Malam itu hujan turun tanpa ampun, menghujani bumi dengan kilau air yang membias lampu jalan. Di sela hujan, laron-laron yang bertengger di kegelapan mulai muncul dari sarangnya. Mereka beterbangan, memenuhi angkasa seperti parade musim hujan yang tak diundang, berarak di bawah lampu-lampu jalanan dan teras rumah. Langit malam yang sebelumnya hening seketika riuh oleh sayap-sayap kecil mereka yang berkibar-kibar, mengitari cahaya yang begitu memukau.
Aku menatap dari balik jendela, sedikit kesal. Laron, makhluk yang dari kecil selalu membuatku kecewa. Pernah suatu waktu aku mencoba memelihara mereka dalam kotak kaca kecil, mengira mereka akan bertahan dan menjadi teman kecilku. Namun, harapanku sirna ketika mereka tak bertahan lama, tak sanggup melawan dinginnya malam atau teriknya hari. Kini, di usia dewasa, aku justru semakin kesal karena mereka selalu mengacaukan malam-malamku.
Laron-laron itu terus menggeliat, terbang menuju setiap sudut cahaya yang bisa mereka temukan. Mereka berkerumun di sekitar lampu-lampu, membuat cahaya menjadi redup oleh sayap mereka yang rapuh. Aku akhirnya menyerah, mematikan lampu-lampu dalam rumah agar mereka menjauh. Tapi, kegelapan tak membuat mereka benar-benar pergi. Meski lampu-lampu padam, laron-laron itu masih berkeliaran, seperti pasukan kecil yang tak kenal lelah.
Mereka merayap di meja makan, berjejer rapi di bibir gelas yang lupa tertutup. Dalam hening, mereka seperti barisan prajurit kecil yang pura-pura berbaris dengan tertib, hanya untuk jatuh satu per satu---mati dengan diam-diam, meninggalkan sayap yang terlepas dan tubuh yang terkapar di meja. Sungguh ironis, mereka mengejar cahaya hanya untuk menemukan kematian.
Saat pagi menjelang, fajar yang kemerahan memanggil, dan laron-laron itu berlarian ke arah sinar pertama matahari. Aku keluar rumah dan melihat mereka yang masih bertahan, terbang mengitari cahaya pagi dengan kegembiraan yang tak terjelaskan. Di jalan-jalan, para pekerja bergegas menutup helm mereka agar tidak terkena laron yang hinggap sembarangan, begitu merepotkan bagi mereka yang ingin memulai hari.
Namun menjelang siang, ketika sinar matahari mulai menyengat, laron-laron itu menghilang, seperti tersapu oleh waktu. Sekali lagi, mereka lenyap, meninggalkan keheningan dan sedikit kecewa di dalam diriku. Laron selalu seperti itu, datang tanpa diundang dan menghilang ketika kehadirannya mulai terasa akrab, hampir membuatku terbiasa.
Saat aku termenung menatap meja, tak sengaja kulihat selembar sayap kecil yang masih tertinggal di atas cangkir teh yang belum kuminum. Ada rasa yang menggantung di hati---entah itu kesal atau iba, aku tak tahu. Laron-laron ini seperti hidupnya hanya sebentar, datang sekejap, mati seketika. Namun, di balik kerapuhan dan keusilan mereka, mungkin ada keindahan yang selama ini kulewatkan.
Sore itu, saat aku bersih-bersih, terdengar bunyi ketukan lembut di jendela. Di luar, seekor laron hinggap di kaca, mengepakkan sayapnya sejenak sebelum terbang pergi. Sesuatu yang ganjil terasa. Laron itu menatapku, dalam kegelapan jendela, seolah ingin berkata sesuatu yang tak pernah bisa mereka sampaikan.
Lalu aku menyadari---barangkali, bukan laron yang mengejar cahaya, tetapi cahaya dan kematian itu yang selalu mencari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H