk saling tatap-menatap itu adalah hari Sabtu, ketika hari pasar. 

Maka, akan banyak sekali anak-anak lelaki duduk-duduk di dekat lapau pinggir sungai, sambil main kartu remi atau domino. Cukup memesan secangkir kopi, lalu bisa menambah air panas lagi, kalau sudah habis.

Pemenang lomba mengaji biasanya satu keluarga saja, turun-temurun.  Dalam era kejayaannya, nama Yusnida, Etekku, atau nama Bachtiar Yan, Mamakku, tidak terkalahkan. Mereka juara lombba MTQ hingga tingkat Kabupaten. Rumah Uwo kami berada di sebelah Surau Lambah Aur. Rumah itulah yang ditugaskan menjaga surau itu, termasuk mengawasi anak laki-laki yang tidur di dalamnya, kebersihannya, hingga segala kegiatannya. Akupun tidur di surau itu sejak Sekolah Dasar di SD Inpres Sikucur. Aku hampir tak pernah ingat, kapan tidur di rumah ayahku, terkecuali setelah aku indekos saat SMA, lalu pulang saban Sabtu berpakaian pramuka. 

Di eraku, nama Hanafiah dan Hamimah, serta si Bungsu, anak dari Pak Kari Maradin, adalah bintangnya. Indah sekali suara mereka ketika mengaji. Mereka juga Juara MTQ hingga tingkat kecamatan dan kabupaten. Kari Maradin adalah anggota dari Grup Dikie (Zikir) dari kakekku, Tuanku Imam Dahlan. Uwoku kadang memplesetkan nama kakekku bukan Tuanku Imam Dahlan, tetapi Tuanku Imam Dalang (gila), akibat kelakuan kakekku itu, banyolan-banyolannya. Bagaimana nggak pandai melucu, saban pekan rumah kakekku di Rimbo Simauang yang dipenuhi dengan pohon-pohon ajaib penangkal bala, iblis, dan siluman, seperti tebu hitam, kelapa gading, dan bahkan terdapat juga Gasing Tengkorak -- entah dibuat dari apa, serta bau menyan yang menyengat -- selalu ada saja orang datang. Kakekku memang terkenal bisa bikin yang jelek jadi cantik. Seluruh keluarga kakekku ini ganteng-ganteng dan cantik-cantik, aku termasuk yang paling jelek. 

Padahal, aku bukan cucu kesayangan Uwo dan Yawoku itu. Zainul Bahri-lah yang kesayangan mereka. Kakakku yang baru saja dengan istri dan anaknya sembuh dari Covid 19. Kakakku ini adalah seorang pelatih dan sekaligus ahli di bidang urut dengan telapak tangan. Ratusan kader inti Partai Keadilan Sejahtera lahir dari asuhannya. Sebelum kena Covid, aku dan dia 'adu ilmu' di markas Sang Gerilyawan Nusantara. Aku hanya memakai jari-jariku, lalu berdiri dengan posisi kepalaku di bawah diapit dengan kedua siku. Aku pegang dia, langsung menjerit. Kakakku belum bisa menggunakan tenaga dalam. 

Aku? Pura-pura bisa saja, walau memang siapapun yang kupegang dan kukerjain, sudah pasti menjerit. 

Begitulah, pengaruh Uwo dan Yawo kepada kami. Ayah mengajarkan teknik kehidupan dan berpikir rasional. Emak? Menjelajahi langit dan lautan dengan banyak sekali kisah dari mulutnya. Emak adalah petutur yang luar biasa, runtut, lalu banyak bercerita. Aku tidak tahu, kapan Emak membaca. 

