Hingga hari ini, setiap kali menjelang perhelatan tertinggi Partai Golkar, kehebohan yang selalu berulang adalah siapa yang paling layak memimpin partai. Padahal, Partai Golkar dikenal paling rutin melakukan suksesi kepemimpinan puncaknya. Benar, hampir tidak ada tradisi seorang Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat menjabat lebih dari satu periode. Tetapi keliru jika dua tahun masa kepemimpinan Airlangga Hartarto disebut sebagai satu periode.
Tentu saya tidak dalam posisi menambah kehebohan polemik yang terjadi menyangkut Musyawarah Nasional dipercepat. Mau dipercepat atau diperlambat sekalipun, selama kehidupan organisme politik di dalam tubuh partai masih dipandang mendapat pengaruh dominan dari kepemimpinan personal, tetap saja Partai Golkar mengalami siklus atau lingkaran setan yang sama. Partai Golkar belum terkesan berani melakukan perubahan yang bersifat fundamental. Partai Golkar tak hendak keluar dari zona nyaman sebagai partai yang paling stabil dan dinamis, sekalipun dilanda badai konflik yang serius dan membelah tubuh beringin.
Apa yang saya sebut sebagai perubahan mendasar dan mengakar itu?Â
Yakni bagaimana partai mampu meraih pemilih-pemilih baru di luar habitat tradisionalnya. Partai Golkar sama sekali tak memiliki pengaruh di lingkungan aktivis mahasiswa kampus, akibat pilihan ideologi sebagai partai tengah yang sama sekali tidak jantan. Spektrum aktivis kampus masih berada di kanan atau kiri, atas atau bawah. Pilihan di tengah adalah karakter pengecut yang mencari aman. Ibarat pasukan yang sedang berada di medan pertempuran, berada di posisi tengah berarti menggunakan tubuh pasukan lain sebagai umpan peluru. Strategi mencari aman dan kehidupan di tengah kematian pihak lain.
Masalahnya, Partai Golkar lama berada di zona itu. Ideologi pembangunan yang dijalankan secara represif oleh rezim Orde Baru, membawa korban-korban marginalisasi atas sebagian warga. Dukungan luas dan terbuka dari birokrasi dan militer, ibarat sendok yang disuapkan berisi makanan bergizi kepada kalangan dewasa. Pilihan politik yang mensyaratkan kedewasaan, terlihat hanya bagian dari retorika belaka.
Lalu, apa yang disebut sebagai mendasar itu?Â
Salah satunya adalah Partai Golkar tidak pernah melakukan kajian yang serius atas kehadiran partai-partai baru dalam setiap pemilu yang berasal dari pecahan kelompok politik dalam tubuh partai. Andai kekuatan Partai Golkar masih bagian dari kegotong-royongan, tidak terbayangkan posisi politik yang diraih, yakni gabungan dari Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, PKPI, Partai Berkarya, Partai Nasdem, hingga sebagian Partai Demokrat.Â
Kegagalan Partai Golkar mempertahankan jumlah pemilih yang sama dalam Pemilu 2014 ke Pemilu 2019, tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Partai Berkarya yang berintikan kader-kader yang berasal dari Partai Golkar.
Kenapa Partai Beringin ini sama sekali tak memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang tak berujung kepada pemisahan diri kader-kader utamanya, berikut loyalisnya di daerah-daerah?Â
Hal ini juga tidak terlepas dari sifat dasar dari pohon beringin sendiri. Bagian apapun dari pohon beringin yang terlalu rindang, apabila dipangkas dan melepaskan diri, mampu tumbuh menjadi pohon-pohon baru. Sementara ketika beringin terlalu rimbun, dianggap menjadi rumah bagi para jin, dedemit, genderuwo, hantu, hingga kuntilanak yang menyeramkan.
Bagaimana cara mengatasinya?Â