Tidak ada buah, kalau tidak ada putik. Tidak ada putik, kalau tidak ada bunga. Tidak ada bunga, kalau tidak ada kumbang atau lebah atau semut sebagai perantara perkawinan.Â
Tidak ada pemimpin, jika tidak pernah menjadi anak buah.
Begitu yang terjadi dalam siklus kehidupan.
Dalam menatap pemilihan langsung kepala daerah hari Rabu, 9 Desember 2020 nanti, segala sesuatu tak tumbuh begitu saja. Tak hadir begitu saja. Semuanya berjalan alami. Tentu, terdapat proses yang lain, dalam rangka percepatan. Dikenal dengan hibridisasi. Atau bisa juga bonsaiisasi dalam tradisi Jepang.
Kepemimpinan di ranah eksekutif seyogianya berjalan sesuai dengan apa yang digariskan oleh konstitusi. Hanya saja, konstitusi yang mengalami perubahan pada tatanan undang-undang, tentu membutuhkan eksekutif yang fleksibel dengan manajemen perubahan (change management).
Ketika kepemimpinan eksekutif bergerak terlalu kaku dengan regulasi, inovasi menjadi miskin. Padahal, kehidupan berjalan berdasarkan perubahan demi perubahan. Kemajuan di bidang teknologi menjadi salah satu dasar dari perubahan perilaku kepemimpinan. Teknologi mempermudah hubungan antar manusia. Namun, manusia berada dalam ruang yang tak lagi mudah saling bersua.
Jabat tangan erat, dengusan nafas, mata yang beringas, makin sulit dilihat langsung. Penggambarannya ada. Tetapi tak bisa langsung ditemukan di hadapan muka.
Bagi masyarakat Sumatera Barat, kepemimpinan eksekutif identik dengan birokrat. Atau minimal teknokrat. Mereka yang biasa disebut sebagai "pegawai". Jarang yang diluar itu diberi kesempatan oleh masyarakat. Sebanyak apapun duit yang dimiliki, sosok saudagar kesulitan meraih posisi kepemimpinan di Sumbar. Begitu juga dengan profesi diluar itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perlombaan antar kepala daerah dalam memajukan daerahnya. Selama ini, Sumbar disangga oleh kekompakan pihak rantau dan ranah. Semua kalangan dipengaruhi, agar memperhatikan Sumbar. Namun, dewasa ini sulit itu diharapkan. Semua daerah merasa perlu diperhatikan. Bagi yang kuat kerjasama antar tokoh, bakal mampu meraih prestasi.
Banyuwangi adalah contoh terbaik. Saya mengenal Abdullah Azwar Anas sejak kuliah. Begitu juga ketika menjadi anggota DPR RI. Bupati Banyuwangi ini satu-satunya yang menulis buku tentang apa yang ia kerjakan selama menjadi anggota DPR RI. Hal itu menunjukkan bagaimana pertanggung-jawabannya kepada publik.
Kian ke sini, kian sulit menemukan anggota DPR RI seperti itu. Begitu juga kepala daerah. Akibat langsung yang terasa adalah kesulitan juga menemukan catatan kekurangan atau kelebihan masing-masing pihak yang menjalankan mandat rakyat itu. Mana yang perlu diperbaiki, mana yang sudah diperbuat, menjadi sulit ditemukan. Tidak jarang calon-calon pemimpin baru mengulangi apa yang sebetulnya sudah dijalankan oleh pemimpin sebelumnya.