Dalam keahlian mengaji ini, jarang terdapat keluarga lain yang bisa juara. Namun jangan salah menilai. Masihg-masing keluarga punya keahlian yang berbeda-beda. Keluargaku pandai di bidang sekolah, tetapi dalam hal galas-manggalas, sekalipun Uwo adalah saudagar keliling ke Mentawai, keluarga kami tak begitu paham. Keluarga Bobby Lukman Piliang, misalnya, turun-temurun menjadi guru dan pegawai negeri sipil. Keluarga Mak Zayadi, ahli di bidang keuangan, perbendaharaan. Itu juga yang membuat Mamanda kami, Haji Refrizal, jadi pengusaha sekaligus Ustaz yang disegani barangkali di jajaran majelis Syuro Partai keadilan Sejahtera sejak masih bernama Partai Keadilan kali, ya? Tiap hari, akun-akun media sosial Mamanda kami yang pandai main sepakbola ini selalu berisi tentang Habib Rizieq Shihab. 

Kembali ke soal perhelatan di surau. Tahu sendirilah bahwa anak-anak gadis tercantik tidak pernah menang, walau ia menjadi incaran banyak lelaki. Pertama, karena memang mereka cantik. Kedua, orang tua mereka berada di lingkungan kejaksaan atau kepolisian. Anak dari Etek Kandungku, adik dari ibuku, Yusnida yang membuat siapapun tercekat ketika mendengar mengaji, salah satunya. Mereka, sepupu-sepupuku itu, termasuk paling cantik se dusun kami, eh, sampai ke sekolah. Tapi mereka sudah pasti tak bisa mengalahkan mama mereka, apalagi menyamainya. Kalau mendengar emakku mengaji, mereka manyaringai, membandingkan dengan mama mereka. Kalau disuruh mengaji? Manjilapai, tak tentu yang akan ditunjuk dari ayat dan surat yang dibaca.  

Andai mereka pernah didik oleh Yawoku lama, bisa pedis kaki mereka kena lidi. Mereka cantik, blasteran Minang - Mentawai. Pak Abisai adalah seorang polisi yang disegani di seluruh Kepulauan Mentawai, berdinas di Sungai Dareh, Sijunjung. Sisungut-nya saja bengkok, seperti artis-artis dalam film India. Tinggi. Gagah. Hanya satu orang yang bisa menyamai atau mengalahkan kegagahan Pak Abisai. Ya, siapa lagi kalau bukan Pak Boestami, ayahku! Jika nilai Pak Abisai 9, nilai ayahku 9,1. 

Karena tempat duduk para bujangan dan anak-anak gadis dipisahkan oleh orang-orang tua, maka yang terjadi hanyalah lirik-lirikan, sambil cengengesan atau saling cubit. 

"Eh, dia lihat kesini. Waduh, cantik nian dia dengan kerudungnya!" dan ucapan-ucapan yang lain.  

Biasanya yang mengajukan ucapan itu adalah lelaki yang lebih tua untuk menggoda yang muda. 

Almarhum Uda Zal, Uda Luk dan Uda Us yang sering menggoda anak-anak lelaki yang menyukai anak-anak gadis yang duduk di ujung tempat duduk pengajian. Yang paling lucu adalah ketika ketiga orang sarjana di dusun kami itu bermain silat. Menurutku, Uda Luk lebih pandai memainkan jurus. Atau kesan saja, akibat Uda Zal dan Uda Us sering bersiloroh setiap kali sepakan kaki atau tangan dari guru kami, almarhum Mak Burin masuk ke kaki atau hulu hati mereka? 

Yang paling tidak pandai bersilat, tentu aku. Tubuhku tinggi, walau tentu berurat lumayan, akibat tiap hari megang pacul. Paling mudah menjatuhkan orang bertubuh tinggi dalam jurus-jurus silat. Satu-satunya jurus supaya tak kalah, tentu saja menekuk satu lututku, lalu memainkan jurus-jurus bawah. Bersilat melawan si Jhon yang lebih kurus dariku saja, aku kalah. Ketika lebih duluan merantau dariku, si Jhon ini masuk Gym. Tubuhnya tiba-tiba kekar saja, berhadapan dengan tubuh kurus ala mahasiswa UI Depok yang menopang tulang delapan kerat yang dibalut daging dan kulit dalam diriku. 

Ceramah di kampungku tidak seperti ceramah di kota. Yang diuraikan oleh para guru adalah cerita-cerita zaman dulu. Entah benar atau tidak cerita itu, justru yang penting adalah moral ceritanya. Cerita Iskandar Zulkarnaen yang entah siapa, entah yang mana, sering sekali dinarasikan ulang. Aku mencari dalam banyak buku, apakah Iskandar Zulkarnaen itu Iskandar the Great atau nama lain? 

