Mohon tunggu...
Indra Joko
Indra Joko Mohon Tunggu... Administrasi - OK

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Pulang

8 November 2024   23:36 Diperbarui: 9 November 2024   04:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lokomotiv bergerak perlahan, menyusuri rel-rel yang sudah usang, membawa tubuhku pulang setelah lama terpisah. Sore itu, senja tampak mengambang di ujung cakrawala, seperti sesuatu yang tertahan di antara keduanya---antara malam yang menunggu giliran dan siang yang belum sepenuhnya pergi. 

Langit mengerutkan wajahnya, menahan sendu yang entah milik siapa. Asap kereta mengepul perlahan, menembus udara yang kian dingin, dan aku, dalam setiap detik perjalanan, merasa semakin jauh dari sesuatu yang pernah kumiliki.

Setiap bunyi roda di rel seperti membawa kenangan yang berat, memecah keheningan yang telah lama kutinggalkan. Entah berapa lama aku sudah terlelap dalam waktu yang tak menentu, tetapi kini, aku kembali, menuju rumah yang sudah lama tak kukunjungi. Rumah yang penuh dengan bayang-bayang dan luka yang selalu kutinggalkan.

Senja semakin merunduk ketika aku sampai. Di beranda, dia duduk dengan tubuh yang tampak terkulai, wajahnya diwarnai cahaya lemah yang masuk melalui celah-celah pintu. Pipinya, yang dulu selalu berseri, kini tampak tertekan oleh waktu, seperti senja yang enggan menutup hari. Kulihat dia, lelah, menunggu---untuk sesuatu yang seharusnya sudah datang jauh lebih dulu.

Aku terdiam sejenak di ambang pintu, tak mampu berkata-kata. Wajahnya yang terbatasi bayang-bayang menciptakan rasa sesak yang sulit kutangkap. "Kau sudah lama menunggu?" tanyaku, suaraku seakan tersandung oleh kata-kata yang tak pernah terucap.

Dia hanya mengangguk, lelah, dengan mata yang menatap kosong. "Senja sudah terlalu sering datang dan pergi, tapi aku tetap di sini," jawabnya, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh hati yang lebih keras daripada bisikan angin sore itu. Aku bisa merasakan betapa rapuhnya setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah kata-kata itu sudah terlalu lama mengendap di hatinya, berusaha untuk bertahan meski terus dihimpit rasa lelah.

Aku melangkah lebih dekat, duduk di sampingnya. Rumah itu masih sama, penuh dengan kenangan yang entah kenapa terasa semakin jauh, seperti ruang yang enggan menyambut. Di luar, senja akhirnya melepaskan dirinya, membiarkan malam datang dengan malu-malu, menyelimuti segalanya dengan kegelapan yang semakin pekat.

"Seperti senja, kita pun selalu datang dan pergi," ujarnya lagi, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Aku menatapnya, melihat bayangan diriku yang juga lelah, berdiri di samping tubuhnya yang lelah menunggu. Aku merasa ada sesuatu yang terlewat begitu lama, seperti dua jiwa yang terpisah oleh waktu, namun tetap menginginkan pertemuan yang tak pasti. 

Seperti senja yang tidak tahu kapan harus benar-benar pergi, ataukah tetap ingin kembali, hanya untuk meringkuk di pelukan malam. Namun, seperti senja yang akhirnya harus meredup, aku tahu, kadang perasaan pun tak bisa dipaksa untuk bertahan.

"Aku hampir melupakan bagaimana rasanya menunggu," kataku pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya. Dan dia hanya tersenyum, sebuah senyuman yang seolah mengerti bahwa kita sudah terlalu lelah untuk kembali. Tetapi di bawah senja yang terlambat ini, ada sesuatu yang tetap ingin dipertahankan, meski rapuh dan tak pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun