2x
Aku paling bergetar jika ikut melantunkan lagu itu! Nyaris bergidik!
Tanpa listrik, kami punya kesempatan untuk mengantarkan atau mengawal anak-anak gadis ke rumahnya, walau ia sudah bersama ayah-ibunya. Ada perasaan tertentu kalau tempat-tempat yang dilewati dikatakan penuh hantu atau harimau jadi-jadian. Soalnya, bisa lebih dekat dengan gadis yang dikawal atau bahkan bisa berbicara sepatah dua patah kata.
Tanpa listrik, aku dan keluargaku juga sering mencari ikan di sungai pakai petromak. Ada udang, ikan-ikan kecil, gabus atau apa saja yang ada di sungai. Pulang dari mencari ikan perut lapar kembali, lantas ikan-ikan itu dibakar sebagian, tinggal dikasih garam atau cabe, serta nasi sisa makan malam.
Dengan listrik, ikan-ikan mati, anak-anak ikan mati, benih-benih ikan mati, telur-telur ikan mati, kena stroom listrik! Sungai Batang Naras kini tak berikan lagi!
Bulan puasa, sungguh keramat bagi kami, dulu. Wujud ketauihidan! Juga kehidupan dalam kebersamaan! Menahan rasa dan perasaan, bahkan di malam hari, di sudut surau, untuk memandangi gadis pujaan. Lalu membawanya ke dalam mimpi, bersamaan dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur'an yang dipertaruhkan dalam MTQ.Â
Sekarang?
Aku tidak tahu lagi, bagaimana memaknai puasa, selain menahan untuk tidak makan dan tidak minum di siang hari. Bukan menahan lapar dan haus, karena toh perut juga tidak lagi lapar atau tenggorokan tidak terasa haus, walau tidak makan dan minum.
Apakah ini yang disebut dengan sekadar ritual?
Ataukah semangat relegius yang terkikis karena puasa dilakukan di kota, di mana segala hal tidak lagi menawarkan eksotisme liar pikiran masa kanak-kanak. Kalau sudah begitu, terkadang aku menyesali juga, kenapa kemajuan justru membuat orang-orang kehilangan atas masa lalunya.
Toa, listrik, televisi, handphone, pesawat terbang, atau segala jenis kemudahan lain, justru telah menanggalkan banyak baju kemanusiaan kita.