Imaji remajaku dipenuhi dengan cerita tentang jin, kuda terbang, nabi Khidir, malaekat, dan cerita-cerita alam ghaib lain. zTentu untuk cerita Nabi Muhammad dan seluruh sahabat sudah diluar kepalaku. Ayah membekaliku dengan kitab-kitab tebal, dari tafsir Al Qur'an berbeda ulama, sampai Hadist Lengkap, pun Hadist Qudsi. Imajimasa remajaku yang sudah sangat gemar membaca komik sejak SD di Kota Padang Panjang, sedikit sekali terbentuk kepada kisah-kisah Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Sosok Ali bin Abi Thalib yang paling tidak bisa kubayangkan, sebagai anak muda yang menjaga Rasulullah, atau Hamzah bin Abdul Muthalib yang paman Nabi Muhammad SAW sekaligus sepersusuan dan hampir seusia. 

Berbeda dengan aku dan Bobby Lukman Piliang. Usianya lebih kecil dariku, tapi aku wajib memanggilnya Paman. Pun puluhan yang lain, seperti Mak Hanafi, Mak Inggi. Kalau Mak Bur, anak dari Yawoku, tentu aku bakal bangga memanggilnya di keramaian. Disamping paling gagah, berlesung pipit, dalam seragam pramuka di Hari Sabtu, suka memberiku uang. Berhubung Uwo atau nenekku lebih muda usianya dibanding nenek-nenek mereka. 

Tentu dalam setiap kisah atau cerita antah berantah itu, selalu diselipkan atau lebih tepat ditanamkan bunyi ayat-ayat dalam Al Qur'an dengan lafal yang indah dan pas. Mana sah sebuah cerita dari alim ulama dan tuanku, jika tak ada satupun kutipan ayat Al Qur'an dan Hadistnya. Aku biasanya langsung menggigil, bergidik, dengan perasaan marah yang ditahan, apabila mendengarkan ceramah agama dari orang-orang yang disebut 'alim, tapi tak sepenggalpun mengutip ayat-ayat dalam Al Qur'an atau Hadist. Pakem yang sudah tertanam di benakku sejak kecil seperti dicabik-cabik. Seolah tulang-tulangku yang dicabut dari daging-daging dalam tubuhku. 

Mendengarkan ceramah di kampungku sungguh tidak membosankan, selain pikiran juga dipenuhi oleh tatapan-tatapan atas para gadis yang tersipu di pojok seberang.

Toa tidak dibenci di kampungku. Toa malah dinanti. Justru kalau terjadi musim paceklik, antara lain ditandai oleh hasil tani yang dimakan hama atau anak-anak rantau jarang yang pulang, maka toa sungguh menjadi sakral untuk dinanti. Jarang atau malah tidak terdengar lagi. Mak Ciak Anas beralih rupa menjadi pengukir kayu, bukan lagi orang yang sibuk dengan segala macam kabel, kawat, petromak, hingga toa itu. 

Tetapi, lama kelamaan, toa tidak lagi seperti masa remajaku, setelah lebih banyak kaset dan vcd yang masuk. Petugas mesjid dan surau-surau kecil lebih senang memutar ceramah-ceramah dari antah berantah untuk didengarkan oleh orang-orang. Tujuan utama menunggu jamaah atau warga datang. Yang terjadi, tuanku yang biasanya Ungku Minin atau Mak Nek Cau yang berada dekat mimbar surau, lalu bertanya cara memutar ulang kaset. Orang-orang lebih suka berlama-lama duduk di lepau, sampai kaset yang diputar lewat toa itu selesai. Acara pengajian berlangsung singkat. Yang pokok-pokok saja. 

