[caption id="attachment_376319" align="aligncenter" width="624" caption="Warga antre mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU Cikini, Jakarta Pusat, seusai Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan, Senin (17/11/2014). Harga BBM bersubsidi jenis premium naik menjadi Rp. 8.500/liter atau naik Rp. 2.000 dimana sebelumnya Rp. 6.500/liter dan solar naik menjadi Rp. 7.500/liter atau naik Rp. 2.000 dimana sebelumnya Rp. 5.500/liter mulai Selasa 18 November 2014 pukul 00.00 WIB. (Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha)"][/caption]
Dalam setiap perubahan selalu ada yang 'tertinggal', karena pasti tidak mungkin berbuat adil apalagi seorang pemimpin dengan rakyat ratusan juta. Tidaklah mungkin memberikan semua yang diinginkan oleh ratusan juta kepala dengan keinginan berbeda-beda ini. Kali ini pergantian pemerintahan dari SBY ke Jokowi barangkali mereka yang tertinggal adalah kelas menengah. Mereka adalah golongan yang terkena sindrom anak tengah atau Middle Child Syndrom. Mungkin, tanpa ada yang peduli.
Middle Child Syndrom
Middle Child Syndrom adalah situasi di mana anak tengah merasa tersisih, dalam dunia psikologi berpengaruh pada perkembangan mental anak sampai dewasa. Si anak tengah ini akan merasa selalu kalah dari si anak sulung. Ya, karena si anak sulung pada dasarnya lebih tua, lebih kuat daripada si anak tengah baik secara fisik maupun secara mental.
Pun demikian ketika berhadapan dengan si bungsu, si anak tengah tentu dianggap lebih dewasa, juga ketika si bungsu mendapat perhatian dan bantuan lebih dari orang dewasa. Itu dalam lingkup sempit, dalam lingkup luas barangkali masyarakat juga dapat dikelompokkan menjadi si sulung (orang kaya) si anak tengah (golongan menengah) dan si bungsu (rakyat kecil).
Siapakah Golongan Menengah?
Lalu siapa saja yang dimaksud golongan menengah? Di sini yang saya maksud golongan menengah adalah mereka yang bekerja sebagai karyawan atau Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan non Eselon (Kalau yang punya jabatan eselon juga mau dikatakan golongan menengah juga tidak apa apa kok). Mereka adalah orang yang menurut saya sudah dianggap mampu oleh pemerintah. Jelas, mereka ini bukan penganggur, mereka punya pekerjaan yang tetap, penghasilan rutin setiap bulan. Sekilas terlihat mampu, tapi barangkali di antara saudara-saudara kita golongan menengah ini paling merasakan dampak kenaikan harga BBM.
Di tempat saya rata-rata golongan menengah ini menggunakan sepeda motor, belum memiliki mobil, dengan jarak antara rumah dan tempat kerja rata-rata 30-40 kilo maka sehari akan terkena dampak langsung kenaikan BBM sekitar Rp 4.000 setiap hari. Ini masih seberapa, jika melihat efek domino dari kenaikan harga BBM. Maka golongan menengah ini harus memutar otak lebih keras untuk menyiasati kenaikan harga BBM ini.
Mereka ini adalah karyawan dengan penghasilan tetap, bukan pedagang. Jika pedagang untuk mengantisipasi kenaikan biaya maka tinggal menghitung kembali margin harga untuk memperoleh tambahan keuntungan, namun para golongan menengah ini tidak dapat seenaknya menaikkan penghasilan. Dengan demo? Tentu tidak bisa, mereka adalah golongan menengah yang bukan waktunya lagi mengemis.
Sementara si bungsu akan mendapat berbagai bantuan tunai dari pemerintah, si anak tengah ini iri tidak iri. Iri juga sebenarnya, tapi hati baik mereka pasti berkata tidak sepantasnya iri karena kamu sudah masuk golongan menengah.
Lalu Bagaimana?