Ujian Nasional (UN) dulu menjadi syarat kelulusan yang wajib ditempuh siswa di Indonesia. Bagi generasi yang tumbuh di era UN, nilai-nilai ujian ini sering dianggap sebagai tolok ukur utama kesuksesan pendidikan.Â
Dengan adanya UN, siswa terbiasa menghadapi tekanan standar nilai dan berusaha memenuhi target akademis. Namun, sejak UN dihapus pada tahun 2020, pendidikan di Indonesia mengalami pergeseran besar.Â
Kini, bukan hanya siswa yang "diberi ujian," tetapi juga guru yang harus mengikuti pelatihan dan sertifikasi untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Fokus pendidikan pun bergeser, tidak lagi hanya pada hasil akademis siswa, tetapi juga pada peningkatan kompetensi pengajarnya.
Meski begitu, muncul pertanyaan besar di antara para pengambil kebijakan dan orang tua, yang kebanyakan adalah produk era UN: apakah sistem pendidikan tanpa UN ini bisa efektif? Apakah generasi yang tidak melalui UN akan sama terdidik dan terarahnya?Â
Bagi mereka, membayangkan pendidikan tanpa ujian nasional adalah hal yang baru dan sulit diterima. Mereka tumbuh di masa ketika UN dianggap sangat penting sebagai tolok ukur kemampuan akademis dan kedisiplinan siswa. Maka, ketika UN dihapus, banyak orang tua merasa sulit membayangkan bagaimana anak-anak mereka bisa belajar dan sukses tanpa "ritual" UN.
Namun, dunia kerja modern justru menuntut keterampilan yang berbeda---hal-hal yang tidak selalu dapat diukur melalui UN. Dunia kerja membutuhkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, adaptabilitas, dan keterampilan interpersonal yang baik.Â
Generasi yang melewati UN mungkin lebih disiplin dengan standar nilai, tetapi kadang hanya fokus pada materi ujian. Di sisi lain, generasi tanpa UN memiliki kebebasan lebih untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka, meskipun ada tantangan untuk menjaga motivasi belajar tanpa tekanan ujian yang ketat.
Pendidikan tanpa UN memungkinkan siswa belajar lebih bebas dan fokus pada keterampilan yang relevan untuk kehidupan nyata. Sebagai contoh, dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan penilaian berbasis kompetensi, siswa bisa memahami suatu materi secara mendalam dan mengaitkannya dengan situasi sehari-hari. Ini bisa membantu mereka lebih siap menghadapi berbagai tantangan di dunia kerja. Namun, tentu saja, kebebasan ini memerlukan pendampingan yang kuat dari guru agar siswa tetap memiliki disiplin dalam belajar.
Belakangan, ketika terjadi pergantian pemerintahan, muncul kembali wacana untuk mengadakan lagi Ujian Nasional sebagai alat ukur kelulusan siswa. Namun, perubahan arah kebijakan ini justru menambah ketidakpastian bagi siswa dan orang tua.Â
Di tengah adaptasi dengan sistem pendidikan tanpa UN, tiba-tiba muncul kemungkinan bahwa mereka harus kembali menghadapi UN. Ketidakpastian ini sering kali justru membebani mental anak-anak, yang bingung apakah mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi UN lagi atau cukup fokus pada minat mereka tanpa tekanan ujian nasional. Dalam kondisi seperti ini, siswa tak hanya dihadapkan pada tantangan akademis, tetapi juga ketidakpastian kebijakan yang bisa berdampak pada kesehatan mental mereka.