Anak-anak gadis hampir sama saja, semakin tak berselera ke surau dengan selendang terbaik dan baju kerudung. Satu demi satu, mulai terlihat anak-anak gadis mengecat rambut, menggunakan baju kaos, sesuatu yang pantang sebelumnya, walau Uwoku menyiman duit di dalam kutangnya. Berbaju kaos adalah pantangan. Dan pantangan itu semakin subur menyerbu dusunku yang malah beberapa kali kekeringan, padahal kalau pulang kampung pastinya melewati Batang Naras yang lebar itu. Semakin banyak yang sekolah, semakin banyak yang bersekolah, kian lenganglah surau-surau itu dari anak-anak gadis. Tinggal yang menghuni Anduang-anduang, Uwo, Yawo, Ungku, atau Emak dan Etek yang sampai paling belakangan. Kian jarang rombongan anak-anak gadis di belakang mereka dengan senyum dikulum, mata melirik malu-malu. 

Lagu-lagu khas padang pasir juga diperdengarkan lewat toa. Dulu, kami merindukan yang menyanyi itu adalah sekelompok anak muda dari desa atau dusun tetangga. Atau kami sendiri di masing-masing surau berlatih menyanyikan untuk dibawakan pada acara-acara penting itu. 

Musabaqah!

Tillawatil Qur'an!

Tiap tahun diadakan!

2x

Menghimpun Qori Qoriah Pilihan!

Mengembangkan, Memajukan, Bacaan Al Qur'an!

2x

Bacalah Al Quran seindah suaramu!

Bacalah dengan tilawah yang sempurna!

2x

Agar maju, jaya mulia, hadirat Tuhan!

Al Qur’an! Al Qur’an! Bacalah Al Qur’an!

2x

Aku paling bergetar jika ikut melantunkan lagu itu! Nyaris bergidik!

Tanpa listrik, kami punya kesempatan untuk mengantarkan atau mengawal anak-anak gadis ke rumahnya, walau ia sudah bersama ayah-ibunya. Ada perasaan tertentu kalau tempat-tempat yang dilewati dikatakan penuh hantu atau harimau jadi-jadian. Soalnya, bisa lebih dekat dengan gadis yang dikawal atau bahkan bisa berbicara sepatah dua patah kata.

Tanpa listrik, aku dan keluargaku juga sering mencari ikan di sungai pakai petromak. Ada udang, ikan-ikan kecil, gabus atau apa saja yang ada di sungai. Pulang dari mencari ikan perut lapar kembali, lantas ikan-ikan itu dibakar sebagian, tinggal dikasih garam atau cabe, serta nasi sisa makan malam.

Dengan listrik, ikan-ikan mati, anak-anak ikan mati, benih-benih ikan mati, telur-telur ikan mati, kena stroom listrik! Sungai Batang Naras kini tak berikan lagi!

Bulan puasa, sungguh keramat bagi kami, dulu. Wujud ketauihidan! Juga kehidupan dalam kebersamaan! Menahan rasa dan perasaan, bahkan di malam hari, di sudut surau, untuk memandangi gadis pujaan. Lalu membawanya ke dalam mimpi, bersamaan dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur'an yang dipertaruhkan dalam MTQ. 

Sekarang?

Aku tidak tahu lagi, bagaimana memaknai puasa, selain menahan untuk tidak makan dan tidak minum di siang hari. Bukan menahan lapar dan haus, karena toh perut juga tidak lagi lapar atau tenggorokan tidak terasa haus, walau tidak makan dan minum.

Apakah ini yang disebut dengan sekadar ritual?

Ataukah semangat relegius yang terkikis karena puasa dilakukan di kota, di mana segala hal tidak lagi menawarkan eksotisme liar pikiran masa kanak-kanak. Kalau sudah begitu, terkadang aku menyesali juga, kenapa kemajuan justru membuat orang-orang kehilangan atas masa lalunya.

Toa, listrik, televisi, handphone, pesawat terbang, atau segala jenis kemudahan lain, justru telah menanggalkan banyak baju kemanusiaan kita.

Sungguhkah ini yang disebut sebagai problem manusia kota atau masalah manusia moderen?

Entahlah...

Jakarta, 19 September 2007. Diperbaharui dan ditambahkan tanggal 2 Mei 2021. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun