Dulu, ketika baru lulus kuliah dan memulai pekerjaan pertama, ada perasaan percaya diri yang begitu tinggi. Di usia muda, saya merasa memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi dunia kerja. Pendidikan formal sudah saya jalani, gelar sudah di tangan, dan pekerjaan pertama sudah diraih. Rasa optimis untuk berkembang semakin besar, seolah-olah semua yang diperlukan untuk sukses sudah siap. Saya percaya, dengan sedikit pengalaman, saya akan segera menguasai bidang saya dan bisa bersaing dalam dunia kerja yang kompetitif. Dengan keyakinan itu, saya memulai perjalanan karier, merasa sudah menguasai segalanya.
Namun, seiring waktu, saya menyadari bahwa saya mulai terjebak dalam rutinitas sebagai karyawan. Setiap hari adalah siklus yang serupa: datang, bekerja, dan pulang. Pada titik ini, saya merasa cukup. Berbagai target tercapai, dan status sebagai karyawan yang stabil pun sudah diraih. Dalam pikiran saya, para senior mungkin sudah ketinggalan dari segi pengetahuan terbaru, namun mereka unggul dalam pengalaman dan posisi; sedangkan para junior masih membutuhkan waktu untuk 'mengasah diri'. Saya merasa berada di posisi aman, tidak merasa terancam oleh siapa pun, hingga rasa nyaman itu mulai menjadi kebiasaan.
Waktu terus berjalan, dan perlahan saya pun menginjak usia pertengahan 30-an. Pada usia ini, kenyataan mulai terasa berbeda. Junior yang dulunya saya anggap masih 'hijau' kini muncul dengan keterampilan teknologi dan kreativitas yang jauh lebih canggih daripada saya. Mereka menguasai alat, aplikasi, dan pendekatan-pendekatan baru yang membuat saya merasa 'tertinggal'. Di sisi lain, para senior yang mungkin dulu saya anggap sudah di posisi nyaman ternyata memiliki kekuatan lebih besar, terutama dalam hal pengalaman yang membuat mereka dipercaya dalam banyak keputusan penting. Di titik ini, saya merasa bagaikan katak dalam tempurung: terjebak dalam pola pikir lama yang membatasi kemajuan. Dunia di luar terus berkembang, dan saya mulai merasa gamang dan cemas dengan masa depan karier saya.
Ketika menyadari bahwa ada keterampilan yang perlu saya kejar, timbul keinginan untuk belajar lagi. Namun, mencari pendidikan nonformal yang sesuai ternyata bukan perkara mudah. Banyak pilihan di luar sana yang menarik, namun harganya cukup tinggi, dan saya harus mempertimbangkan antara biaya, waktu, dan komitmen lainnya. Di usia ini, kemampuan untuk menyerap hal-hal baru juga tidak secepat dulu. Ada saat-saat saya merasa otak sudah sulit menerima informasi baru, dan mungkin ini wajar. Namun, tantangan tersebut membuat proses mencari pendidikan yang pas jadi semakin menantang. Perasaan itu cukup mengganggu, tapi saya tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus saya hadapi demi mengimbangi ketertinggalan.
Belajar dari pengalaman ini, saya semakin menyadari betapa pentingnya pendidikan nonformal untuk mendampingi pendidikan formal. Pendidikan formal memang memberi pondasi awal, tapi tanpa pendidikan nonformal, sulit bagi saya untuk tetap up-to-date dengan perkembangan teknologi dan tren terbaru dalam bidang saya. Di era sekarang, keterampilan baru dan kreativitas yang segar sangat diperlukan untuk bersaing, dan akan lebih sulit jika saya terlambat mengambil langkah ini di usia matang. Bagi siapa pun yang berada di usia 30-an atau lebih, saya ingin menyarankan: jangan takut untuk mencari kursus, pelatihan, atau program yang bisa menambah keterampilan, meski mungkin terasa terlambat. Belajar sesuatu yang baru bisa menjadi investasi terbaik, tidak hanya untuk karier tetapi juga untuk menumbuhkan kembali semangat belajar dan berinovasi.
Meski hingga kini saya belum menemukan pendidikan nonformal yang benar-benar cocok dari segi harga, waktu, dan kemampuan, tetap saja saya merasa penting untuk terus berusaha mencarinya. Seperti ketika hendak memutuskan membeli barang di toko---ada perasaan antara yakin dan ragu. Terkadang kita mendapati barang yang terlihat bagus, namun ketika dilihat lebih dekat, ternyata tak sebanding dengan harga yang ditawarkan. Begitu pula dalam mencari pendidikan nonformal yang sesuai. Berbagai program dan pelatihan seringkali tampak menjanjikan di awal, tetapi saat melihat biaya, durasi, atau tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari yang diantisipasi, saya terpaksa menundanya.
Namun, meskipun perjalanan mencari pelatihan yang cocok belum tuntas, saya yakin proses ini tidak sia-sia. Setiap kali meninjau opsi yang ada, saya memperoleh gambaran lebih luas tentang keterampilan yang sedang berkembang di bidang saya dan menyadari bahwa kebutuhan untuk belajar kembali adalah hal yang tak terelakkan. Tentu ada tantangan, tetapi pada akhirnya, saya percaya, menemukan bentuk pendidikan yang pas bukan sekadar kebutuhan sementara, melainkan investasi penting untuk masa depan karier saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H